Hampir dipastikan, setiap upaya penerapan syariat yang mengacu kepada ajaran agama, sering menyisakan diskriminasi, bahkan tindak kekerasan terhadap kalangan tertentu, termasuk kaum perempuan. “Setiap bangsa memiliki ulama untuk memahami syariat. Jika khalifah – semoga Allah selalu mencurahkan pertolongan kepadanya- membiarkannya, itu lebih baik “, jawab Imam Malik bin Anas (w. 179H/795M) pada utusan khalifah al-Mansur (w 158H/775M). Imam menolak ketika mereka meminta karyanya ‘al-Muwaththa’ (sebuah kompilasi syariat Islam paling awal) untuk ditetapkan sebagai Undang-undang Syariat Negara. Ungkapan ini menarik dimunculkan untuk menanggapi gencarnya tuntuan pemberlakuan syariat Islam di sejumlah daerah. Hampir dipastikan, setiap upaya penerapan syariat yang mengacu kepada ajaran agama, sering menyisakan diskriminasi, bahkan tindak kekerasan terhadap kalangan tertentu, termasuk kaum perempuan.
Dalam wacana fikih klasik, legalisasi syariat dianggap sebagai sebuah pemaksaan sekelompok orang melalui institusi negara – yang cenderung represif – untuk menerima dan mengamalkan pemahaman (ijtihad) tertentu – baik individual maupun kolektif – terhadap orang banyak. Menerima pemahaman orang lain dalam wacana ini dikenal dengan taqlid, sebuah perilaku yang sangat tidak terpuji jika dilakukan seluruh anggota komunitas. Karena itu, mayoritas – untuk tidak mengatakan seluruh – ulama generasi tiga abad pertama Islam, menolak segala upaya legalisasi yang biasanya ditawarkan para pelaku politik (Mahmasouni, 1980, h. 89). Legalisasi dipahami sebagai standarisasi yang bisa berakibat fatal, terutama bagi perkembangan dan pengayaan intelektual. Dalam sejarah Islam, hampir dipastikan bahwa setiap upaya standarisasi selalu berhadapan dengan penolakan dan resistensi dari sejumlah tokoh dan pakar unggulan. Ketika khalifah Abu Bakr Siddiq, sahabat paling dekat Nabi , diminta untuk melakukan standarisasi bacaan al-Qur’an, beliau menolak dengan jawaban “Saya tidak mau melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Nabi”. Sikap yang sama ditunjukan khalifah berikutnya, berikutnya Umar bin Khathab ra. Baru pada masa Utsman bin Affan ra, standarisasi dijalankan setelah melewati perdebatan yang cukup sengit. Itupun masih menyisakan penolakan dari sejumlah sahabat. Saat itu, al-Qur’an ditulis secara resmi oleh negara, disahkan dan disosialisasikan ke seluruh wilayah. Tulisan lain, atau cara baca lain, sekalipun hidup dan berlaku pada masa Nabi, dilarang beredar, bahkan dibakar di muka umum. Standarisasi al-Qur’an, seiring dengan tuntuan perkembangan zaman, terus mengerucut mulai dari penulisan tanpa tanda huruf dan tanda baca, sampai penulisan yang penuh dengan atribut-atribut yang sebenarnya adalah murni kreasi artistik. Tetapi oleh generasi berikutnya atribut-atribut itu dianggap ketentuan pokok agama yang sakral dan final.
Standarisasi hadis (baca: pengumpulan, penulisan dan penyatuan metodolgi) juga mengalami hal yang sama. Pada awalnya upaya ini ditolak keras segenap sahabat Nabi, kecuali beberapa orang saja. Diriwayatkan bahwa Khalifah Abu bakr ra berkata di depan para sahabat yang sering meriwayatkan hadis Nabi: “Kalian meriwayatkan dari Rasulullah banyak hal, yang diperselisihkan diantara kalian. Ingatlah bahwa generasi setelah kalian akan berselisih lagi tentang periwayatan itu, bahkan lebih hebat. Sebaiknya kalian tinggalkan periwatan itu, apabila ada yang bertanya, jawablah: “Yang menjadi pedoman kita adalah al-Qur’an, ikutilah apa yang diperintahkan, yang halal dihalalkan dan yang haram ditinggalkan”.
Umar ra juga dengan tegas melarang penulisan hadis. Hanya setelah beberapa sahabat, seperti Ibn umar, Ibn Abbas, Abu Hurairah dan lain-lain, berulang kali menyarankan pengumpulan dan penulisan hadis, Umar memikirkan usulan itu selama satu bulan penuh. Setelah itu ia menemui beberapa sahabat dan berkata: “Saya, setelah disarankan untuk menulis hadis-hadis, tetapi saya teringat orang-orang terdahulu, para ahli kitab sebelum kita. Mereka menulis berbagai hal di samping memiliki kitab suci dari Allah. Kemudian mereka lebih memilih tulisan-tulisan itu dan meninggalkan kitab suci mereka. Dengarlah, demi Allah, saya tidak ingin mencampurkan kitab suci kita dengan tulisan-tulisan lain.” Bahkan Umar mengeluarkan anjuran: “Barangsiapa yang memiliki tulisan-tulisan itu (hadis), sebaiknya dihapus saja”. Tetapi seiring perjalanan sejarah Umat, pengumpulan dan penulisan hadist-hadist menjadi sebuah keniscayaan, yang kemudian terjadi secara besar-besaran. Semua itu dilatari oleh berbagai motivasi; mulai dari agama, politik, sosial, bahkan kepentingan kelompok (Ahmad Amin, 1983, II/164-167).
Pengumpulan dan penulisan al-Qur’an masa Utsman ra dan pengumpulan hadis-hadis pada masa-masa berikutnya adalah merupakan standarisasi agama yang menyebabkan orang selalu ingin berpikir dan berperilaku seragam dalam beragama. Agama di monopoli satu pandangan dan satu penafsiran. Dalam memahami ajaran agama, umat tidak lagi bisa memilah antara agama dari Tuhan, antara pemahaman agama dari manusia, antara prinsip dan pilihan-pilihan, atau antara wilayah transendental yang tidak berubah dan wilayah temporal yang berubah-ubah. Sesuatu yang pada awalnya beragam bahkan diperdebatkan, setelah dilakukan standarisasi melalui kebijakan politik, ia bagi generasi berikutnya menjelma jadi ajaran agama yang mutlak.
Legislasi, apabila dipahami sebagai islamisasi hukum melalui kekuatan politik, sebenarnya baru mengemuka pada masa dinasti Abbasiyah (mulai 140-an H/). Sebelumnya, hukum Islam tertanam melalui dakwah persuasif, pembentukan kultur dan penguatan masyarakat sipil. Tafsir agama yang bias gender, misalnya, tidak pernah berkembang menjadi legislasi formal. Ia hanya dianggap sebatas pandangan keagamaan ulama tertentu yang bisa diikuti dan bisa tidak, bahkan pada masanya bisa dikritisi oleh sejumlah ulama lain. Larangan perempuan keluar rumah, pergi ke mesjid, atau aktif di dunia politik-publik, yang disuarakan oleh sahabat seperti Ibn Umar dan Abu Hurairah, pada masanya dikritisi oleh isteri Nabi Aisyah dan Zubair bin Awwam. Bahkan Aisyah keluar memimpin perang unta melawan Ali bin Abi Thalib. Melihat demikian, Ibn Hazm pun, pada akhirnya menganggap bahwa hadis-hadis larangan sedemikian tidak valid untuk dijadikan referensi hukum. Orang yang pertama kali menawarkan ide legislasi syariat adalah Ibn al-Muqaffa’ (w. 145 H), orang Persia yang menjadi penasehat dan pembantu khalifah al-Mansur pada dinasti Abbasiyyah. Saat itu, ia merasa gundah dengan beragam pendapat dan pandangan keagamaan, serta keputusan hukum yang berkembang di seluruh wilayah pemerintahan. Ia menyarankan pembentukan kesatuan hukum syariat di bawah kendali khalifah, yang diberlakukan terhadap seluruh masyarakat. Ide ini diterima oleh Khalifah al-Mansur, tetapi ketika disosialisasikan ditolak oleh segenap elite masyarakat, terutama para ulama.
Khalifah berikutnya Harun ar-Rashid juga membujuk para ulama mengenai penyatuan hukum, tetapi tetap ditolak. Ide legisalasi syariat, tidak terealisasi, sampai akhir masa dinasti Turki Usmani. Upaya beberapa penguasa, seperti Sultan Sulaiman al-Qanuni dari dinasti Turki Usmani dan Sultan Muhammad Awrangzeb dari India, hanya sebatas kompilasi jurispredensi yang bisa menjadi petunjuk bagi para hakim, tetapi tidak mengikat siapapun. Artinya, legislasi tetap tidak pernah mencapai realisasi di masyarakat muslim terdahulu. Dalam sejarah hukum Islam di Nusantara, ada catatan bahwa beberapa kitab fikih sempat dijadikan rujukan pembentukan hukum oleh beberapa penguasa kerajaan Melayu. Contohnya, undang-undang Malaka yang disusun masa sultan Muhammad (1442-1444).
Keengganan para ulama terdahulu terhadap segala upaya legislasi syariat di sebabkan beberapa hal. Pertama, kekhawatiran akan kesalahan hasil ijtihad yang akan dijadikan materi legislasi, karena kesalahan akan menjadi fatal apabila diikuti oleh seluruh umat Islam. Kedua , keengganan ulama akan pemaksaan semua orang terhadap satu pandangan syariat saja dari keragaman pandangan yang sudah ada, karena keragaman menyimpan kerahmatan. Ketiga, legislasi akan memaksa orang bertaqlid (mengikut pandangan orang lain) dan mematikan kreatifias penalaran hukum dan pemahaman terhadap teks-teks syariat. Keengganan ulama terdahulu terhadap upaya legislasi formal syariat, tidak berarti mereka tidak setuju penerapan hukum syariat. Syariat pada saat itu telah menjadi struktur kultur sosial masyarakat. Syariat dinamis menghadapi perubahan-perubahan yang berlaku dan terbuka untuk berinteraksi dengan pengalaman-pengalaman dari peradaban lain. Sehingga syariat muncul dengan penuh keragaman dan kekayaan pandangan. Masyarakat memiliki kebebasan untuk memilih dari pandangan-pandangan yang ada. Suasana demikian, justru akan sirna jika syariat dilegislasikan. Dan yang diuntungkan oleh legislasi hanya penguasa.
Tuntutan memberlakukan syariat tentunya sah menurut logika demokrasi, termasuk tuntutan untuk menolak dan mengkritisi pemberlakuan syariat itu sendiri. Asumsi yang dimunculkan untuk memahami fakta keengganan para ulama terdahulu terhadap legislasi syariat juga patut didiskusikan. Itu sangat relevan dengan kondisi sosial kontemporer Indonesia, ketika tuntutan legislasi menjadi semacam ‘bom politik’, terutama untuk hal-hal yang berkaitan dengan peran dan posisi sosial perempuan. Setidaknya perlu menjawab beberapa pertanyaan: Apakah batasan-batasan syariat? Apakah pandangan-pandangan keagamaan mengenai perempuan yang sementara ini tertulis merupakan syariat yang baku dan universal? Sudah cukup relevankah syariat – seperti apa adanya – dilegislasikan sekarang? Adakah pembacaan ulang terhadap produk-produk hukum yang sementara ini dianggap syariat? Perlukah merumuskan kembali cita ideal syariat yang menjadi acuan legislasi dan memformulasikan kembali parsial-parsialnya sesuai dengan kondisi sosial yang berkembang?
Beberapa ulama kontemporer seperti Muhammad Syaltut, Sayyid Sabiq dan ath-Thabathab’iy, membedakan syariat dan aqidah, antara din, millah dan syariat. Aqidah adalah dasar prinsipal agama, sedang syariat adalah cabang, atau jalan menuju agama. Aqidah adalah Din (agama) yang satu, dan sama antara satu Nabi dengan Nabi yang lain. Sedang syariat bisa berbeda-beda dari satu Nabi ke Nabi yang lain. Artinya, ada hal-hal yang berkait dengan keyakinan dan kepercayaan, yaitu aqidah. Ada persoalan-persoalan praktek dan perilaku keagamaan, yang dinamakan syariat.
Jadi, syariat dalam proses sejarahnya telah menyatu bersama fiqh, berikut penalaran-penalaran ulama yang muncul di dalamnya. Artinya, syariat menjadi dinamis dan terbuka untuk merespon perkembangan sosial yang terjadi. Kalau melihat proses sejarah yang telah terjadi, tidak tepat mengatakan seluruh syariat berasal dari Tuhan, suci, transendental, universal dan secara umum tidak bisa berubah. Pada prakteknya, syariat lebih merupakan tumpukan produk pemikiran dan penalaran manusia, yang tentu saja temporal dan kondisional. Contoh sederhana, ayat al-Qur’an yang membicarakan hukum hanya berjumlah sekitar 400 saja, tetapi pembahasan hukum dalam fiqh kita sampai berpuluh-puluh jilid.
Jika dikatakan seluruh ajaran Islam adalah syariat, masih bisa dibenarkan.Tetapi tidak tepat jika dikatakan seluruh syariat adalah transendental, universal dan tidak berubah. Asumsi keuniversalan syariat kurang tepat. Syariat tidak terbentuk utuh sekali waktu. Ia mengalami pembaruan, perkembangan dan perubahan, baik masa Nabi, sahabat, maupun masa-masa berikutnya. Syariat dinamis merespon tuntutan kondisi sosial masyarakat. Syariat muncul dari perdebatan panjang dan berlarut-larut. Bahkan, ketika syariat menemui bentuk yang jelas di tangan para ulama madzhab, ia masih terbuka terhadap terhadap pengembangan dan pembaruan. Wallahu a’lam. []