Waktu sudah mendekati tengah malam. Sekitar pukul 23.00 WIB. Keadaan di luar rumah telah sepi. Pengajian kitab “Adab al-Dunya wa al-Din”, karya Imam al-Mawardi”, usai sudah. Para peserta pengajian pulang ke tempatnya masing-masing. Perutku terasa kosong. Aku lalu minta tolong seorang santri (A) membelikan “Nasi Goreng” di pasar, 100 m dari rumah. Tak lama ia pergi, anaku minta dibelikan juga Nasgor. Aku juga minta tolong santri lain (B) membelikan “Nasi Goreng” pula, di pasar yang sama.
Setelah menunggu cukup lama keduanya datang hampir bersamaan, dengan wajah seperti khawatir atau cemas. Lalu masing-masing menceritakan pengalaman menjelajah pasar dan menelusuri tempat-tempat penjual Nasi Goreng yang biasa mangkal. Tetapi mereka tak menjumpai satupun penjual Nasgor. Mereka hanya menemukan seorang perempuan tua yang sedang menunggui “Nasi Jamblang” di depan toko yang sudah tutup, di pertigaan jalan.
Santri A menemuiku sambil memohon maaf, karena tidak membawa pulang nasi pesananku. Sementara santri B membawa “Nasi Jamblang”, sambil mohon maaf karena telah menyalahi pesananku. Aku tersenyum saja, dan menyampaikan terima kasih kepada mereka, sambil mengatakan : Jazakumullah Khairan’. Semoga Allah membalas kalian dengan lebih baik. Begitu keduanya menghilang, aku dan anakku segera menyantap “Nasi Jamblang” dengan lahap. “Alhamdulillah”.
Malam berikutnya, aku menceritakan kisah di atas kepada para peserta pengajian dan menanyakan : “bagaimanakah pendapat kalian tentang peristiwa itu, siapakah di antara A dan B yang paling benar”. Dan merekapun berdebat sedikit sengit. Aku membiarkan saja. Menarik sekali. Sebagian membenarkan si A, sebagian menyetujui si B dengan argumentasi nya masing-masing.
Nasi goreng hanyalah simbol dari makanan. Nah, nasi Jamblang juga makanan. Bukankah yang penting makanan yang dengannya aku jadi tidak kelaparan pada tengah malam itu. Jadi si B berpikir substantif, kontekstual dan Maqasid.
Aku lalu berkomentar. Si A adalah santri tekstual. Dia benar, karena memahami kata-kataku : “Nasi Goreng”, bukan selain itu. Betapa jelasnya kata itu. Jika dia membeli nasi Jamblang atau Warteg, dia akan merasa salah. Dia memahami makna lahiriahnya, makna tekstual. Tetapi si B juga benar. Meski membeli nasi Jamblang, bukan nasi goreng. Dia memahami bahwa aku lapar. Nasi goreng hanyalah simbol dari makanan. Nah, nasi Jamblang juga makanan. Bukankah yang penting makanan yang dengannya aku jadi tidak kelaparan pada tengah malam itu. Jadi si B berpikir substantif, kontekstual dan Maqasid.