Peristiwa tersebut sungguh sangat ironis kalau kita kembalikan pada tujuan agama yaitu keadilan, kesejahteraan, perdamaian dan tujuan universal lainnya yang terdapat dalam teks-teks keagamaan kita. Secara retorika masyarakat kita adalah masyarakat religius, namun labelisasi itu pada kenyataannya harus berani untuk diverivikasi dengan realitas sosial. Sebab, keberagamaan bukan dikembalikan kepada pemiliknya Allah Swt. akan tetapi kepada penerimanya (manusia). Karena itu, untuk mengukur apakah seseorang sudah beragama dengan benar atau tidak, bukan terletak pada pengoperasian simbol-simbol agama secara ritualistik. Tetapi justru terletak pada apakah seseorang sudah mentransforrmasikan simbol-simbol itu ke dalam gerak sosial secara nyata. Sehingga apa yang disebut sebagai Maqashid al-Syari’ah (tujuan syari’at) seperti keadilan, kesejahteraan, perdamaian, kesetaraan dan lain-lain dapat terlihat dan terasa.
Kita semua tahu bahwa pada setiap agama manapun, selama itu masih agama, mestilah diajarkan sikap menghargai dan menghormati yang lain. Sayangnya, di Indonesia sebagai “negeri kaum beragama” belum mampu mewujudkan apa yang diajarkan oleh agama. Sebab, kita masih melihat ada diskriminasi dan tindak ketidak adilan yang dilakukan oleh segelintir pihak – atau hampir semua pihak, terhadap sebagian saudara kita baik yang seagama maupun yang berbeda agama.
Sikap toleransi, kebebasan, keterbukaan, keadilan dan kejujuran adalah termasuk wilayah etis; yaitu bagaimana sebaiknya kita berinteraksi sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari. Apakah dengan meyakini bahwa hanya keyakinan kita yang benar, dan bahwa keyakinan orang lain adalah salah atau sesat, pada wilayah etis kita menjadi tidak toleran, tidak menghargai kebebasan beragama, tidak berlaku adil kepada orang yang berbeda agama atau keyakinan?
Berbeda hendaknya dibarengi dengan semangat tetap menghargai perbedaan identitas masing-masing dan menghindari penyeragaman. Hidup dalam masyarakat yang plural tidak perlu mereduksi aqidah kita atau orang lain. Yang perlu kita kembangkan adalah bagaimana kita secara etis dapat hidup bersama, bekerja sama, tidak terjebak dalam konflik antar umat beragama atau seagama, tanpa mereduksi aqidah. Dengan kata lain, walaupun kita meyakini keyakinan kita adalah benar dan keyakinan orang lain adalah salah, namun kita tetap tidak meninggalkan sikap-sikap toleransi, kebebasan, keterbukaan, keadilan dan kejujuran.
Hak kebebasan beragama bersifat mutlak yang merupakan wujud dari ‘inner freedom’ (‘freedom to be’) termasuk hak asasi manusia yang paling inti, oleh karena itu bersifat non-derogable [hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan atau dibatasi atau dikurangi pemenuhannya oleh siapapun termasuk negara, meskipun dalam kondisi darurat sekalipun], dan harus dihormati oleh siapapaun termasuk negara dalam keadaan apapun dan kapanpun (Conde, 1999: 96/ MM. Billah). Keyakinan adalah hak asasi manusia. Jika si A meyakini bahwa agamanya adalah yang paling benar hal itu merupakan hak asasinya. Kita harus menghargai keyakinannya itu. Jika si A meyakini agama orang lain adalah sesat hal itu juga merupakan hak asasinya. Kita tidak boleh mengurangi keyakinannya itu.
Namun dalam kerangka etis, pandangan wahyu dan pandangan kita tentang teologi agama atau keyakinan umat lain (konsep ketuhanan) cukup kita bicarakan dalam internal umat. Itu hanya untuk konsumsi internal umat. Di hadapan umat beragama atau keyakinan umat lain, misalnya, saya kira tidak etis jika kita berbicara tentang pandangan-pandangan kita mengenai agama atau keyakinan umat lain. Apalagi jika kita secara demonstratif mengatakan kepada mereka: “Agama atau keyakinan yang Anda yakini adalah sesat dan salah!” Tidak etis karena bisa menyakiti perasaan orang lain dan orang lain merasa dihina. Jadi, jika secara teologis kita meyakini bahwa agama atau keyakinan orang lain adalah sesat, ada etika yang harus kita jaga. Yakni, ketika kita mengekspresikan keyakinan itu baik secara lisan maupun tulisan, kita harus memperhatikan kapan dan di mana kita menyatakannya sehingga tidak ada yang merasa terhina dan tersinggung.
Hak untuk mengejahwantahkan (mengekspresikan) agama atau keyakinan (misalnya, hak menyebarkan agama, hak beribadah, hak mendirikan tempat ibadah) termasuk dalam hak untuk bertindak (freedom to act) yang dapat ditangguhkan, diatur, dan dibatasi (Nowak & Vospernik)à Pasal 18 (3) ICCPR; Pasal 9 (2) ECHR; Pasal 12 (3) ACHR (MM. Billah). Dalam UDHR (pasal 18) dan ICCPR (pasal 18), “freedom of religion” mencakup kebebasan “to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance.” Di sini sangat jelas sekali bahwa kebebasan berkeyakinan cakupannya sangat luas sekali, tidak hanya keyakinan dalam hati, keyakinan yang dikomunikasikan, namun sampai tahap melakukannya.
Berkeyakinan selama masih dalam hati, belum diekspresikan dan diamalkan berada dalam wilayah kebebasan mutlak yang tidak bisa dijangkau oleh hukum. Namun ketika keyakinan itu diekspresikan dan diamalkan, maka kebebasan berkeyakinan dapat disentuh oleh hukum dan dibatasi. Alasan yang perlu untuk melakukan pembatasan adalah perlindungan atas “(a) rights or reputations of others; (b) protection of national security; (c) public order; (d) public health; (e) public morals.” (ICCPR Pasal 18).
Contoh yang keyakinan berjihad, yakni berjihad dengan mengebom orang-orang yang diyakini sebagai kafir. Dalam masyarakat pluralis seperti Indonesia, seseorang boleh saja punya keyakinan bahwa orang yang ia yakini sebagai kafir harus dibunuh. Namun, dalam negara hukum seperti Indonesia, keyakinan itu tidak boleh diamalkan karena membahayakan keselamatan orang lain dan ketertiban umum. Pembatasan-pembatasan itu mengandung pesan: “you are free to believe as you like, but, for goodness sake, don’t act on it!” (Adams, 286). Silahkan Anda mempunyai keyakinan apa pun, namun jika keyakinan itu mengganggu dan membahayakan keselamatan umum, ketertiban, kesehatan atau moral atau hak-hak dasar serta kebebasan orang lain, jangan mengamalkannya!
Selayaknya, perbedaan identitas dipahami sebagai fitrah dan rahmat kehidupan. Emha Ainun Najib menggoreskan, orang lain itu berbeda bukan karena “ingin” berbeda. Ia berbeda karena memang Tuhan menggariskannya demikian. Kerbau tidak akan bisa mengambingkan dirinya, atau mengerbaukan kambing. Sama halnya, kambing tidak bisa mengerbaukan dirinya atau memaksa kerbau menjadi kambing.
Agama bagaikan istri. Istri saya barang kali tidak secantik istri tetangga. Istri tetangga boleh jadi tidak seseksi istri kita. Kita tidak perlu sibuk bertanya, mengapa istri tetangga lebih cantik. Sama halnya, tetangga tidak perlu mempermasalahkan, mengapa istrinya tidak seseksi istri kita. Biarlah tetangga sibuk dengan istrinya, agamanya. Dan, biarlah saya sibuk dengan istri saya, agama saya. Demikian kata Cak Nun. Semua itu, dilakukan dengan dasar persaudaraan, bahwa kita satu bangsa.