Oleh: Rumadi Ahmad
Belakangan saya mulai segan memanggil Kiai Husein Muhammad dengan sebutan Kang Husein. Padahal, biasanya saya enteng saja kalau ketemu menyapa: “gimana kabarnya kang?’ Tapi sekarang saya mulai nggak enak sendiri.
Bukan apa-apa, saya lihat kawan-kawan yang dulu memanggil dengan sebutan Kang Husein, mulai berubah. Pada awalnya, banyak yang memanggil Kiai Husein. Saya pun mulai ikut memanggilnya Kiai Husein. Belakangan, sahabat-sahabatnya di Fahmina Cirebon memanggilnya, Buya Husein Muhammad. Untuk yang terakhir, saya belum terbiasa.
Panggilan Buya bisanya digunakan untuk menyebut tokoh-tokoh agama di Minangkabau. Tapi kayaknya sekarang mulai banyak kiai-kiai Jawa yang dipanggila Buya. Kiai Said Agil Siradj, Ketua Umum PBNU, juga mulai banyak yang memanggil dengan sebutan Buya. Serapan sebutan Buya untuk kiai-kiai Jawa kayaknya dimulai dari Cirebon. Bukan hanya untuk tokoh agama, belakangan juga mulai banyak orang tua yang mengajari anaknya menyebebut orang tua laki-laki dengan sebutan “Buya”. Mungkin karena sebutan anak itu yang menyebabkan orang ikut-ikutan memanggil tokoh dengan sebutan yang biasa dilakukan anaknya. Tapi saya belum pernah dengar ada orang tua yang mengajari anaknya memanggil orang tua laki-laki dengan sebutan “kiai”.
Saya senang sekali akhirnya Kiai Husein mendapatkan kehormatan gelar Doktor Honorin Causa Bidang Tafsir Gender dari UIN Walisongo Semarang. Bukan saja karena saya alumni dan menyelesaikan S1 di UIN (dulu IAIN) Walisongo, tapi –dan ini yang lebih penting– karena faktor Kiai Husein sendiri. Kapasitas keilmuan dan akademiknya sangat layak untuk mendapat gelar kehormatan itu. UIN Walisongo sangat beruntung menjadi tempat berlabuh kehormatan akademik Kiai Husein. Tidak banyak kiai-kiai di Indonesia yang mempunyai kapasitas dan semangat intelektualisme seperti Kiai Husein. Hal lebih mengagumkan, Kiai Husein terbilang sangat rajin menulis dengan standar akademik yang sangat baik. Saya sudah cukup lama kenal dengan Kiai Husein melalui berbagai forum diskusi dan juga karya-karyanya.
Ada kegelisahan yang selalu dia sampaikan setiap kali ketemu. “Kenapa kita hanya selalu mengunyah-ngunyak pengetahunan masa lalu, dan kita tidak menciptakan hal yang baru?. Kegelisahan itu terus dia ulang. Pikirannya selalu ingin menggugat hal-hal yang dia anggap tidak adik, atau mengekang pikiran, atau merendahkan manusia. Dia tidak segan-segan mengkritik. Tapi kritiknya tidak diambil dari tradisi lain, tradisi Barat misalnya. Dia tetap menggunakan tradisi Islam sebagai alat ucap kritisismenya. Karena itu, jangan heran kalau Kiai Husein sering mengutip pendapat-pendapat ulama yang sesuai dengan pikirannya. Kiai Husein juga sering membacakan puisi-puisi Arab klasik yang menggelorakan semangat keindahan, kemanusiaan dan rasionalisme.
Banyak orang mengira Kiai Husein hanya sebagai “Kiai gender”. Persoalan keadilan gender sebenarnya hanya sebagai konsekuensi dari prinsip keadilan yang dia perjuangkan. Dia selalu gelisah jika ada ketidakadilan, dia ingin selalu menggugat secara intelektual, meskipun terkadang frustrasi karena sulit melawan ketidakadilan itu.
Bukan hanya itu saja, Kiai Husein pemuja sufi-sufi besar. Meski senang dengan sufisme, namun Kiai Husein tampaknya bukan pengamal tarekat. Mungkin saya salah. Kalau ternyata Kiai Husein pengamal tarekat, berarti beliau pengamal tarekat yang tidak pernah kelihatan.
Meski ada satu hal yang perlu saya kritik. Kiai Husein terlampau serius memikirkan berbagai hal. Kurang guyon seperti kiai-kiai NU pada umumnya. Bukan berarti Kiai Husein tidak suka humor, dia lebih sebagai penikmat humor, bukan produsen humor. Kalau bicara terlampau serius. Terkadang Kiai Husein tertawa sendiri setelah menyampaikan sesuatu, tapi audiens-nya jarang yang ikut tertawa….
Itulah Kiai Husein yang saya kenal. Sebagai pribadi, dia sangat hangat. Setiap kali ketemu, saya selalu bersiap-siap menerima kegelisahan intelektualnya. Kiai Husein, teruslah berbagi kegelisahan. Dari gelisah, saya ikut berpikir…[]
*Penulis adalah Ketua Lakpesdam PBNU