Fahmina.or.id, Cirebon. Proses pembngunan dari mulai perencanaan sampai pertanggung jawababan program pembangunan di pemerinthan desa sangat minim melibatkan peran perempuan. Hal tersebut terungkap dalam diskusi Buku Mahina Masohi: Peregerkan Perempuan Mengukir Zaman yang diterbitkan Forum Aktifis Perempuan Muda Indonesia (FAMM) dalam rangkaian Peringatan Hari Perempuan Internasional di Gedung Paseban Bupati Cirebon, Sumber, Kabupaten Cirebon, Jum`at (10/3).
Alifatul Arifiati salah satu penulisnya menyebutkan buku ini adalah hasil penelitian seberapa besar partisipasi dan pelibatan perempuan dalam membangun desa. dari dua belas cerita tersebut mewakili empat wilayah di antarnya Kalimatan, Sumatera, Jawa, NTB, Sulawesi. Di Jawa Barat dikalukan di dua wilayah yaitu Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon.
Dalam penelitian itu ia menemukan ada beberapa faktor yang menyebabkan minimnya pelibatan perempuan dalam pembangunan desa. Seperti status perkawinan, devinisi perempuan dewasa secara sosial. “Kebanyakan prangkat desa laki-laki kalau ada perempuan itu sudah menikah, di struktural desa kebanyakan perempuan di PKK itu juga yang menentukan perangkat desa laki-laki. Hampir jarang juga perempuan muda yang ikut di dalamnya,” terang Alif.
Perempuan dalam peranannya di kegiatan Karang Taruna misalnya hanya menjadi penyedia logistik. Pada tingkat pengambil keputusan belum dilibatkan. Walaupun ada prosesntasinya sedikit hanya orang-orang tertentu yang sudah sepuh, perempuan muda tidak diikutsertakan. Begitupun ibu PKK, karena beberapa alasan tidak terlibat karena rapatnyamalam hari, alasannya karena pagi bekerja, walaupun terlibat tidak diminta memberikan keputusan hanya mempersiapkan logistik atau menjadi administrasi.
Alif menambahkan, walaupun banyak perempuan muda tidak dilibatkan dalam perencanaan pembangunan desa, banyak dari mereka melakukan inisiatif membentuk kelompok diskusi misalnya mengadakan diskusi tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas, memberi penyadaran bahwa kawin anak itu tidak sehat dan bisa merugikan.Selain itu beberpa perempuan muda datang ke keccamatan dan desa mengumpulkan warga bagaimana menghentikan perkawinan anak, kekerasan seksual, pendampingan korban kekerasan.
ketimpangan peran sosial masih timpang, perempuan hanya berperan di wilayah domestik menjadi pandangan yang masih melekat di masyarkat umum seperti perempuan hanya bertugas di dapur sumur kasur atau soal reproduski saja. Perempuan selama ini tidak dianggap memiliki peran produksi.
“Peran produksi yang dilakukan perempuan masih belum dianggap walaupun menghasilkan nilai ekonomis, padahal paling pinter mengelola keuangan. Tetapi itu tidak dihitung sebagai peran produksi. Laki-laki dan perempuan memilikki peran yang sama untuk melakukan peran reproduksi dan produksi,” tukasnya.
Sementara itu Yati dari Dinas Pemberdayaan Masyarkat Desa membenarkan bahwa peran perempuan dalam pembangunan desa sangat kurang, sehingga perencanaan sngat lemah. Pembagian tugas dalam rancangan Pembangunan masyarakat desa (Rpmd) yang tugas keseharian merencakan pembangunan didominasi oleh laki laki sebanyak 4000 orang sedangkan prempuan 600 orang saja. Dari jumlah rt/rw 9168 perempuan baru sekitar 700 orang saja yang menjabatnya, rw 2593 perempuan selebihnya dijabat oleh laki-laki,
“Dari lembaga kemasyarakat di desa terlihat peran perempuan sangat kurang. Padahal dalam perencanaan pembangunan merancng pergub bahwa 30 persen dalam pembuatan rpjmdes perempuan harus terlibat. Ini perpu no 54 tetapi belum terlihat,” paparnya
Kebutuhan mengenai perempuan sangat kurang, ketika mengusulkan pembangunan menurutnya hanya berbau fisik. Padahal non fisik sangat dibutuhkan. “Belum pernah ada yang mengusulkan kebutuhan peningkatan kapasitas perempuan dalam pembangunan, perencnaan dan mengajak masyarkat bicara sesuai kebutuhan. Urusan ini tidak diperhatikan,” katanya.
Ia berharap parapenggerak perempuan bisa memotifasi perempuan desa untuk memlibatkan diri dalam perencanaan pembangunan desa. Karena menurut dia keterlibatan perempuan sangat penting dalam pembangunan. (Zain AB)