Kekerasan demi kekerasan yang dialami para pekerja migran tersebut, masih terus berlangsung sampai hari ini. Dan perempuan adalah korban paling banyak. Kekerasan tersebut terjadi tidak hanya di tempat mereka bekerja melainkan juga di segala ruang mereka berada. Kematian yang sia-sia akibat terjun bebas masih juga terus berjatuhan. Sebagian dari mereka mati di atas tiang gantungan atau ditangan algojo yang menebasnya dengan pedang. Realitas terakhir menunjukkan bahwa banyak di antara mereka, terperangkap dalam benang kusut Trafiking (perdagangan manusia); sebuah nama lain bagi praktik perbudakan gaya baru.1
Kenyataan-kenyataan ini memperlihatkan kepada kita bahwa para pekerja migran kita, meski tidak seluruhnya, masih dianggap sebagai entitas sosial yang belum diperlakukan secara manusiawi. Hak-hak kemanusiaan mereka terampas oleh sebuah sistem sosial, ekonomi dan politik yang diskriminatif. Bagi para pekerja migran perempuan, diskriminasi yang mereka alami selalu bersifat ganda. Diskriminasi atas nama pekerjaan mereka di satu sisi dan diskriminasi atas nama gender di sisi yang lain. Kaum perempuan masih dianggap sebagai entitas subordinat dan marjinal. Akibatnya mereka merupakan pekerja migran yang paling rentan terhadap dan paling banyak mengalami kekerasan. Status gender perempuan seakan-akan sah saja untuk dieksploitasi. Ini adalah realitas hari ini kita yang sangat menyedihkan sekaligus merengkuh sisi kemanusiaan kita. Sementara pada sisi lain, para pekerja migran yang jumlahnya berjuta-juta itu secara faktual telah menyumbang devisa negara dalam jumlah triliunan rupiah. Mereka, mayoritas besar kaum perempuan, telah mempertaruhkan segala potensinya dan menguras keringat dan air matanya untuk menghidupi sekian juta orang ; dirinya sendiri, anak-anak, suami/isteri dan keluarganya yang lain. Dengan begitu tampak jelas bagi kita bahwa peradaban kita masih belum dan tidak adil terhadap para pekerja migran kita.
Buruh Migran dan Tanggungjawab Keagamaan (Islam)
Problem buruh migran sebagaimana disebutkan tentu saja tidak boleh dibiarkan berlangsung terus menerus. Sistem sosial yang diskriminatif dan eksploitatif terhadap mereka harus segera dihentikan. Membiarkan keadaan ini sama artinya dengan membiarkan pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia. Maka setiap kita dituntut untuk mengambil bagian bagi upaya-upaya melindungi dan menanggulangi realitas yang diskriminatif tersebut.
Dalam teks keagamaan Islam praktik dehumanisasi dinyatakan sebagai kezaliman (penindasan) dan kemunkaran yang wajib diperangi. Agama hadir untuk membebaskan manusia dari sistem kehidupan yang zalim di satu sisi dan menegakkan keadilan di sisi yang lain. Ini adalah misi utama dan paling sentral agama-agama. (Baca antara lain ; Q.S. al Maidah, [5]:16). Dalam sebuah hadits Nabi dari Tuhan (hadits Qudsi) dikatakan dengan tegas : “Wahai hamba-hamba-Ku, Aku haramkan kezaliman terhadap diri-Ku, dan Aku jadikan kezaliman itu juga haram di antara kamu. Maka janganlah kami saling menzalimi satu atas yang lain”.2 Setiap upaya dan cara dari manapun datangnya untuk menghapuskan kezaliman dan menegakkan keadilan adalah missi utama agama.
Nabi kaum muslimin menyatakan: “Siapa saja di antara kalian yang melihat praktik kemunkaran, dia wajib bertindak mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lidah. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Yang terakhir ini cara yang paling lemah”.(H.R. Ahmad dan Muslim).3 Tindakan dengan “tangan” adalah tindakan dengan otoritas negara yang dalam konteks modern didasarkan pada hukum dan perundang-undangan. Ini adalah kewajiban pemerintah dan para pengambil kebijakan publik struktural.4 Tindakan dengan “lidah” adalah tindakan melalui cara-cara dakwah (penyebaran informasi), pendidikan, penguatan sumber daya sosial dan kerja-kerja sosio-kultural yang lain. Ini adalah kewajiban para tokoh masyarakat, para tokoh agama dan institusi-institusi sosial-kultural lainnya. Sementara tindakan dengan “hati”, adalah tindakan pengingkaran dan penolakan terhadap praktik-praktik kemunkaran tersebut. Ini menjadi cara setiap individu dalam masyarakat.
Pernyataan Nabi Islam di atas memperlihatkan kepada kita bahwa penghapusan segala bentuk kezaliman dan penegakan keadilan merupakan tanggungjawab kolektif manusia dengan fungsi sosialnya masing-masing. Dengan kata lain sistem sosial yang mendehumanisasi manusia harus ditanggulangi secara sinergis dan bersama-sama serta dengan langkah-langkah strategis.
Peran Institusi Keagamaan
Institusi keagamaan merupakan representasi kehendak-kehendak sosial dan komunitas beragama yang diorganisir secara kultural. Secara umum institusi tersebut berfungsi sebagai wadah bagi upaya-upaya transformasi sosial dan kultural berdasarkan cita-cita agama. Dalam banyak realitas di manapun di dunia, institusi keagamaan mempunyai peran yang sangat strategis dan seringkali memberikan kontribusi besar atau bahkan ikut menentukan dalam proses pengambilan keputusan publik/politik oleh negara. Organisasi-organisasi Islam, seperti NU dan Muhammadiyah dalam sejarah panjang Indonesia telah memainkan peran penting dalam banyak aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Satu dari sekian problem negara yang berhasil secara mengesankan karena dukungan dan partisipasi aktif organisasi keagamaan adalah Keluarga Berencana.
Keterlibatan dan partisipasi organisasi keagamaan dalam mengatasi kompleksitas problem buruh migran adalah niscaya dan sangat strategis. Apalagi bagi organisasi dan lembaga keagamaan yang memiliki basis anggota di akar rumput seperti ; Nahdlatul Ulama (NU) dan Pondok Pesantren. Mayoritas buruh migran Indonesia secara kultural berafiliasi ke organisasi keagamaan terbesar ini. Secara geografis, daerah basis buruh migran Indonesia adalah area mayoritas Nahdliyin. Beberapa daerah yang sering disebut sebagai basis NU sekaligus pengirim tenaga kerja migran dalam jumlah besar antara lain Jawa Timur, Madura, Jawa Tengah, Pantai Utara Jawa Barat, terutama Indramayu dan Cirebon, Nusa Tenggara Barat, Lampung dan lain-lain. Fakta ini seharusnya menggugah kesadaran dua institusi keagamaan NU tersebut untuk berpartisipasi secara aktif bagi upaya-upaya penanganan problem buruh migran ini. Ini adalah tantangan paling ril bagi organisasi keagamaan berbasis akar rumput ini. Secara kultural pula NU dan pesantren memiliki potensi besar untuk dapat melaksanakan tugas-tugas tersebut. Kepemimpinan para ulama dan para kiyai di Pesantren seringkali menjadi faktor yang ikut menentukan keberhasilan proyek sosial kemanusiaan. Pesantren adalah kekuatan sosial tertinggi atau grass root power di Indonesia. Pesantren bisa memberi masukan bahkan mendesak pemerintah untuk melakukan perubahan. Sosiolog Universitas Indonesia Robert MZ Lawang menyatakan bahwa jika kekuatan pesantren difungsikan maka banyak sekali masalah di Indonesia yang dapat diatasi.
Demikian pula organisasi keagamaan Islam lainnya seperti Muhammadiyah dan lain-lain. Meskipun untuk kasus buruh migran, Muhammadiyah boleh jadi relatif tidak banyak menghadapi problem yang menimpa anggotanya, akan tetapi organisasi ini juga dituntut hal yang sama atas dasar tanggungjawab keagamaan, kebangsaan dan prinsip-prinsip kemanusiaan universal.
Langkah Strategis Organisasi Keagamaan
Ada banyak hal yang seharusnya dapat dilakukan oleh organisasi keagamaan dalam menghadapi problematika buruh migran tersebut. Beberapa di antaranya, pertama dan utama, adalah merumuskan program-program kerja sosial-ekonomi yang berperspektif kemanusiaan dalam rangka menyelamatkan masyarakat dari kemiskinannya. Kemiskinan adalah faktor utama mengapa masyarakat terpaksa harus menjadi buruh migran dan meninggalkan keluarganya, meski dengan segala konsekuensi dan risiko sangat pahit yang harus mereka terima. Fungsi agama yang utama adalah membebaskan manusia dari kemiskinan. Dengan begitu, Ulama, Kiyai dan tokoh agama yang lain sudah saatnya mengarahkan institusinya untuk kerja-kerja dalam proyek sosial ekonomi ini sebagai program utama. Secara operasional program ini dapat diwujudkan melalui pembentukan dan penguatan gerakan ekonomi rakyat. Grameen Bank barangkali dapat menjadi salah satu model bagi kegiatan ini. Organisasi dan institusi keagamaan juga dapat membentuk lembaga-lembaga Filantropi (Jam’iyyah al Khair) yang diarahkan bagi pengembangan usaha-usaha ekonomi produktif bagi masyarakat.
Kedua, institusi-institusi keagamaan dapat melakukan peran penyebaran informasi sekaligus pendidikan. Dakwah dan pendidikan adalah fungsi lain yang melekat dan paling signifikan dalam organisasi keagamaan. Sementara para tokoh agama dan para kiyai dalam konteks Indonesia merupakan orang-orang yang ucapan-ucapannya didengar dan dijadikan pegangan oleh masyarakat. Ini adalah fungsi strategis dan dalam banyak pengalaman seringkali memiliki tingkat efektifitas yang besar bagi transformasi sosial-kultural, bahkan juga bagi perjuangan politik kebangsaan. Penyebaran informasi (dakwah) dan pendidikan tidak hanya dalam rangka penguatan keimanan dan moral personal, tetapi juga tentang berbagai persoalan yang menyangkut isu-isu perburuhan secara umum dan buruh migran secara khusus, termasuk trafiking, hak-hak asasi manusia dan keadilan gender. Dalam konteks agama aktifitas sosial yang memberi manfaat dan menyelamatkan penderitaan bagi banyak orang dipandang lebih utama dibanding aktifitas personal.
Penyebaran informasi ini dapat dilakukan melalui mimbar Khutbah Jum’at, majlis ta’lim, mushalla, pesantren, dayah dan ruang pertemuan-pertemuan keagamaan yang lain. Organisasi-organisasi Islam besar seperti NU dan Muhammadiyah memiliki perangkat organik yang begitu banyak dan dan infrastruktur yang menjangkau sampai pada tingkat RT/RW. Keduanya juga memiliki lembaga pendidikan yang sangat banyak, beragam dan tersebar sampai ke pelosok desa. NU dan Muhammadiyah memiliki ribuan pesantren dan madrasah serta sekolah. Melalui dakwah dan pendidikan tersebut, masyarakat diharapkan akan mengetahui, mengenal, memahami dan menyadari untuk pada gilirannya memiliki komitmen yang kuat untuk secara bersama-sama mengantisipasi, menanggulangi dan memberikan perlindungannya pada korban atau calon korban. Untuk hal ini para agamawan dan organisasi keagamaan dapat bekerjasama dengan lembaga pemerintahan yang terkait, seperti departemen atau dinas tenaga kerja dan lembaga swadaya masyarakat yang bekerja untuk kepentingan buruh migran. Kerjasama ini di samping untuk kepentingan memahami undang-undang, regulasi-regulasi tentang perburuhan dan berbagai masalahnya, juga untuk kerjasama dalam rangka sosialisasi itu sendiri sekaligus juga pengawasan atau pemantauannya.5
Akan tetapi perlu segera dicatat bahwa penyebaran informasi oleh institusi keagamaan dan para tokoh agama harus dilandasi oleh sebuah cara pandang baru yang lebih egalitarian, memihak dan memberdayakan, terutama terhadap buruh migran perempuan. Perburuhan atau bekerja di manapun, termasuk di luar negeri, harus dipandang sebagai hak setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan. Menghalangi atau melarang orang, terutama perempuan, untuk bekerja di luar negeri bukanlah jalan keluar yang baik, bahkan dapat dianggap sebagai melanggar hak-hak orang, kecuali karena alasan yang dapat dibenarkan. Yang paling signifikan dalam hal ini adalah merumuskan sistem atau cara agar setiap orang dan negara dapat memberikan perlindungannya terhadap para pekerja agar tetap aman, apalagi terhadap kelompok yang secara sosial dianggap paling rentan, seperti perempuan. Perlindungan paling penting dari negara adalah adanya hukum dan perundang-undangan yang menjamin keamanan para buruh migran. Di atas semuanya cara pandang baru tersebut mengarah pada penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak orang lain tanpa melihat jenis kelaminnya. Dengan begitu sosialisasi tentang buruh migran juga harus didasarkan pada paradigma keadilan dan kesetaraan gender.
Ketiga, institusi keagamaan dapat berfungsi sebagai lembaga advokasi dan perlindungan bagi buruh migran yang menjadi korban. Advokasi diperlukan untuk mengembalikan hak-hak korban, baik ekonomi maupun politik, memulihkan keadaan fisik dan psikisnya serta merehabiltasi mereka sedemikian rupa sehingga diterima secara penuh oleh masyarakatnya sebagai warga bangsa. Kecenderungan umum masih seringkali menstigmatisasi atau menyalahkah korban, terutama ketika korban adalah perempuan. Organisasi dan lembaga keagamaan termasuk pesantren dapat mengambil inisiatif mendirikan pusat-pusat krisis guna menangani masalah-masalah yang dihadapi buruh migran, sehingga buruh migran yang bermasalah memiliki tempat untuk mendapat pertolongan dan jalan keluar, baik secara agama, sosial maupun secara hukum.6 Akan sangat besar artinya bagi masyarakat apabila organisasi-organisasi keagamaan memiliki crisis center ini di seluruh daerah. Demikian juga pesantren-pesantren di Indonesia. Pendirian pusat-pusat krisis untuk penghapusan kekerasan berbasis gender termasuk untuk pelayanan dan advokasi buruh migran ini dapat dilakukan dengan kerjasama dengan pemerintah daerah maupun institusi sosial lainnya.
Peran lain yang sesungguhnya bisa dijalankan organisasi keagamaan bagi perlindungan buruh migran adalah melakukan lobi-lobi internasional, khususnya dengan negara-negara penerima. Dua organisasi Islam besar, seperti NU dan Muhammadiyah sudah saatnya juga memikirkan dan mengurusi persoalan buruh migran ini. Apalagi pimpinan dua organisasi ini saat ini adalah presiden World Conference on Religion and Peace Assembly (WCRP). Pada saat yang sama PBNU telah dua kali berhasil menyelenggarakan International Conference of Islamic Scholars (ICIS). Ini adalah posisi strategis dalam skala global untuk memperjuangkan nasib buruh migran Indonesia.
Untuk hal tersebut NU agaknya perlu belajar dari Filipina. Di negara yang sekitar tujuh juta warganya bekerja ke luar negeri, Gereja Katolik amat berperan dalam penguatan dan advokasi buruh migran negaranya. Dalam rangka ini Gereja Katolik Filipina membangun Komisi Pelayanan untuk Buruh Migran. Komisi ini bergerak mulai dari tingkat nasional, provinsi, hingga paroki. Dalam aktivitasnya, mereka bersinergi dengan NGO dan organisasi-organisasi buruh migran Filipina yang dibentuk di negara tujuan. Sinergi ini bermanfaat dan efektif untuk memantau situasi buruh migran Filipina dan kinerja Kedutaan Besarnya. Gereja juga mengirimkan para misionarisnya untuk melayani buruh migran Filipina. NU sesungguhnya memiliki semua potensi yang mungkin jauh lebih besar dari Pilipina. Persoalannya tinggal pada sejauhmana konsen dan komitmen NU untuk terlibat dalam mengurusi jutaan warganya yang bekerja di luar negeri dan yang tengah dirundung malang tak habis-habisnya itu.
1 Konsorsium buruh migran Indonesia [KOPBUMI] mencatat 1-1,5 juta dari 5 juta buruh migran Indonesia adalah korban trafficking. ACILS Report 2003, terdapat 700.000-1 juta buruh migran Indonesia yang dipekerjakan sebagai pekerja seksual, penghibur dan eksploitasi kerja lainnya. Kasus terbesar di Indonesia banyak berasal dari Jawa Barat, NTB, dan Jawa Timur. Data dari SBMI menyebutkan sampai th 2006 ada 110 kasus trafficking yang sedang ditangani. (Jurnal IFPPD, edisi 1, h. 1-2).
2 Lihat Shahih Muslim,Kitab Birr wa al Shilah wa al Adab, No. Hadits : 4674
3 Lihat, al Suyuthi, al Jami’ al Shaghir, II/295-296
4 Dalam konteks Islam negara adalah institusi yang paling bertanggungjawab terhadap kehidupan warga negaranya. Kewajiban negara dalam hal ini adalah melindungi mereka yang dizalimi (ya’wi ilaihi kullu mazhlum), dan memberikan kesejahteraan bagi mereka. Dalam teks keagamaan disebutkan : “Manzilah al Imam ‘ala al Ra’iyyah manzilah al Waliy ‘ala al Yatim” (kedudukan dan fungsi pemerinah atas rakyatnya sama dengan kedudukan dan fungsi pengasuh bagi anak-anak Yatim), dan “Tasharruf al Imam ‘ala al Ra’iyyah manuthun bi al Mashlahah” (tindakan dan kebijakan pemerintah terhadap rakyatnya adalah dalam kerangka kesejahteraan hidup mereka).
5 Perlindungan negara terhadap warganya dimanapun, tak terkecuali mereka yang bekerja di luar negeri, meliputi banyak aspek. Negara dalam hal ini Pemerintah, perlu mengubah cara pandang tentang perburuhan dan buruh, terutama buruh migran. Perburuhan harus dipandang sebagai ruang warga untuk memenuhi hak-haknya, antara lain yang utama adalah hak untuk memperoleh penghidupan yang layak dan hak untuk bekerja. Dalam konteks yang lebih mendasar dan luas, para buruh migran harus diperlakukan dan diposisikan secara adil dan bermartabat. Perundang-undangan yang dibuat harus memenuhi prinsip ini. Lebih dari segalanya, perundang-undangan dan peraturan hukum yang lain harus ditegakkan dengan serius. Adalah menarik bahwa Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah mengeluarkan fatwa berkaitan dengan isu Trafiking. Dalam fatwa yang dikeluarkan pada 08 Agustus 2006 itu disebutkan bahwa Trafiking adalah Haram dan bahwa mencegah perdagangan manusia dan melindungi korbannya bagi pemerintah, tokoh agama dan masyarakat adaah Wajib. Fatwa ini tentu saja penting untuk disosialisasikan. Sementara pada tanggal 06 Mei 2007 lalu PCNU Kabupaten Cirebon telah melakukan kerjasama dengan Polres Kab. Cirebon dan Fahmina Institute untuk memerangi kejahatan perdagangan orang (Trafiking).
6 Puan Amal Hayati telah mengambil inisiatif ini sejak lima tahun lalu. LSM yang dikelola oleh para santri aktifis ini berhasil mendirikan pusat krisis di sejumlah pesantren di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah Pesantren Dar al Tauhid Cirebon, Pesantren Cipasung Tasikmalaya, Pesantren Nurul Islam Jember; Pesantren al Ma’shumiyah, Bondowoso, Pesantren Aqidah Asyumi, Sumenep, Madura, Pesantren Al Ishlahiyah Malang, Pesantren Al Nur Bekasi, Pesantren Al Hamidiyah, Depok; Bogor; Pesantren Al Sakinah, Indramayu dan Pesantren Al Kenaniyah, Jakarta. Fatayat dan Muslimat Nahdlatul Ulama juga melakukan kerja-kerja penguatan resource perempuan, pendampingan dan advokasi buruh migran dan trafiking.