Oleh: Abdul Rosyidi
Sesuatu yang berlebih-lebihan itu tidak baik. Bahkan jika itu adalah agama. Agama memang baik bagi semua orang, tapi beragama dengan melewati batas-batas yang sudah ditentukan justru akan merusak sendi-sendi agama itu sendiri.
Shalat memang baik. Makan juga. Minum apalagi. Tapi apabila semua itu dilakukan secara berlebihan, tentu akan menjadi tidak baik. Meskipun agama memerintahkan, tetapi apabila pelaksanaannya berlebihan maka sangat mungkin perintah itu malah menimbulkan kerusakan.
Ada sebuah hadis yang diriwayatkan Anas r.a.. Dia bercerita bahwa ada tiga orang yang datang menemui istri-istri Nabi untuk menanyakan tentang ibadahnya Nabi. Istri-istri Nabi pun menceritakan bahwa meski sejak kecil sudah dijamin masuk surga, tetapi Rasulullah tetap melaksanakan ibadah dengan berat. Sangat jauh disbanding mereka.
Lalu orang pertama pun bertekad akan shalat malam terus menerus. Orang kedua bertekad akan puasa sepanjang tahun tanpa henti. Dan orang ketiga berjanji akan menjauhi perempuan dan tak akan menikah selamanya.
Ketika mendengar ketiga orang itu, Nabi bersabda, “Benarkah kalian yang mengatakan akan shalat malam terus menerus, akan berpuasa setiap hari, dan tidak akan menikah selama hidup? Bukankah, demi Allah, aku orang yang paling takut di antara kalian kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya, namun demikian aku shalat malam dan juga tidur, aku berpuasa dan juga tidak berpuasa, dan aku menikahi wanita? Barangsiapa tidak menyukai sunahku maka ia bukan golonganku” (HR Bukhori dan Muslim).
Hadits ini mengajarkan bahwa dalam urusan ibadah sekalipun, kita tidak bisa terlalu memberatkan fisik dan kesahatan. Ibadah akan dilarang jika ia bisa membahayakan keselamatan diri. Dengan begitu, ibadah yang dilakukan secara berlebih-lebihan hingga mencelakai diri sendiri tidak dibenarkan dalam Islam.
Berlebih-lebihan juga tidak dianjurkan dalam dakwah dan muamalah. Kita boleh saja melakukan syiar Islam ke seluruh penjuru, tapi tidak boleh dengan cara kekerasan, dengan memaksa, peperangan, apalagi teror.
Begitupun, kita harus selalu berhubungan baik dengan orang lain meskipun dia berbeda pilihan agama dan keyakinan. Jangan karena ada yang berbeda madzhab, kemudian disalahkan dan dikafirkan. Ini tak lain dari bentuk berlebih-lebihan dalam beragama.
Islam menjadikan syahadat, baik syahadat tauhid maupun syahadat rasul sebagai salah satu pokok ajaran (rukun Islam). Dua syahadat ini tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Keduanya satu paket. Artinya, hubungan kita dengan Allah (syahadat tauhid), selalu terkait dengan hubungan kita dengan manusia (syahadat rasul).
Kesempurnaan kita memeluk Islam bukan hanya melulu urusan ibadah kita kepada Allah, melainkan juga amat tergantung pada relasi baik kita dengan orang lain. Maka, sikap mau menang sendiri dengan meyakini bahwa ajarannya yang paling benar tidak sejalan dengan pokok-pokok Islam. Apalagi jika sampai mengkafir-kafirkan orang lain.
Dengan begitu, tidak sempurna Islam seseorang kalau dia masih suka mencaci maki orang lain, menghina, menyalahkan, berbuat tidak baik, melakukan kekerasan, atau bahkan mengkafirkan orang lain. Dengan mengatasnamakan agama dan Allah sekalipun.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang ciri bagaimana orang yang berlebihan dalam beragama, Yusuf Al-Qaradhawi dalam al-Shahwah al-Islamiyah baina al-Juhud wa al-Tatharruf menyebutkan setidaknya ada lima tanda-tanda mereka. Saya kutip dari tulisan M. Alvin Nur Choironi di islami.co.
Pertama, fanatik pada satu pendapat dan tidak mengakui pendapat yang lain.
Kedua, sering mewajibkan sesuatu yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah Swt.
Ketiga, bersikap keras dan kasar.
Keempat, sering berburuk sangka dan gampang menuduh.
Kelima, mudah mengkafirkan orang lain.
Jika kelima tanda-tanda tersebut ada pada seseorang, sebaiknya Anda berhati-hati untuk tidak mengikutinya. Demi menghindari bahaya berlebih-lebihan dalam beragama.[]
Sumber: Mubbadalahnews.com