Mengurai Bentuk-bentuk Kerjasama dan Kemitraan Masyarakat dan Polisi dalam Menangani Kekerasan dan Konflik Sosial.
Sampai saat ini masih hangat dan bahkan di sejumlah tempat di negeri ini masih ‘panas’ bagaimana konflik berlatar perbedaan keyakinan terus terjadi. Rasa aman warganegara di dalam menjalankan agama dan keyakinan mereka masing-masing belum sepenuhnya terjamin. Ada jurang yang cukup lebar di antara cita-cita kebebasan beragama dan berkepercayaan, seperti tertuang dalam konstitusi kita, dengan fakta diskriminasi atau kekerasan atas nama agama di lapangan.
Masih sering kita dengar kasus-kasus yang terkait dengan ketegangan, gesekan dan benturan di antara pemeluk satu agama atau pun antara pemeluk agama, yang mencerminkan berlangsungnya aksi-aksi kekerasan atas nama agama. Jenis kekerasan ini beragam, seperti jenis kekerasan paramiliter dalam bentuk aksi kekerasan penyerangan terhadap diskotek atau klub-klub malam; penyerbuan Kampus Ahmadiyah; pembakaran buku-buku yang dianggap tidak sejalan dengan doktrin agama tertentu; dan lainnya. Sementara jenis kekerasan antaragama, dalam bentuk kekerasan seperti konflik yang berujung kerusuhan seperti di Poso, Ambon, dan Maluku Utara.
Bentuk lain kekerasan antaragama adalah perusakan dan penyegelan gereja atau tempat-tempat ibadah kelompok minoritas lainnya. Dan yang tak kalah merisaukan adalah jenis kekerasan teroris dalam bentuk kekerasan seperti yang terjadi di Bom Natal (Desember 2000), bom Atrium Senen (September 2001), bom Bali I (Oktober 2002), bom Marriot (Agustus 2003), bom Kedutaan Australia (September 2004), bom Bali II (November 2005), dan lain-lain.
Daerah Cirebon, wilayah utara Jawa Barat, juga tidak luput dari masalah-masalah di atas, walaupun skala dan bentuknya berbeda. Beberapa bentuk konflik keagamaan yang diberitakan media massa terjadi di daerah ini, misalnya menyangkut aliran yang dianggap sesat, tindakan-tindakan anarkis atas nama agama, konflik tempat ibadah, dan lain-lain. Masalah-masalah tersebut menghambat dalam membangun dan memelihara bina damai di Cirebon khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Dalam rangka membangun bina damai, pola penyelesaian konflik nirkekerasan perlu menjadi perhatian semua pihak.
Mengapa aksi-aksi kekerasan atas nama agama di atas terjadi?
Dengan melihat jenis aksi kekerasan yang beragam di atas, penjelasan sosial, ekonomi, dan politik tentu berguna. Ini terutama jika kita memperhatikan fakta bahwa rata-rata wilayah di mana kekerasan terjadi adalah wilayah yang sedang mengalami persoalan dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. Ketidaksetaraan memang merupakan masalah pelik yang harus diatasi.
Namun juga tidak bisa menyelesaikan semua perkara dalam satu kali tindakan (once for all). Sehubungan dengan persoalan kebebasan warganegara untuk beragama dan berkeyakinan, rasanya akan lebih berguna jika kita mempersempit persoalan ini dengan secara khusus membincangkan apa yang menjadi kendala polisi, aparat negara yang paling bertanggungjawab dalam bidang ini, dalam menjalankan tugas mereka.
Dalam kasus-kasus di atas, tampak bahwa polisi seringkali tidak/kurang mampu (unable) atau tidak/kurang mau (unwilling) di dalam menjalankan tugasnya. Sementara itu, ketika polisi berhasil dengan cukup sukses dalam menjalankan tugasnya, seperti dalam penangkapan sejumlah pengikut Jamaah Islamiyah (JI) yang dituduh terlibat dalam aksi-aksi terorisme beberapa tahun belakangan ini, kita juga merasakan kurangnya apresiasi masyarakat umum terhadap capaian penegak hukum itu.
Beragam latar belakang persoalan tersebut yang juga diurai sejumlah peserta workshop dan fasilitasi bertema “Peran Polisi dan Masyarakat Sipil dalam Memelihara Bina Damai di Indonesia” yang digelar atas kerjasama Yayasan Wakaf Paramadina dan Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada (MPRK-UGM), dan Fahmina Institute, di Hotel Amaris Kota Cirebon pada Rabu-Kamis (20-21/2) kemarin.
Agar ‘Bola Panas’ Jangan Hanya Dilempar ke Polisi
Hal menarik dari workshop ini selain menghadirkan sejumlah peserta workshop dari beragam latar agama, keyakinan, dan komunitas, juga terjadi sharing antara aparat kepolisian dan komunitas-komunitas tersebut. Pihak kepolisian dari Polda Jabar yang diwakili oleh Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Yoyoh Indiyani. Kehadiran aparat kepolisian sebagai narasumber utama di hari pertama memang menjadi perhatian tersendiri bagi peserta workshop, terutama rasa ‘haus’ mereka dalam berdialog langsung mengungkapkan segala keluh kesahnya. Di sisi lain, dari aparat kepolisian juga mendapat momennya mengungkapkan apa yang telah mereka lakukan untuk masyarakat, termasuk keluh kesahnya. Hal ini yang kemudian disebut oleh Rizal Panggabean, salah satu fasilitator workshop dari MPRK-UGM, agar tidak terjadi saling lempar tanggungjawab terutama melempar ‘bola panas’ yang lebih banyak diarahkan ke aparat kepolisian.
Hal tersebut menjadi wajar ketika dari awal dalam pernyataan AKBP Yoyoh Indiyani menyelipkan istilah bahwa polisi seperti keranjang sampah. Di mana segala persoalan, kesalahan dan segala hal-hal yang buruk diserahkan kepada polisi. Padahal, menurutnya jelas, bahwa selama ini tugas polisi adalah berada di tengah-tengah dalam penanganan konflik, termasuk konflik berlatar atas nama agama.
“Polisi itu ke pemerintah mengamankan kebijakan, ke masyarakat melindungi. Dalam hukum, polisi itu tataran terdepan, memang mau tidak mau benci atau tidak, polisi yang berhubungan langsung dengan masyarakat,” papar perempuan aseli Kuningan itu ketika menjawab sejumlah kritik terhadap pelaksanaan tugas kepolisian.
Sesuai dengan temanya, workshop ini bertujuan mengetahui tantangan dan kendala yang dihadapi polisi dalam menangani konflik antaragama dan konflik sektarian; meningkatkan suasana saling percaya antara polisi dan kelompok-kelompok agama dan komunitas sosial lainnya; merumuskan bentuk-bentuk kerjasama dan kemitraan antara masyarakat dan polisi dalam menangani kekerasan dan konflik sosial; serta mengembalikan citra polisi sebagai penegak hukum, sehingga masyarakat tidak berpikir untuk mencari solusi lain bagi penyelesaian masalah kemasyarakatan dalam bentuk lain.
Workshop tersebut juga benar-benar dimanfaatkan peserta yang tidak hanya dari aktifis forum kemitraan polisi dan masyarakat (FKPM), namun pejabat, beberapa insan media, aktifis mahasiswa, LSM, dan aparat kepolisian dari Polresta Cirebon dan Polda Jabar. Dalam workshop tersebut juga peserta bersama-sama merumuskan beberapa bentuk kerjasama dalam upaya bina damai untuk menangani konflik social di masyarakat. Beberapa di antaranya adalah komunikasi ‘ngopi pagi’ rutin, polisi dan masyarakat saling berbagi tugas, terjalinnya kerjasama dalam pencegahan/preemtif, terjalinnya budaya saling mendekat antara polisi dan masyarakat, serta adanya kerjasama ‘segitiga’ antara polisi-masyarakat-pemerintah daeran (Pemda) yang kemudian dapat difasilitasi oleh media massa untuk menciptakan budaya damai tersebut. (alimah)