“Al Hafizh Hujjah ‘ala Man lam Yahfazh”, (orang yang hapal adalah argumen terhadap orang yang tidak hapal). Begitu bunyi kaligrafi indah di ‘gutekan’ (kamar) saya di pesantren. Orang yang hapal teks-teks akan dapat memenangkan perdebatan (munazharah) atau diskusi (mudzakarah) dengan orang-orang yang tidak hapal dan hanya mengandalkan logika atau akal semata. Jika dalam diskusi ia ditanya : apa argument anda?, maka dengan mudah ia akan menyebutkan dalil-dalilnya dari teks-teks.
Nah, atas dasar adagium itu, maka para santri di pondok pesantren diwajibkan menghapal hampir semua ilmu yang diajarkan. Pada umumnya adalah ilmu pengetahuan yang sudah diringkas dalam bentuk bait-bait syair. Dalam bentuk seperti ini, ilmu tersebut mudah dinyanyikan dengan langgam, ritme lagu apapun; pop maupun dangdut. Beberapa di antaranya adalah “Nazham ‘Amrithi” dan “Alfiyah Ibnu Malik” , untuk ilmu nahwu/ gramatika Arab), Al Jauhar al Maknun dan al Juman, untuk sastra Arab, “Al Sullam al Munawraq”, untuk ilmu mantiq /logika, “Nazhm al Waraqat”, dan “Al Faraid al Bahiyyah” untuk ilmu ushul fiqh dan kaedah fiqh, “Nazham al Baiquniyah” (ilmu hadits), dan lain-lain. Saya pernah menghapalkan semua itu dengan sebaik-baiknya. Dan sangat mengesankan. Kini tak banyak lagi nyanyian pengetahuan-pengetahuan itu yang masih bisa saya ingat, kecuali sedikit saja.
Tradisi Menghapal
Tradisi menghapal ilmu pengetahuan bukanlah khas komunitas pesantren di Indonesia. Ia menjadi tradisi masyarakat di berbagai belahan dunia Timur Tengah dan telah berlangsung berabad-abad, sampai hari ini. Bangsa Arab sejak pra Islam sampai kini punya tradisi menghapal. Pada masa Islam, kita mendengar begitu banyak ulama besar yang mampu menghapal, selain al Qr’an, ratusan bahkan ribuan hadits, puisi-puisi Al Mutanabbi, Maqamat al Hariri, Diwan al Buhturi, Diwan al Hamasah dan sebagainya. Di wilayah-wilayah Islam di Khurasan, Irak maupun di Kordoba (pusat-pusat peradaban Islam zaman tengah), betapa banyak para pelajar, mahasiswa dan santri-santri di madrasah, khanaqah, ribath dan zawiyah yang hapal kasidah Burdah, kasidah Banat Su’ad, Mu’allaqat Imri al Qais, syair-syair Na’tiyah dan Madaih Nabawiyyah yang indah itu.
Bahkan boleh jadi mereka di Persia juga hapal kidung-kidung “Al Matsnawi’ karya penyair besar Konya, Maulana Jalal al Din al Rumi (1207-1273) yang dua puluhan lima ribu-an bait itu. Di Mesir, para pelajar dan mahasiswa di sekolah-sekolah dan Universitas al Azhar, bukan sekedar biasa menghapal ilmu yang sudah dalam bentuk syair atau puisi, malahan juga dalam bentuk narasi prosaic yang begitu panjang. Begitu juga di madrasah-madrasah, Universitas-uiversitas di Saudi Arabia, Siria, Lebanon, Sudan, India, Pakistan dan lain-lain.
Di Indonesia, pada sejumlah besar pesantren dan madrasah kemampuan menghafal syair-syair ilmu tersebut di atas diujikan dan acapkali ditampilkan oleh para santri di hadapan para guru dan khalayak, pada momen-momen penting, terutama pada moment penutupan masa belajar (Haflah Akhir al Sanah atau Imtihan). Para orang tua yang diundang dalam acara tersebut merasa sangat gembira dan bangga melihat anaknya hafal “alfiyah” dan seterusnya. Mereka tidak terlalu menganggap penting apakah anak-anaknya memahami apa yang dihapalnya atau tidak. Persepsi masyarakat lalu menyebut orang yang alim dan ahli fiqh (faqih) adalah orang yang mampu menjawab persoalan-persoalan fiqh dengan mengemukakan pendapat yang terdapat dalam kitab-kitab. Tegasnya orang alim adalah orang yang hapal pendapat-pendapat para ulama masa lalu.
Metode menghapal untuk konteks tertentu mungkin saja baik. Tetapi membatasi diri pada hapalan tentulah kurang sempurna. Ia akan lebih baik jika ilmu-ilmu tersebut juga ditelaah dan dipahami kandungannya secara mendalam. Mengenai penggabungan ini ada sebuah syair yang menyatakan : “Wa Jam’i al Fahma ma’a al Hifzhi Yafi” (gabungkan pemahaman dan hapalan, niscaya akan memadai/sempurna). Penggabungan dua sistem ini ; memahami dan menghapal tentu saja ideal.
Akan tetapi pertanyaannya kemudian adalah adakah jika keduanya dapat dilakukan oleh seseorang, dia akan dapat menguasai keduanya dalam kualitas yang sama?. Dengan kata lain apakah dengan mengikuti dua metode tersebut akan dihasilkan keunggulan dan kemampuan yang sama?. Al-Jahiz, sastrawan dan teolog Mu’tazilah terkemuka menjawab pertanyaan ini :
انه متى ادام الحفظ اضر ذلك بالاستنباط ومتى ادام الاستنباط اضر ذلك بالحفظ وان كان الحفظ اشرف منزلة منه
“Manakalah seseorang lebih menekankan kebiasaan menghapal, itu bisa mengurangi kemampuannya menganalisis, dan kebiasaan menganalisis bisa mengurangi kemampuannya menghapal, meskipun kedudukan menghapal lebih mulia ”. (Rasail al Jahizh, III/25).
Jahiz memang memandang mulia metode hapalan. Tetapi manakah yang lebih potensial dan produktif untuk sebuah transformasi sosial dan peradaban umat manusia hari ini dan masa depan, menghapal atau memahami?.