Selasa, 22 Oktober 2024

NAHDLATUL ULAMA DAN KOMITMEN KEBANGSAAN

Baca Juga

Kebangsaan (wathaniyah) NU dibuktikan dari kepedulian dan komitmennya dalam memperkokoh imajinasi umat Islam Nusantara tentang bangsa yang merdeka. Komitmen ini ditunjukan sejak Muktamar Banjarmasin tahun 1936, Resolusi Jihad tahun 1945, pengukuhan Kepala Negara Republik Indonesia sebagai waliyul amri adharuri bi as-syaukah, hingga penerimaan Pancasila dan NKRI sebagai tujuan akhir perjuangan umat Islam tahun 1984 di Muktamar Situbondo.

Yang menarik adalah pernyataan ini dimunculkan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia dan dianggap sebagai organisasi tradisional/kaum sarungan, ketika sebagain besar organisasi Islam menyatakan diri untuk menegakkan syariat Islam sebagai landasan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia, bahkan ada yang menginginkan Indonesia menjadi Negara Islam. Pertanyaannya adalah apakah komitmen kebangsaan Nahdlatul Ulama ini untuk menegaskan posisi NU sebagai penjaga NKRI dan Pancasila atau dinyatakan sebagai anti tesis terhadap kelompok/organisasi Islam lain yang menyerukan Negara Islam, khilafah Islamiyah, syriat Islam, Perda syariat Islam dll.

Beberapa pernyataan tokoh NU mempertegas posisi NU vis a vis Kelompok ‘fanatik’ syariat Islam, seperti yang disinyalir para Kiai NU sebagai kelompok yang ingin mengganti ideology Negara, misalnya adalah pernyataan ketua Tanfidziah PWNU Jawa Timur KH. Dr. Ali Machsan Musa, bahwa “kelompok yang ingin mengganti NKRI dengan Negara Islam melalui Daulah Islamiyah dan khilafah 2014, mereka akan berhadapan dengan NU,” (Opini Indonesia, Agustus 2006).

NU berkembang dengan corak dan kulturnya sendiri. NU juga menampilkan sikap akomodatif terhadap berbagai madzhab keagamaan yang ada disekitarnya, dan menampilkan sikap yang toleran terhadap nilai-nilai local. NU juga tidak dalam upaya menyatukan dan menghilangkan madzhab, seperti yang selama ini diperjuangkan dan menjadi asal-usul berdirinya NU, ketika masih menjadi Komite Hijaz yang menuntut kepada Kerjaan Saudi Arabia – Wahabi- agar memberikan kebebasan dan kemerdekaan bermadzhab, diizinkan masuknya kitab-kitab karangan Imam Ghazali dan Imam Sanusi.

NU dilahirkan dari pergumulan dan reaksi difensif terhadap berbagai aktifitas kelompok reformis di tingkat local dan perkembangan-perkembangan internasional yaitu, penghapusan khalifah, penyerbuan kaum Wahabi ke Makkah, dan Pan Islamisme. Ulama-ulama tradisional/pesantren merasa terdesak dengan adanya gerakan-gerakan kaum progresif dan upaya-upaya menghapus ajaran Sunni di Timur Tengah yang dilakukan Wahabi.

Berdirinya NU tidak bisa dilepaskan dengan upaya mempertahankan ajaran ahlus sunnah wal jama’ah, yang bersumber dari al-Qur’an, Sunnah, Ijma, keputusan-keputusan para ulama sebelumnya dan qiyas/analogi, kasus-kasus yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah. Ajaran ahlus sunnah wal jama’ah, diimplementasikan oleh NU dengan qanun asasi yang dibuat oleh Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari, berpedoman hokum pada empat madzhab yaitu, madzhab Imam Syafi’I, madzhab Imam Hanafi, madzhab Imam Hambali, madzhab Imam Maliki. Dalam soal akidah menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi, dan dalam soal tasawuf menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qasim al-Junaidi al-Baghdadi dan Hujatul Islam Imam Ghazali.

NU dalam sejarah tidak pernah melakukan untuk menyatukan atau menghilangkan madzhab-madzhab keagamaan yang ada, seperti yang dilakukan ketika protes terhadap sikap Wahabi di Saudi Arabia yang menunggalkan madzhab. NU juga tidak menghilangkan budaya lokal yang berbeda dengan NU, sebaliknya NU berartikulasi dan berinteraksi secara positif dengan tradisi-tradisi dan budaya masyarakat setempat –ini juga dibuktikan dengan serangan kelompok modernis terhadap NU yang menganggap dalam beragama telah melakukan tahayul, bid’ah dan kurafat (TBC) karena mengharagai budaya lokal-. Proses artikulasi tersebut telah melahirkan Islam dengan wajah yang ramah terhadap nilai budaya setempat, serta menghargai tersebut telah melahirkan Islam dengan wajah yang ramah terhadap nilai budaya setempat, serta menghargai perbedaan agama, tradisi dan kepercayaan yang merupakan warisan budaya Nusantara. Nahdaltul Ulama juga memiliki wawasan multicultural, bukan melindungi tradisi atau budaya setempat, tetapi mengakui manifestasi tradisi dan budaya lokal yang memiliki hak hidup.

Nahdlatul Ulama memiliki cirri khas keagamaannya sendiri yaitu, mampu menerapkan ajaran teks keagamaan yang bersifat sacral di dalam konteks budaya yang bersifat profane. NU telah membuktikan bahwa universalitas Islam dapat diterapkan tanpa harus menyingkirkan dan berhadap-hadapan dengan budaya dan tradisi lokal atau nilai-nilai yang berasal dari luar dirinya.

Mengutip pidato Iftitah KH. Sahal Mahfudz dalam pembukaan Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama, NU sejak awal mengusung ajaran Islam tanpa melalui jalur formalistic atau politik, lebih-lebih dengan cara membenturkannya dengan realitas secara formal. NU memiliki keyakinan bahwa syariat Islam dapat diimplementasikan tanpa harus menunggu atau melalui institusi formal. NU lebih mengidealkan substansi nilai-nilai syari’ah terimplementasi di dalam masyarakat dibandingkan dengan mengidealisasikan institusi. Kehadiran institusi formal bukan jaminan untuk terwujudnya nilai-nilai syari’ah di dalam masyarakat. Ini mempertegas posisi NU bahwa tidak akan memperjuangkan syariat Islam secara formal apalagi dengan mendesak Negara menggunakan asas Islam dan Peraturan-peraturan Daerah (Perda) syariat Islam.

Menutup tulisan ini kita bisa melihat bahwa NU sebagai organisasi social keagamaan (jamiyyah diniyyah wa’ ijtimaiyyah) Islam terbesar di Indonesia memiliki komitmen terhadap perjuangan para ulama-ulama untuk tetap menjaga NKRI dengan azaz Pancasila. Seperti rekomendasi Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Surabaya Juli 2006; meneguhkan kembali Pancasila dan NKRI dilakukan karena ada upaya pengkroposan dan penggrogotan yang melemahkan NKRI, ini dilihat dari menipisnya komitmen ke-Indonesiaan di sebagian kalangan masyarakat, juga berkembang sentiment dan perilaku keagamaan yang ekstrim. Pancasila sebagai pedoman dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mulai dikesampingkan. Dengan ini NU menegaskan kembali NKRI dengan dasar Pancasila merupakan bentuk final dari jerih payah perjuangan umat Islam Indonesia, sebagaimana diputuskan dalam Munas Alim Ulama NU 1983 di Situbondo dan dikukuhkan Muktamar NU 27 di Situbondo 1984. Bangsa ini harus berpegang teguh dan mengimplementasikan Pancasila sebagai Kalimatun sawa (kesamaan sikap dan langkah) dalam penyelenggaran Negara.


*) Nuruzzaman, Alumni Departemen Sosiologi Program Pascasarjana FISIP UI, tinggal di Pondok Pesantren Miftahul Muta’allimin (PPMM) Babakan Ciwaringin Cirebon.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Buku Perempuan Penggerak Perdamaian; Cerita Perempuan Lintas Iman Menjaga Perdamaian di Ciayumajakuning

  Judul : Perempuan Penggerak Perdamaian; Cerita Perempuan Lintas Iman Menjaga Perdamaian di Ciayumajakuning Penulis : Fachrul Misbahudin, Fitri Nurajizah, Fuji Ainnayah, Gun Gun Gunawan,...

Populer

Artikel Lainnya