Sabtu, 21 Desember 2024

Dinamika Islam dan Masyarakat di Indonesia

Baca Juga

Martin Van Bruinessen adalah guru besar Studi Kurdi Universitas Utrecht di Belanda. Laki-laki yang akrab disapa Martin ini lahir di Kota Schoonhoven, Provinsi Utrecht, Belanda. Sebagai seorang intelektual, pada tahun 1998 Martin telah mendirikan Internasional Institute of the Study of Islam in Modern World (ISIM).

Selain menjadi guru besar, pada tahun 1981 Martin mendapatkan beasiswa dari Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde (KITLV) sebagai peneliti muda tentang Islam di Indonesia. Martin juga sempat menjadi dosen tamu untuk mengajar sosiologi agama Universitas Islam Negri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1991-1993.

Dalam kunjunganya ke kantor Mubaadalah di kawasan Yayasan Fahmina Cirebon, Sabtu 8 Februari 2019, Martin bersedia untuk diwawancara Mubaadalahnews. Inilah hasil wawancara dengan beliau terkait Dinamika Islam dan Masyarakat di Indonesia.

***

Bagaimana ceritanya awal kali datang ke Indonesia?

Saya pertama kali datang ke Indonesia pada 1982. Itu terjadi kebetulan saja dan tidak pernah saya rencanakan. Saya menganggur kemudian melamar pekerjaan dan kebetulan mendapat beasiswa pasca doktoral untuk mengkaji Islam di Indonesia. Tapi sebelumnya saya sudah berpengalaman cukup lama di Timur Tengah terutama di wilayah Kurdi di Iran, Irak, Turki, Syria dan juga di Afganistan. Jadi saya udah tahu Islam yang ada di daerah sana termasuk tarekat-tarekatnya dan ziarah-ziarahnya yang sering saya kaji.

Saya berpikir untuk mengkaji sesuatu yang belum banyak dilakukan orang. Saya pun merancang sebuah penelitian mengenai kemiskinan dan radikalisme agama. Apakah radikalisme agama disebabkan karena kemiskinan? Dan ternyata asumsi itu salah. Tapi untung salah karena itu memaksa saya untuk mendapatkan hal yang berbeda.

Sebetulnya pada perjalanan pertama waktu saya belum tahu banyak Indonesia, saya berkeliling di Jawa Barat dulu. Karena saya tahu Pamijahan, Kab. Tasikmalaya, punya posisi penting dalam sejarah Islam di Jawa karena Tarekat Syattariyah masuk ke Pamijahan. Saya ziarah ke Pamijahan dan saya mengikuti jejak Islam di tanah Jawa jadi mulai dari Pamijahan. Dari Pamijahan saya sedikit demi sedikit ke arah Cirebon, ke Sunan Gunung Jati dan terus bergerak ke Jawa Tengah dan sebagainya.

Saya tertarik kepada sejarah terutama bagaimana Islam menemukan tepat di hati orang yang mempunyai budaya yang berbeda. Maka dari itu, saya banyak mempelajari ritual-ritual yang ada di masyarakat seperti ziarah, muludan dan sebagainya.  Saya banyak menziarahi makam wali di Jawa.

Pada satu waktu, di salah satu toko buku di Bandung, saya melihat ada satu buku berbahasa Arab yang ditulis oleh orang Kurdi. Penulisnya Muhammad Damim Al-Kurdi. Kemudian saya tertarik penulis Tarekat Naqsyabandiyah di Kurdi. Saya bertanya-tanya kenapa buku ini ada di Bandung? Apakah orang Kurdi ada di Bandung atau Naqsyabandi ada di sini karena kebetulan saya menemukan buku itu muncul pertanyaan di benak saya bagaimana saya menemukan orang yang mempraktikan Tarekat Naqsyabandiyah.

Nah, setelah penelitian saya yang pertama, saya satu tahun tinggal di kawasan miskin di Bandung. Saya diminta oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ikut dalam satu proyek penelitian mengenai ulama di Indonesia. Peneliti LIPI itu ada di seluruh Indonesia dan dari situ saya bisa bertanya kepada banyak peneliti lain tentang Tarekat Naqsyabandiyah. Saya menanyakan sejarah dan perkembangan tarekat ini kepada mereka.

Jadi, dari awal minat saya memang lebih kepada ritual-ritual tradisional tarekat seperti ziarah dan sebagainya. Ini lebih menarik dibanding penelitian saya yang resmi tentang Islam radikal. Bagi saya, kajian Islam radikal tidak terlalu menarik. Sampai sekarang banyak yang mengkaji hal itu seperti meneliti jaringan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), Al-Qaeda, dan sebagainya. Tapi ritual-ritual tradisi yang saya lihat sudah berakar di masyarakat dan ini yang jauh lebih penting.

Apakah perbedaan Islam di Indonesia jika dibandingkan, misalnya, dengan Islam di Arab?

Pertama, Islam di Arab itu tidak satu. Arab Syiria sudah sangat berbeda dengan Arab Jordan, Arab Mesir atau Arab Irak. Namun ada yang menarik di Arab Mesir. Mesir merupakan negara yang sangat kaya seperti halnya di Indonesia. Di sana juga banyak budaya yang sangat lama yang masih tetap dilakukan.

Jadi kita jangan pikir bahwa orang di Arab itu semua Wahabi, sama sekali tidak. Dan yang seperti Nahdhatul Ulama (NU) juga ada di tanah Arab. Setiap daerah mempunyai tradisi, punya budaya. Islam di mana-mana diungkapkan dalam bahasa dalam budaya setempat dan selalu ada akomodasi antara ajaran dan budaya. Ini proses yang terus menerus. Ada proses pemurnian kemudian ada lagi proses adaptasi kepada situasi dan kondisi setempat.

Kita lihat ada orang datang, pertama-tama mereka sangat fanatik, ingin membersihkan dan memurnikan Islam. Mereka berpakaian sangat putih tetapi setelah beberapa tahun itu mulai pakai batik lagi, bahasa mereka lebih lembut lagi. Itu proses normal dari setiap generasi. Orang kembali dari belajar di luar dan ingin mengubah yang ada di sini.

Sebagian mungkin membawa sedikit perubahan, tetapi pada akhirnya mereka harus melihat dan beradaptasi terhadap situasi setempat. Ada proses penyesuaian. Dan itu akan terus berlangsung. Tradisi tetap akan ada di sini. Tradisi juga akan tetap berubah dan berkembang antara lain karena pengaruh yang datang dari Arab, Barat atau dari Tiongkok. Jangan lupa bahwa Tiongkok mempunyai pengaruh yang besar. Islam ada di Tiongkok dan pengaruh Islam dari sana juga pernah ikut mewarnai Islam di jawa. Dan mungkin Islam dari tempat lain.

Sekarang, di intelektualisme Islam juga mulai muncul semacam Islam yang berkembang di perguruan tinggi seperti di Amerika, Australia bahkan Eropa yang akan ikut mewarnai wacana Islam di Indonesia. Jadi pengaruh terhadap budaya Islam, pengajar Islam, keilmuwan Islam akan tetap ada dan tidak pernah diperkirakan sebelumnya.

Banyak pihak menawarkan istilah Islam Nusantara untuk menyebut Islam di Indonesia. Bagaimana pandangan Anda terhadap istilah ini?

Setiap orang yang pakai istilah Islam Nusantara pasti sudah mempunyai definisi masing-masing. Mengenai Islam Nusantara ada juga perdebatan apakah Islam di Nusantara atau Islam Nusantara. Tetapi saya lebih memilih Islam Nusantara, karena menurut pendapat saya pribadi Islam Nusantara adalah agama yang hadir dengan budaya. Karena memang tidak mungkin ada agama tanpa budaya.

Islam itu tidak mungkin ada tanpa budaya. Islam hanya bisa hidup karena ada masyarakat. Tidak ada masyarakat, tidak ada Islam. Islam itu sesuatu yang hidup di dalam orang Islam. Islam tanpa manusia, tidak ada. Karena manusianya, Islam selalu diungkapkan dalam bentuk, bahasa, budaya dan tradisi setempat.

Sedangkan Islam Nusantara kalau menurut orang NU adalah Islam yang berkembang di pesantren-pesantren di seluruh Indonesia. Hal tersebut sebagaimana yang telah diajarakan para Walisongo tentang cara belajar, cara mengajar, dan cara dakwah.

Apa pandangan Anda tentang populisme Islam yang sekarang banyak kita lihat terjadi di Indonesia?

Saya tidak tahu apakah istilah populisme Islam itu tepat dan itu juga mungkin mencakup terlalu banyak fenomena yang berbeda. Dari satu segi kita lihat contohnya adalah FPI. Dipimpin seorang yang karismatik tetapi para pengikutnya tidak mempunyai pendidikan formal bahkan mereka tidak banyak tahu tentang ajaran Islam. Tapi mereka mempunyai rasa yang kuat untuk ikut serta dengan pemimpinnya. Itu mungkin bisa disebut dengan Islam populis.

Tapi itu Islam yang sangat dangkal yang mudah terbawa ke arah politik yang tidak ada sangkut paut dengan akidah, ibadah, atau kepentingan umat seluruhnya. Tetapi yang ada hanya kepentingan politik dan ekonomi.

Selain fenomena FPI, kita bisa lihat saat ini media sosial sangat berbeda dibandingkan dengan madrasah, pesantren, dan sebagainya. Namun sayangnya media sosial saat ini banyak dimanfaatkan untuk belajar agama, pendidikan formal dan lain sebagainya. Salah satu akibatnya yaitu pendangkalan pemahaman agama karena orang belajar Islam hanya disajikan dalam bentuk sederhana yang sesuai dengan kebutuhan sesaat. Menghindari kompleksitas.

Dulu saya pernah baca buku judulnya Islam dalam 5 menit. Itu bagaimana orang bisa belajar Islam dalam 5 menit? Ini tentu sangat berbanding jauh dengan pesantren. Di pesantren Islam diajarkan kepada setiap orang bertahun-tahun untuk menguasai cara berpikir fiqh dan melihat permasalahan dalam berbagai segi. Jadi, di dalam pesantren ada satu kompleksitas yang merupakan kekayaan dalam tradisi Islam.

Apakah gelombang pendangkalan ini akan mengubah wajah Islam di Indonesia?

Bukan saja Islam, semua hal berubah di media sosial. Saya lihat orang yang membaca buku, apakah itu buku agama, buku umum, semakin sedikit dibandingkan dengan orang belajar dari Google. Kalau kita meng-Google sesuatu memang kita mendapatkan jawabannya, tetapi itu sangat sederhana. Kita tidak pernah bisa memahami latar belakangnya.

Jadi informasi yang diterima baik dari Google, WhatsAppInstagram atau di Youtube itu sangat  mudah sekali kita dapat. Tetapi yang kita peroleh hanya kedangkalan. Jadi kalau ingin memahami yang lebih lanjut memang harus belajar sendiri, harus membaca sendiri, dan merenunginya.

Apakah pendangkalan ini bisa membahayakan kehidupan bersama?

Salah satu faktor dari populisme ini orang mudah dimobilisasi berdasarkan kebencian. Kita jadi mudah sekali membuat fitnah. Saat ini fitnah sudah mudah dipercaya. Orang tidak punya lagi pendidikan untuk menilai mana yang benar atau tidak.

Orang yang ahli hadis pasti mengetahui bagaimana menguji kesahihan sebuah hadis. Tetapi saat ini banyak orang yang membuat hadis ciptaan. Mereka tidak punya alat ilmiah untuk menilai sejauh mana itu dapat dipercaya atau tidak. Dan ini berbahaya.

Apa pesan untuk orang Islam di Indonesia untuk menghadapi kondisi demikian?

Sebagai kesimpulannya, belajarlah bagaimana kita menilai informasi yang kita peroleh, karena sekarang memperoleh informasi sangat mudah. Semua orang, termasuk tukang becak punya handphone dan ini menjadi sumber informasi utama untuk semua orang.

Saat ini kita belum belajar bagaimana membedakan antara informasi yang benar dan yang salah. Jadi, belajarlah bagaimana memproses informasi, menerima informasi, dan menyeleksi informasi. Itu sangat penting, saya kira. Pendidikan itu sesuatu yang harus diutamakan.[]

 

Sumber tulisan: Mubaadalahnews.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya