Pentingnya pemenuhan hak-hak perempuan dan anak di pengadilan, sudah tidak terbantahkan lagi, termasuk pengadilan agama. Apalagi di tengah meningkatnya korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), terutama yang menimpa perempuan dan anak. Bahkan berdasarkan hasil pemantauan seperti yang dilaporkan Komnas Perempuan korban KDRT semakin meningkat. Tahun 2011, tercatat 60% korban KDRT megalami kriminalisasi. Dikriminalkan melalui UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Di sini lah, pentingnya bagaimana hakim memiliki peran yang sangat strategis untuk lebih mendekatkan keadilan bagi perempuan dan anak korban terutama korban kekerasan. Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam konteks kasus kekerasan terhadap perempuan termasuk kasus KDRT, sangat besar dilatarbelakangi diskriminasi gender dalam kehidupan perempuan dalam perkawinan. Hakim diharapkan dalam memeriksa dan memutus perkara, terus menggali kekerasan berbasis gender yang dialami perempuan korban secara kontekstual dan menjadikannya sebagai dasar utama dalam mempertimbangkan hak perempuan korban dan perlindungan khusus bagi anak.
Berdasarkan realitas tersebut, menurut mantan Dirjen Badan Peradilan Agama (Badilag), Wahyu Widyana, perlu adanya penguatan terhadap hakim terutama Peradilan Agama (PA) dalam hal sensitifitas dan wawasan gendernya. Hal itu diungkapkannya pada saat proses audiensi antara Yayasan Fahmina dan Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama (Uldilag) Mahkamah Agung (MA) . Audiensi yang dilakukan di Kantor MA pada Rabu (14/11) tersebut untuk mendapatkan dukungan dari Ketua Mahkamah Agung agar program pemenuhan hak-hak perempuan dan anak berjalan lancar.
Menurut Rosidin, Manajer Program Yayasan Fahmina, tujuan program tersebut ingin menyampaikan bahwa fahmina secara kelembagaan sedang menjalankan program penguatan hakim agama dengan putusan hakim untuk memenuhi hak-hak perempuan dan anak. Untuk itu audiensi ini bertujuan mendapatkan dukungan dari Uldilag.
“Program ini diharapkan mampu mendorong hakim pengadilan agama mendapatkan penguatan perspektif adil gender. Selain Fahmina, program ini juga bekerjasama dengan Badilag KPP, Komnas Perempuan , PSW UIN Suka, dan Rifka Annisa,” papar Rosidin.
Lebih lanjut Rosidin mengungkapkan, berdasarkan audiensi tersebut, Udilag tidak keberatan dengan program penguatan terhadap hakim agama tersebut. Namun kerjasama secara tehnis diserahkan kepada Badilag, serta setiap kegiatan yang menyangkut hakim, akan dikoordinasikan dengan Badilag. Sementara itu model pembelajaran dilakukan dengan pola sharing. (a5)