Khutbah, sejak awal dimaksudkan sebagai ruang publik yang dikemas dalam suasana sakral, guna menyampaikan pesan-pesan Tuhan kepada masyarakat manusia yang percaya (beriman) kepada-Nya. Bukan hanya Islam, Agama-agama Samawi : Yahudi dan Nasrani, juga menyelenggarakannya meski dengan waktu yang berbeda dan dengan metode yang juga berbeda. Cara dan hari apa bukanlah sesuatu yang esensial. Yang esensial adalah pesan-pesan kebaikan yang harus disampaikan kepada masyarakat (umat). Dalam Islam, pesan kebaikan disebut dengan taqwa. Pesan ini adalah “rukun”, esensi, utama Khutbah. Tanpa pesan ini upacara keagamaan ini menjadi tak bermakna dan tidak sah.
Taqwa adalah kata paling paling sentral bagi seluruh pesan-pesan Islam. Para ulama sepakat menyebut taqwa sebagai “jami’ kulli khair”, hal yang menghimpun segala kebaikan dan kesalehan baik secara personal maupun kolektif. Para khatib Jum’at biasanya menyampaikan bahwa taqwa adalah melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Atau dengan kata lain yang juga populer : Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Tetapi essensinya pengendalian jiwa, pikiran dan tindakan dalam rangka menciptakan kehidupan yang bahagia lahir dan batin.
Tetapi ini tentu saja arti taqwa tersebut masih sangat umum. Elaborasi mengenai tindakan-tindakan taqwa, kriteria-kriteria atau sifat-sifat orang yang bertaqwa secara lebih detail disebutkan dalam banyak ayat yang lain. Antara lain dalam (Q.S. [2]:177). Ayat ini mengandung tiga hal besar: kepercayaan personal atau aqidah, ibadah personal (ibadah) dan komitmen sosial kemanusiaan (masalahah ‘ammah).
Banyak orang mengatakan bahwa khutbah Jum’at yang disampaikan para khatib selama ini, lebih diarahkan pada pesan taqwa dalam katagori yang pertama dan kedua. Kedua katagori ini sangat dominan disampaikan. Sementara pesan taqwa kategori ketiga begitu jarang disampaikan. Maka adalah niscaya bahwa masyarakat yang terbentuk kemudian adalah pribadi-pribadi yang saleh secara individual. Pandangan umum lalu menganggap bahwa intensitas seseorang dalam menjalankan ritus-ritus agama menunjukkan tingginya nilai kesalehan atau kebaikan pribadinya.
Keyakinan personal adalah basis dan fondasi yang harus ada dalam setiap orang. Ia bagaikan akar dari pohon. Keyakinan paling inti dari keberagamaan adalah kepercayaan/keyakinan kepada Ke-Esa-an Allah, Tuhan semesta. Secara normatif basis atau fondasi ini seharusnya melahirkan realitas-realitas sosial yang saleh pula. Karena Tuhan selalu ada, melekat di dalam dirinya dan mengawasinya. Keyakinan Tauhid, membimbing manusia untuk menjadi makhluk-Nya yang saleh secara sosial dalam maknanya yang luas, menyangkut relasi-relasi antar manusia ciptaan Tuhan. Inilah yang seharusnya terjadi/terwujud dalam proses kehidupan.
Akan tetapi realitas bangsa Indonesia sampai hari ini tetap saja tak bergerak ke arah kehidupan sosial yang lebih baik. Praktek hidup dan berkehidupan masyarakat memperlihatkan kondisi yang acap berlawanan dengan norma-norma agama. Realitas Indonesia adalah bangsa besar yang berketuhanan Yang Maha Esa, tetapi dengan kemiskinan yang besar, tingkat kesehatan yang masih buruk, kekerasan terhadap kelompok minoritas dan rentan, dan yang fenomenal adalah tingkat korupsi paling tinggi di dunia. Korupsi telah menyebar dan merembes ke dan di mana-mana, seakan-akan mayoritas warga bangsa ini, terlepas dari identitas kultralnya dan latarbelakang keyakinan agamanya, terlibat di dalamnya. Sebagian orang menyebut “korupsi telah mengalami situasi “banal” pada bangsa ini. Pada dimensi lain, kekerasan atas nama agama, kekerasan seksual, dan sejumlah pelanggaran hak-hak asasi manusia semuanya terjadi hampir setiap hari dan di banyak tempat.
Kondisi yang memprihatinkan ini justeru terjadi dalam sebuah bangsa dengan jumlah muslimnya yang sangat besar dan terbesar di dunia. Kesimpulan yang mudah kita tangkap adalah bahwa perilaku masyarakat muslim Indonesia masih memperlihatkan wajah-wajah yang paradoks. Ibadah individual yang bergemuruh itu ternyata tidak/belum merefleksikan makna ketaqwaan sosial yang berarti dalam kehidupan masyarakat muslim.
Khutbah Sosial-Kemanusiaan
Kenyataan sosial Indonesia yang memprihatinkan di atas, seharusnya menjadi inspirasi para khatib baik pada shalat Jum’at, Idul Fitri-Adha maupun pada ruang publik sakral lainnya. Isi khutbah sudah saatnya diarahkan untuk menyampaikan pesan keadilan,persaudaraan, kasih sayang dan kedamaian, dalam kerangka kemanusiaan. Khutbah-khutbah itu sudah waktunya diarahkan untuk menggerakkan dan memberikan kegairahan pada komunitas muslim untuk bekerja keras membangun kehidupan social yang lebih maju (tidak stagnan), mencerdaskan dan ramah terhadap siapa saja serta merahmati apa dan siapa saja. Pada saat yang sama khutbah tidak boleh digunakan sebagai ajang untuk memprovokasi audiens, menghasut, memfitnah dan mencacimaki orang lain baik sesama muslim maupun non muslim. Nabi sama sekali tidak pernah melakukan hal yang disebut terakhir ini. “Ma Bu’itstu La’anan wa La Fahisyan, wa Inama Bu’itstu Rahmatan”.(Aku tidak diutus Tuhan sebagai tukang mengutuk dan bicara buruk, tetapi aku diutus sebagai pembawa Kasih-Sayang).
Hakikat Kehadiran Agama
Kehadiran agama sejatinya dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari sistem sosial yang menindas, menzalimi dan dalam waktu yang sama juga mencerdaskan dan mencerahkan. Inti ajaran agama Islam adalah Tauhid. Yakni bahwa hanya Allah saja dan satu-satunya Yang Maha Besar, Yang Maha Tinggi, Yang Maha Absolut dan Maha Rahman-Rahim. Dengan begitu maka hanya Allah jugalah satu-satunya yang patut disembah dan seluruh makhluk (ciptaan Tuhan) wajib menyembah atau mengabdikan seluruh hidupnya kepada-Nya. Atas dasar ini, maka substansi ibadah (pengabdian) kepada Tuhan seharusnya merefleksikan fungsi-fungsi pembebasan manusia atas manusia yang lain dari struktur sosial yang menindas dan menzalimi di satu sisi dan menegakkan kebenaran, keadilan dan kemakmuran manusia di sisi yang lain. Dan hanya kepada-Nyalah semua manusia bergerak dan digerakkan.
Persaudaraan umat manusia adalah prinsip dari Tauhid. Bentuk-bentuk pengabdian kepada Tuhan secara personal (ibadah individual) yang didasari keyakinan personal itu sejatinya merupakan cara menghadirkan Tuhan dalam pribadi-pribadi muslim, yakni bahwa Tuhan selalu menyertai gerak nafas hidup manusia. Dia mengawasi dan mencatat perjalalanan hidup mereka. Ia juga menanamkan kesadaran kepada manusia akan fungsinya sebagai hamba Tuhan yang karena itu harus mengabdi dan merendahkan diri hanya kepada-Nya dan tidak kepada yang lain. Kesadaran-kesadaran ini diharapkan pada gilirannya teraktualisasi dalam kehidupan bersama mereka sehari-hari. Ibadah personal dengan begitu sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk dirinya sendiri melainkan untuk kepentingan sosial dan kemanusian yang lebih luas. Islam dengan seluruh perangkat aturannya dihadirkan untuk manusia dan untuk mewujudkan kerahmatan dan kemaslahatan (kebaikan/kesalehan) di antara mereka. Inilah sejatinya makna ibadah dan taqwa dalam Islam.
Ketika ibadah individual tidak membuahkan efek ketaqwaan sosial dan kemanusiaan, bahkan sebaliknya, membuahkan sikap-sikap hidup negatif atau destruktif (menyakiti dan merusak) maka, disamping merupakan kesia-siaan, bisa dikatakan sebagai kebangkrutan manusia dalam beragama. Nabi mengatakan :“Orang yang bangkrut dari kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa amalan-amalan ibadah shalat, puasa dan zakat. Tetapi pada saat yang sama ia juga datang sebagai orang yang pernah mencacimaki orang lain, menuduh orang lain, makan harta orang lain, mengalirkan darah orang lain, memukul orang lain”. Ini sejalan dengan pernyataan Tuhan dalam al Qur’an : “Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti hati orang-orang beriman, laki-laki atau perempuan, maka mereka memikul kebohongan dan dosa yang nyata”.(Q.S.[33]:58).“Kesempurnaan iman seseorang adalah budi pekerti yang baik dan berlaku lembut terhadap keluarganya”.
Pesan-pesan moral kemanusiaan Islam sungguh terungkap pada setiap teks suci. Nabi menginformasikan kepada kita bahwa mendamaikan konflik antar manusia memiliki nilai lebih utama ketimbang shalat, puasa atau zakat. Karena kerusakan yang ditimbulkan oleh konflik tersebut adalah kebinasaan agama”. (Al Jami’ al Shaghir, I/197).
“Satu hari seorang pemimpin bertindak adil terhadap rakyatnya adalah lebih utama daripada orang yang beribadah selama 60 tahun”( Al Maqashid al Hasanah, hlm. 334). Dan Jihad yang paling utama adalah menyampaikan pesan kebenaran (atau keadilan) kepada pemerintah yang zalim”. (Al Jami’ al Shaghir, I/81).
Sejarah kehidupan kaum muslimin generasi salaf memperlihatkan kepada kita bahwa mereka tidak pernah mendikotomisasi ibadah individual dan ibadah sosial. Pada dini hari yang tenang dan teduh kaum muslimin generasi awal (al Salaf al Shalih) khusyuk dalam sujud, bermunajat dalam do’a, memohon ampunan Tuhan, membaca dan men-tadabbur(merenungkan) makna-makna al Qur-an dan tanda-tanda alam semesta, sementara pada siang harinya mereka memacu kudanya, menanam kurma dan kerja-kerja sosial kemanusiaan. Mereka “Ruhban bi al Lail, Fursan fi al Nahar”, (bagai rahib pada malam hari, dan penunggang kuda pada siang hari). Seluruh kerja dan perjuangan untuk mewujudkan tatanan sosial yang adil dan menegakkan martabat kemanusiaan adalah ibadah, pengabdian kepada Tuhan yang tidak kurang pahalanya dari ibadah yang lain.