Selasa, 15 Oktober 2024

Seren Taun: Potret Keberagaman Masyarakat Cigugur

Baca Juga

Keberagaman di Cigugur sudah dikenal di mana-mana. Momen di mana kita bisa melihat kebergaman tersebut secara lebih jelas adalah saat perayaan Seren Taun. Dalam acara tersebut ribuan orang dari berbagai agama tumpah ruah di Cigugur. Seren Taun sendiri adalah upacara adat panen padi masyarakat Cigugur yang dilakukan tiap tahun. Upacara ini diselenggarakan tiap tanggal 22 Rayagung, bulan terakhir pada sistem penanggalan Sunda yang dipusatkan di Paseban Tri Panca Tunggal, kediaman Pangeran Djatikusumah, yang didirikan tahun 1840.

Istilah Seren Taun berasal dari kata dalam Bahasa Sunda “seren” yang artinya serah, seserahan, atau menyerahkan, dan “taun” yang berarti tahun. Jadi Seren Tahun bermakna serah terima tahun yang lalu ke tahun yang akan datang sebagai penggantinya. Dalam konteks kehidupan tradisi masyarakat peladang Sunda, Seren Taun merupakan wahana untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala hasil pertanian yang dilaksanakan pada tahun ini.

Lebih spesifik lagi, upacara ini merupakan acara penyerahan hasil bumi berupa padi yang dihasilkan dalam kurun waktu satu tahun untuk disimpan ke dalam lumbung atau dalam bahasa Sunda disebut leuit.

Perayaan Seren Taun sudah turun-temurun dilakukan sejak zaman Kerajaan Sunda purba seperti kerajaan Pajajaran. Upacara ini berawal dari pemuliaan terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dalam kepercayaan Sunda kuno. Masyarakat agraris Sunda kuno memuliakan kekuatan alam yang memberikan kesuburan tanaman dan ternak, kekuatan alam ini diwujudkan sebagai Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dan kesuburan.

Masyarakat pemeluk kepercayaan Sunda Wiwitan tetap menjalankan upacara ini, seperti masyarakat Kanekes, Kasepuhan Banten Kidul, dan Cigugur. Kini setelah kebanyakan masyarakat Sunda memeluk agama Islam, di beberapa desa adat Sunda seperti Sindang Barang, ritual Seren Taun tetap digelar dengan doa-doa Islam. Upacara Seren Taun bukan sekadar tontonan, melainkan juga tuntutan tentang bagaimana manusia senantiasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, terlebih di kala menghadapi panen. Upacara ini juga dimaksudkan agar Tuhan memberikan perlindungan di musim tanam mendatang.

Ritual Seren Taun itu sendiri mulai berlangsung sejak tangal 18 Rayagung. Damar Sewu merupakan sebuah helaran budaya yang mengawali rangkaian upacara adat Seren Taun Cigugur. Setelah itu, pesta Dadung merupakan upacara sakral masyarakat dilaksanakan di Situ Hyang (daerah Mayasih) sebagai simbol membuang hama, agar hama dan unsur negatif tidak menggangu kehidupan manusia. Sehari setelah pesta dadung, diadakan pegelaran seni tradisional serta pameran kesenian dari berbagai masyarakat adat baik di wilayah tatar Sunda maupun luar Jawa Barat juga digelar guna menyambut upacara puncak Seren Taun.

Beragam Acara di Seren Taun

Yang menarik, selain acara seni, dalam rangkaian acara Seren Taun juga diadakan pula dialog atau seminar yang mengetengahkan tema seputar kerukunan umat beragama, diskriminasi umat beragama dan lain sebagainya. Rama Djati juga mengungkapkan bahwa dalam rangkaian Seren Taun ada juga doa bersama yang dilakukan oleh umat dari seluruh agama dan kepercayaan yang bertempat di Paseban Tri Panca Tunggal.

Kegiatan Seren Taun diadakan di gedung Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, Kuningan.  Ini merupakan salah satu gelar budaya tradisional mayarakat agraris sunda sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini biasa dilaksanakan setahun sekali setiap tanggal 22 Raya Agung yang kali ini berada pada tahun 1945 Saka Sunda, dengan tema “Berdaulat Dalam Berkebudayaan, Berdikari Melalui Sumber Daya Alam”.

Seperti Seren Taun tahun ini, dalam enam hari saja, secara berturut-turut beragam kegiatan diadakan. Dimulai dari hari Jumat (02/11) dan berakhir hari Rabu (07/11). Uniknya kegiatan ini diikuti dan dilaksanakan dari berbagai kalangan yang berbeda agama dan kepercayaan, mulai dari Sunda Wiwitan, Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Kong Hu Chu, Dayak Losarang dan masyarakat adat lainnya yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nuantara, serta dari kalangan akademisi dan pejabat pemerintahan. Salah satunya dari peserta Short Course-Participatory Action Research (SC-PAR) 2012, pelatihan penelitian riset partisipatoris, live in bersama masyarakat bagi para dosen se-Indonesia dari Kemenag (Kementrian Agama) bekerjasama dengan ISIF (Institute Study Islam Fahmina), di mana Ahmad Syarifin selaku peserta berkesempatan menjadi MC acara Seren Tahun kali ini.

Pembukaan hari pertama dilakukan upacara Damar Sewu, dengan cara menyalakan api pada kuntum bunga tratai yang kemudian disebar dengan menggunakan obor ke 4 penjuru mata angin sebagai tanda semangat yang senantiasa akan selalu berkembang pada setiap generasi. Hari kedua diadakan kegiatan penanaman pohon, Seribu Kentongan (memukul kentongan dengan banyak orang yang di mulai dari pemangku adat Rama Djati Kusuma dari Sunda Wiwitan), seni tari anak ‘Kaulinan Barudak’. Di hari ketiga, Minggu (04/11) diadakan lokakarya mengenai pemanfaatan lahan terutama di daerah Taman Nasional Guning Ciremai (TNGC).

“Gerakan memanam pohon tidak akan berarti tanpa didasari membangkitkan gerakan kesadaran menanam pohon kehidupan itu sendiri,” ungkap Pangeran Rama Djatikusima, selaku pemangku adat Sunda Wiwitan. Hal ini menandakan harus ada keselarasan antara manusia dan alam dalam menjalani kehidupan. Kegiatan ini diikuti oleh warga, akademisi, dan pejabat pemerintahan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Kuningan, Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan Kementerian Kehutanan, BAPPEDA Kab. Kuningan dan lain-lain. Setelah itu diadakan lomba patikluk (egrang), Nyiblung (permainan musik air), Dayung Buyung (buyung adalah alat untuk mengambil air yang mirip dengan bejana),  dan pagelaran seni Purwawirahma.

Pada hari Selasanya (06/11), diadakan forum dialog antara masyarakat adat dengan pemerintah Dinas Catatan Sipil, Dinas Pendidikan, Komnas Perempuan  perihal masalah kependudukan baik ktp, surat nikah, dan akta lahir, serta diskriminasi dalam proses pendidikan dan lingkungan terhadap masyarakat adat.

Siang hari dilanjutkan Helaran Budaya keliling kota Kuningan menggunakan delman diiringi seni  Kaulin Barudak & Angklung Buncis, kegiatan ini juga diikuti oleh wakil kepemerintahan negeri Brunei Darussalam. Selasa Malam diadakan doa bersama dan kidung spiritual dari berbagai agama dan aliran kepercayaan, dimana tiap-tiap dari mereka maju satu persatu mengumandangkan doa khas dari keyakian masing-masing. Doa-doa masyarakat adat seperti Sasak dari Nusa Tenggara Barat, Dayak Losarang Indramayu, Sunda Wiwitan, dll.  Dari Islam doa diwakili oleh Abdul Muis S. dosen peserta SC-PAR asal pesantren Ciwaringin. Setelah itu pentas seni tari Pwah Aci, dan Ngareremokeun dari masyarakat Kanekes (Badui) sambil berdoa dimaksudkan agar bibit akan menghasilkan tanaman yang baik kualitas dan kuantitasnya.

Acara puncak diadakan Rabu, (07/11) mulai pukul 08.30.W.I.B. di alun-alun Paseban. Masyarakat sekitar, anak sekolah, pedagang, wartawan media, bupati Kuningan serta turis asing dan wakil negara Brunei Darussalam bernama  PG Dato Sri Astana Haji Mohd Shah turut hadir meramaikan. Menurutnya Seren Taun adalah budaya yang patut dilestarikan, “Berbeda dengan Brunei, Indonesia memiliki lebih banyak budaya, oleh karena itu patut dijaga agar tidak hilang” ujar pelakilan negara tersebut.

Banyak orang yang mengikuti acara ini memakai baju adat masing masing daerah asalnya, termasuk fasilitator SC-PAR Ahmad Mahmudi yang memakai pakaian adat Solo. Pembukaan puncak acara dimulai dengan tari Buyung tarian khas yang melambangkan peribahasa ‘dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung’. Dilanjutkan Angklung Buncis dan kreasi seni masyarakat Memeron berupa patung Maung (macan) lambang dari manusia unggul, Naga dan Ibu Pertiwi lambang dari negara Indonesia, Garuda menandakan Pancasila dan filosofi bangsa ‘Bhinneka Tunggal Ika’, Ikan yang artinya makhluk hidup pasti butuh air, juga patung orang desa sedang menanam, memanen, menumbuk, dan mengayak padi yang bisa digerakkan. Siang hingga sore harinya acara penumbukkan padi serempak oleh masyarakat secara bergantian, padi yang berjumlah 22 kwintal, 20 kwintal ditumbuk, dan sisanya dijadikan bibit.

Malam hari diadakan pementasan wayang golek oleh dalang Asep S. dari Garut yang membawakan tema ‘Pancameda’ panca yang berarti  lima (5) dan meda yaitu berbeda-beda. Maknanya walaupun banyak agama dan aliran kepercayaan namun tetap tujuannya sama menghamba pada Tuhan, meskipun berbeda tapi  tetap satu ‘Bhinneka Tunggal Ika’. Kegiatan  berakhir pada pukul 24.00 W.I.B.

Menanggapi hal itu Mahrus El-Mawa salah satu fasilitator SC-PAR 2012 mengatakan bahwa kegiatan ini sangat baik dan patut diapresiasi karena benar-benar membuktikan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ yang nyata berbagai agama dan aliran kepercayaan berkumpul merayakan dan mengucap rasa syukur bersama-sama atas rahmat Tuhan YME. “inilah Bhinneka Tunggal Ika yang patut kita apresiasi, berbagai agama dan aliran kepercayaan dapat saling berdampingan mengucap rasa syukur atas rahmat Tuhan,” ujarnya. (Diaz&Rosyid)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Kampung Sawah: Potret Keberagaman Terbalut Hangat dengan Nilai Persaudaraan

Oleh: Devi Farida Kampung sawah adalah daerah yang didiami oleh masyarakat yang heterogen. Berbanding terbalik dengan kampung pada umumnya, yang...

Populer

Artikel Lainnya