Sesekali, dengan sehelai handuk ia menyeka keringat yang membasahi dahinya. Mang Asep masih tak habis pikir, mengapa dunia terasa begitu sempit. Sekedar untuk mencari sesuap nasi, dia harus berlarian, bergerilya dari satu tempat ke tempat yang lain. Dihardik, disomasi, dicemooh, hanya karena ia berjualan di pinggiran jalan. “Kenapa pemerintah tidak ramah terhadap pedagang kaki lima (PKL). PKL selalu saja dianggap perusak pemandangan kota. Padahal mereka hanya rakyat kecil yang mempertahankan hidupnya” keluh Mang Asep membatin.
Sontak, lamunan Mang Aseppun menerawang. Dia ter-ingat pada wejangan seorang Kiai, guru ngajinya di kampung halaman. Beberapa hari sebelum dia berangkat dan memulai usahanya ke kota. Di suatu pengajian rutin, Kiai itu pernah bertutur tentang sebuah sabda Nabi. Konon suatu ketika Rasulullah ditanya oleh seorang sahabat. “Wahai Rasul, pe-kerjaan apakah yang paling mulia?” “Pekerjaan seseorang dengan upayanya sendiri” jawab Rasul. Lantas sang Kiai melanjutkan penjelasannya. “Jadi, orang mulia itu mereka yang mau berusaha dengan upayanya sendiri. Tidak malas-malasan. Tidak menggantungkan diri pada orang lain. Kang penting niku, mandiri, mau usaha sendiri. Apalagi malu demi gengsi. Terserah usaha apa saja, pokoke halal”. Urai Kiai panjang lebar. Seorang teman yang duduk di sebelah Mang Asep nyeletuk. “Kiai, katanya Allah itu Maha Mengatur nasib hamab-Nya. Lalu mengapa susah-susah bekerja kalau nasib kita pun sudah ditentukan dari sono-nya?”.
Dengan rona berwibawa yang tersembul dari gurat-gurat wajahnya, Kiai menatap ke arah teman Mang Asep itu. Perlahan Kiaipun menjawab, “Jenengan benar, Allah memang Maha kuasa menentukan nasib manusia. Tapi manusia tidak boleh berpangku tangan. Allah sendiri memberi kebebasan pada hamba-Nya untuk berikhtiar menentukan nasibnya sendiri. Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu kaum, hingga mereka mau merubah nasib dengan upayanya sendiri”. Perlu kita renungkan, bahwa ‘takdir’ itu apa yang sudah terjadi. Sedangkan yang belum, masih bergantung pada upaya manusianya”, Kiai mengakhiri sembari membaca ayat al-Qur’an di atas, dengan syahdu dan merdu, membuat para hadirin kian hanyut dalam tafakkur.
Seusai pengajian, dialog sing-kat antara Kiai dan temannya itu masih terngiang di benak Mang Asep. Dia merasa ada gairah yang membangkitkan jiwanya, “Aku tak boleh begini terus”, bisiknya dalam hati. Ditambah lagi bayangan hidup keluarganya yang serba terbatas. Tekad Mang Asep semakin kuat untuk merubah nasib, menggapai masa depan yang labih memberinya harapan.
Selang beberapa hari, seorang teman mengajaknya mengais rizki ke kota. Mang Asep berharap memiliki peruntungan nasib di tempat barunya ini. Tapi di kota, lapangan pekerjaan begitu padat. Alhasil, dengan modal seadanya mereka cuma bisa berjualan di pinggiran jalan. Menawarkan aneka baju, bagi anak-anak ataupun orang dewasa, tentu dengan merek yang tidak terlalu berkelas. Waktu ke waktu, Mang Asep menjalani takdirnya di pinggiran jalan itu sebagai pedagang kaki lima. Sepeser demi sepeser labanya ia kumpulkan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari isteri dan anaknya yang baru duduk di kelas 5 sekolah dasar.
Tapi kejadian beberapa waktu lalu seolah membuyarkan mimpinya. Kini ia harus kembali berhutang modal ke saudaranya di kampung. Untuk memulai usaha baru di kios yang baru pula. Meski dia tidak pernah tahu sampai kapan bisa bertahan di pinggiran jalan itu. Seminggu, sebulan, setahun, atau besok lusa Satpol PP sudah kembali datang. Mang Asep tak tahu.
Siang itu, Mang Asep masih merenungi nasib. Di lubuk hati yang paling dalam, dia yakin usahanya selama ini mulia dan berharga di hadapan Allah dan Rasul-Nya, seperti wejangan Kiainya dulu. Tapi mengapa pemerintah seakan tak mau menghargai. Malah menganggapnya sampah trotoar.
Kembali Mang Asep melirik jam tangannya, pukul 12 kurang sepuluh. Suara adzan dzuhur berkumandang dari menara mushalla dekat jalan itu. Membuatnya tersadar dari lamunan. Segera Mang Asep mengusap kucuran keringatnya, bergegas hendak menunaikan shalat Dzuhur. Menghadap Ilahy, memohon karuni-Nya. Semoga cerita hari esok lebih baik dari hari ini. Mang Asep, Selamat berjuang…!