Sungguh kurang bijak, jika hanya segelintir orang pesantren terlibat ‘pengeboman’, lalu muncul tuduhan bahwa pesantren dan orang-orang di dalamnya adalah atau berpotensi menjadi teroris. Sebagaimana tidak bijaknya media Barat, yang karena ulah sekelompok ekstrimis, lalu dengan mudah menuduh seluruh umat Islam sebagai teroris.
Asumsi bahwa pesantren menjadi sarang teroris, tidak relevan jika merujuk pada pesantren-pesantren nahdhiyin yang berjumlah ribuan dan menyebar di seantero nusantara. Pesantren-pesantren yang terkenal dengan kajian kitab kuningnya (al-kutub al-mu’tabarah) ini mewarisi tradisi dakwah Islam yang damai dan akomodatif terhadap berbagai kearifan lokal (al-’urf). Tradisi ini adalah warisan dari perjuangan dan metode dakwah walisongo.
Cirebon sendiri, yang secara historis pernah menjadi salah satu pusat penyebaran Islam di Jawa, dipenuhi pesantren-pesantren. Di Cirebon bagian Timur terdapat ‘kampung pesantren’ Buntet, sebuah kompleks pesantren yang berlokasi di desa Mertapada Kulon. Tidak jauh dari situ, terdapat pesantren Gedongan yang berlokasi di desa Ender. Sementara di wilayah Cirebon Barat bagian Selatan terdapat ‘kampung pesantren’ Babakan Ciwaringin. Di wilayah Cirebon Barat bagian Utara terdapat pesantren Dar Al-Tauhid di desa Arjawinangun, dan pesantren Al-Anwariyah di desa Tegalgubug. Terbentang di antara di antara wilayah Barat bagian Utara dan bagian Selatan, dapat ditemui dua pesantren; pesantren Tahsinul Akhlaq di desa Winong dan ’kampung pesantren’ di desa Kempek Ciwaringin. Ke Selatan sedikit, kita dapat menjumpai pesantren Balerante, Palimanan. Dari Palimanan ke arah Timur, di wilayah Plered, kita juga dapat menjumpai beberapa pesantren. Di Cirebon Kota, juga terdapat banyak pesantren. Sebut saja beberapa diantaranya adalah pesantren Jagasatru, pesantren Istiqomah, dan pesantren Siti Fatimah. Di bagian lain dari Kota Cirebon terdapat pesantren Benda Kerep. Nama-nama dan lokasi pesantren itu hanya sebagian dari yang ada, masih banyak nama dan lokasi pesantren yang sesungguhnya belum disebutkan.
Sebagaimana para walisongo yang bijak dalam berdakwah, kiai-kiai pesantren Cirebon pun mendakwahkan Islam dengan pendekatan rahmatan lil ’alamin. Salah satu bentuk kebijakan tersebut adalah pandangan-pandangan inklusif dalam beragama. Sikap ini bukan hanya berkembang sekarang, tetapi sejak dahulu. Salah satu bukti yang bisa disaksikan adalah beberapa peninggalan sejarah, seperti Kereta Paksi Naga Liman yang terdapat di keraton Kesepuhan Cirebon. Dari bentuknya menyiratkan penghargaan akan agama dan budaya yang ada di masyarakat.
Dalam newsletterMashalih Ar-Raiyyah (edisi Okt-Nov 2003), Al-Marhum KH. Fuad Hasyim -pengasuh pesantren Nadwatul Ummah- mengungkapkan penghargaannya terhadap segala bentuk keragaman. Menurutnya, perbedaan harus disyukuri, karena merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihilangkan kecuali oleh Allah sendiri. Untuk ini beliau menyitir sebuah hadits yang berbunyi; ”Lâ yazâl an-nâsu fi khaîrin mâ tabâyanû, wa in tasâwû halakû” (Jika berbeda-beda atau dalam keragaman maka manusia senantiasa dalam keadaan baik, tetapi jika sama, mereka akan binasa).
Senada dengan KH. Fuad Hasyim, ketua MUI kab. Cirebon, KH. Ja’far Aqiel Siraj, dalam Mashalih Ar-Raiyyah (edisi Sept-Okt 2003) menyatakan bahwa; ”Dalam konteks kehidupan demokrasi, kita harus menerima perbedaan”. Lebih jauh ia menyatakan, bahwa, meski terkadang menimbulkan permusuhan diam-diam, perbedaan harus tetap dihargai.
Masih dalam newsletter yang sama, Al-Maghfrullah KH. Yahya Masduki –salah seorang pengasuh pesantren Babakan Ciwaringin- menganjurkan sikap inklusif dalam hidup. Mengutip KH. Ahmad Siddiq, beliau menyatakan bahwa dalam pergaulan, kita jangan hanya mejaga hubungan baik antar sesama muslim (ukhuwah Islamiyah), tetapi juga hubungan baik antar warga bangsa (ukhuwah wathaniyah) dan antar sesama manusia (ukhuwah insaniyah). Ungkapan ini menyiratkan sikap yang santun dan toleran dalam hidup dan kehidupan.
Sementara itu pesantren Dar Al-Tauhid Arjawinangun telah lama hidup damai berdampingan dengan non-muslim dan etnis Tionghoa. Di sana terlihat betapa masyarakat hidup dengan saling menghargai perbedaan yang ada, di mana Masjid, Gereja Vihara bisa berdiri berdekatan dengan damai. Menurut salah seorang penghasuh pesantren, KH. Ahsin Sakho, bahwa KH. Syathori (Wafat 1969 M) –pendiri pesantren Dar Al-Tauhid- dari dahulu mempraktekan hidup damai dengan non-muslim dan etnis Tionghoa. Ini teutama pada bulan puasa, di mana etnis Tionghoa mengirimkan makanan ke pesantren dan masjid untuk berbuka (ta’jil). KH. Syathori tidak melarang sumbangan tersebut. Beliau juga menyekolahkan anak-anaknya di SMP tempat anak-anak Tionghoa dan non-muslim sekolah.
Tradisi damai ini terus berlanjut. Ahmad –santri pesantren Dar Al-Tauhid- menceritakan bahwa, ketika terjadi reformasi 1998, dimana keamanan etnis Tionghoa terancam, beberapa orang Tionghoa setempat meminta perlindungan ke KH. Ibnu Ubaidillah –putra dan penerus KH. Syathori- sebagai pucuk pimpinan pesantren Dar Al-Tauhid.
Ke Barat sedikit dari Arjawinangun, tepatnya di desa Tegalgubug, ditemukan fakta bahwa Tionghoa dan kalangan non-muslim adalah mitra bisnis sebagian besar pedagang di sana. Padahal kebanyakan mereka adalah para santri dan kiai alumnus pesantren-pesantren besar di Jawa Timur, seperti Lirboyo. Mereka telah berpuluh tahun menjalin kerja sama bisnis dengan non-muslim dan Tionghoa.
Di Kempek -di mana terdapat pesantren-pesantren ’salaf’ sebagaimana di Babakan Ciwaringin- paling tidak ada dua tokoh yang menjunjung tinggi perbedaan, yaitu: KH. Said Aqiel Siraj dan KH. Syarief Utsman Yahya (Ayip Utsman ) . KH. Said, secara nasional dikenal sebagai ulama NU yang toleran dan bersahabat dengan non-muslim. Sedangkan Ayip Utsman selain dikenal sebagai Bapak gerakan anak muda NU Cirebon, beliau juga pernah membidani berdirinya Forum Lintas Iman Cirebon pada th. 2001.
Tidak hanya di Kabupaten, di Kota Cirebon juga terdapat tokoh-tokoh pesantren yang berpandangan bijak, damai dan bersahabat. Inilah terutama sikap yang ditunjukkan Al-Magfrullah KH. Syarief Muhammad bin Syekh (Ayip Muh) dalam kehidupan sehari-hari. Selain tegas dalam membimbing umat, beliau juga selalu menunjukkan sikap bijak dalam menghadapi setiap persoalan masyarakat. Karenanya, hampir semua pihak bersahabat dengan ulama Cirebon yang kharismatik ini.
Selain itu, KH. Slamet Firdaus dan KH. Fathoni adalah diantara ulama Kota Cirebon yang ramah terhadap perbedaan. Kedua tokoh ini aktif dalam jajaran kepengurusan NU Kota Cirebon. Dalam suatu kesempatan KH. Slamet Firdaus mengemukakan bahwa: ”Dalam tafsir Al-Qur’an, kaum lemah (mustadhafîn) haruslah dibela, tidak peduli apakah ia muslim atau non-muslim”. Dalam membela kaum lemah, tidak boleh membeda-bedakan agama atau yang lainnya, tambahnya lebih lanjut. Sementara KH. Fathoni meski tidak banyak bicara, beliau melakukan pembelaan terhadap LSM kaum muda NU di Cirebon yang dituduh ’sesat’ oleh sebagian kecil masyarakat. Beliau juga tidak segan bergaul dengan beberapa pendeta dan non-muslim lainnya.
Bukan hanya kiai-kiai senior, generasi yang lebih muda pun nampaknya mewarisi sikap toleran dan menghargai perbedaan ini. Sebut saja mubaligh muda dari Buntet, KH. Babas Fuad Hasyim – putra KH. Fuad Hasyim- dalam satu kesempatan ia menegaskan : ”Dalam persoalan keyakinan (’aqîdah), tidak ada paksaan. Tetapi dalam soal hidup bertetangga (mujâwarah) maka kita harus saling menghormati satu sama lain”. Salah seorang pimpinan Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Buntet Pesantren, KH. Wawan Arwani, dalam Mashalih Ar-Raiyah (edisi Des 2003) menyatakan bahwa dalam Al-Qur’an kita dilarang memaki, apalagi atas nama Tuhan dan agama.”Janganlah kamu memaki sembahan-sembahan selain Allah, karena mereka akan memaki Allah tanpa batas” (QS., Al-An’am: 108): Berdasarkan ayat ini, KH. Wawan menyatakan bahwa kekerasan tidak akan meyelesaikan masalah, bahkan hanya akan melahirkan kekerasan baru.
Meski para kiai sepuh menunjukkan sikap toleran dan menghargai perbedaan. Meski sikap inklusif itu diwarisi juga oleh generasi penerusnya, namun masyarakat Cirebon tidak terlepas dari trend keberagamaan dewasa ini, dimana agama cenderung dipahami ekslusif, formal dan kurang menghargai perbedaan. Dalam suatu kesempatan KH. Luthful Hakim (Kang Aim) pengasuh pesantren Nadwatul Ummah Buntet, berkomentar kenapa akhir-akhir ini Islam cenderung ekslusif? Ini karena kendangkalan ilmu. “ Formalisasi Islam atau ingin menjadikan negara ini negara Islam jelas mempersempit Islam. Islam itu universal, sementara negara membatasi orang atas kebangsaan semata. Adapun ayat mengenai berhukum dengan hukum Allah, bila di lihat asbâb nuzulnya tidak diturunkan untuk orang Islam, melainkan untuk Yahudi dan non-muslim yang menyimpang dari ketentuan Allah SWT” , jelas Kang Aim.
Lebih jauh mengenai ketidaksetujuan akan formalisasi ini, salah seorang pengasuh pesantren Dar Al-Tauhid Arjawinangun, KH.Chozin Nasuha, menyatakan bahwa: ”Yang diperlukan sekarang adalah syariah yang inklusif. Yaitu syariah yang diterapkan secara terbuka dengan mengadopsi unsur-unsur luar, seperti budaya lokal (’urf) dan beberapa pemikiran positif”. Terlepas dari setuju atau tidaknya formalisasi Islam, sebagai orang pesantren penulis berharap agar kita semua tidak meninggalkan ilmu dan kearifan yang diwariskan para ulama, kiai dan guru kita semua. Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Tulisan ini dipersembahkan untuk mimbar keragaman Kerjasama Fahmina Institute dan The Wahid Institute dengan Harian Umum Mitra Dialog
Artikel ini dimuat Mitra Dailog, pada Jum’at 13 April 2007