Penulis: Cornelius Selan
Pengetahuan dan keterampialan tentang mengelola dan memaknai perbedaan dalam kemajemukan adalah salah satu kebutuhan dasar untuk para calon pemimpin agama.
Usaha mengelola perbedaan, merawat keberagaman dan memaknainya dalam kehidupan seharusnya menjadi tanggung jawab semua pihak. Partisipasi aktif masyarakat adalah kuncinya. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan ”menjembatani perbedaan”. Membangun jembatan agar saling berinteraksi dan berdialog. Selebihnya menumbuhkan sikap saling memahami dan percaya.
Dengan relasi yang demikian kita berharap bahwa akan terjadi kerjasama. Selain bekerja secara terus-menerus untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam relasi antar agama berhubungan dengan persoalan perbedaan antar dan intra agama akan berlanjut kerja bersama mengatasi persoalan kemasyarakatan; sosial-budaya, lingkungan, hukum, politik, serta ekonomi untuk masa depan yang lebih baik; untuk kemanusiaan. Tulisan ini adalah refleksi saya atas percakapan yang dilakukan beberapa waktu lalu bersama Devi Farida. Kami melakukan pertemuan virtual untuk berbagi cerita dan refleksi selama masa krisis ini.
Perkenalan dengan Devi Farida
Saya berkenalan dengan Devi pada awal Januari yang lalu. Kami bertemu dalam Program Youth Interfaith Exchange Visit Freedom of Religion and Beliefs. Collaboration with the Kenya Community Support Center, Inter-Religious Council of Kenya, and Mensen met een Missie di Nairobi dan Mombassa, Kenya, January 2020. Kami menggunakan banyak waktu dalam perjalanan dan kunjungan ini untuk saling mengenal, berbagi cerita dan pengalaman. Saya mendengar banyak cerita inspiratif dari Devi, terutama tentang bagaimana keterlibatannya dalam komunitas anak muda di Cirebon.
Saya kagum! Saya juga sering mendengar banyak cerita tentang bagaimana orang muda terlibat dalam komunitas di masyarakat untuk upaya-upaya pemberdayaan khususnya terkait dengan mengelola dan menghidupi perbedaan dalam kemajemukan masyarakat. Saya optimis bahwa kita sebagai bangsa sedang dalam perjalanan menuju masyarakat yang demokratis. Menghargai seluruh dimensi manusiawi masyarakat dengan seluruh ragam pluralitasnya. Usaha itu masih harus secara terus-menerus diupayakan secara serius. Meskipun memang, ada banyak peristiwa buruk yang terjadi. Apalagi terkait dengan orang muda.
Beberapa hasil penelitian dan survey menunjukan banyak anak muda terjebak dalam gerakkan anti keberagaman; ekslusif. Seperti yang dijelaskan oleh SETARA Institute dalam catatan pendahuluan Ringkasan Eksekutif Wacana dan Gerakan Keagamaan di Kalangan Mahasiswa: Memetakan Ancaman atas Negara Pancasila di Perguruan Tinggi Negeri, Setara Institute, 31 Mei 2019, menyebutkan bahwa pada tahun 2018, Badan Nasional penanggulangan Terorisme menyebut ada tujuh perguruan tinggi negeri yang terpapar radikalisme. Pada tahun yang sama, Badan Intelijen Negara juga menyebut ada 39 persen mahasiswa di 15 Provinsi yang terpapar paham radikal. Tahun 2016, LIPI menyebutkan bahwa gerakan radikal telah menyasar kampus-kampus dalam rangka radikalisasi hingga rekrutmen kader dengan memanfaatkan diskusi-diskusi dan organisasi mahasiswa di kampus.
Ringkasan Eksekutif Wacana dan Gerakan Keagamaan di Kalangan Mahasiswa: Memetakan Ancaman atas Negara Pancasila di Perguruan Tinggi Negeri, Setara Institute, 31 Mei 2019 juga menyebutkan bahawa berbagai kampus negeri area riset masih berkembang wacana dan gerakan keagamaan eksklusif oleh beberapa kelompok keagamaan di kampus. Hasil temuan SETARA Institute dalam pemelitian tahun 2015 pada Sekolah Menegah Atas Negeri di Jakarta dan Bandung menunjukkan juga bahwa ada persoalan yang sama terjadi di sekolah-sekolah. Di tingkat guru, terutama guru agama, dalam memberikan pemahaman tentang makna toleransi atau kebhinekaan. Dalam hal ini, guru tidak optimal mentransmisikan pengetahuan keagamaan yang plural dan tidak mampu menjadikan pendidikan kewargaan sebagai sarana efektif memperkuat toleransi. Pembelajaran tentang toleransi kurang gencar dilakukan di sekolah-sekolah.
Semua ini adalah fakta yang juga tidak bisa kita hindari. Ini adalah sebuah “kecelakaan” yang harus kita akhiri. Agama yang seharusnya menjadi rahmat, tetapi karena adanya pihak tertentu bersikap eksklusif bahkan ekstrim dalam mengekspresikan keagamaannya, kini jadi ancaman bagi hidup bersama. Tentu berbagai usaha mengelola dan menghidupi perdamaian sudah dan masih terus dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat sipil secara masif. Berbagai usaha dilakukan demi membangun relasi yang setara, saling percaya, menghormati dan menghargai. Dialog antar umat beragama dan intra agama kini harus diarusutamakan. Perjumpaan, interaksi, hingga kerjasama antar umat beragama termasuk kepercayaan yang berbeda harus terus diusahakan dan dikelola. Sehingga semua potensi baik yang kita punya sebagai sebuah bangsa dapat diarahkan untuk menyelesaikan persoalan lain yang mendesak bagi kemanusiaan.
Devi Farida adalah alumni Sekolah Cinta Perdamaian. Program Fahmina Institute. Program ini diadakan bagi orang muda untuk saling mengenal, saling memahami dan belajar tentang keberagaman, kebhinekaan, toleransi serta perdamaian. Orang muda diajak untuk melihat realitas yang majemuk sebagai sebuah potensi baik dan tidak iritasi dengan kemajemukan. Sejak dini mereka tergerak untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air dan cinta pada perdamiaan. Pasca mengikuti program ini, Devi aktif dalam upaya bina damai dengan organisasi IPNU-IPPNU. Mengajak banyak anak muda terlibat dalam gerakkan bina damai di lingkungannya.
Hal itu sejalan dengan upaya Institut Dialog antar iman di Indonesia, tempat dimana saya belajar sekarang. Bersama anak muda di beberapa daerah kami mengupayakan dengan berbagai bentuk Program Mengelola dan Mamaknai perbedaan dalam Masyarakat Majemuk. Program ini mengupayakan agar orang muda dapat mengembangkan pengetahuannya tentang agama-agama. Mengembangkan wawasan pluralisme dan multikulturalisme. Selanjutnya melatih diri bersama orang muda untuk secara terus-menerus mengasah kepekaan pada realitas dan persoalan sosial kemasyarakatan. Anak-anak muda itu kemudian bergerak secara mandiri dan berkelompok menjadi agen perdamaian di daerahnya. Menumbuhkan pola kehidupan dialogis lintas iman. Bekerja bersama memromosikan, menghidupi perdamaian dan saling memberdayakan.
Saya sendiri memilih menjadikan Institut DIAN/Interfidei sebagai tempat belajar pasca belajar teologi agama Kristen. Bagi saya, Ini peluang baik. Saya belajar dan mempunyai pengalaman bertemu dengan banyak teman dan jaringan di daerah-daerah dengan berbagai latar belakang termasuk mengenal FAHMINA Institut. Saya belajar dan sepakat bahwa memang ada ketegangan antara komunitas agama kita. Hubungan kita dibangun di atas banyak pengalaman buruk. Kemampuan memetakan dan menganalisis persoalan adalah penting.
Pengetahuan dan keterampialan tentang mengelola dan memaknai perbedaan dalam kemajemukan adalah salah satu kebutuhan dasar untuk para calon pemimpin agama. Bagaimana mengajak orang untuk terlibat dan bekerja bersama dalam masyarakat yang majemuk. Saya belajar bahwa komunikasi dan relasi yang baik akan mengantarkan kita mendapatkan model hubungan ideal. Saling membantu dan memberdayakan menuju masa depan bangsa dan dunia yang damai.
Perdamaian harus dimulai dari dalam rumah-rumah ibadah, dalam sekolah-sekolah milik institusi agama dan dalam rumah-rumah tempat tinggal kita. Semangat seperti ini yang masih harus dikerjakan, diusahakan dibangun terus menerus kemudian dihidupi atau dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Semangat ini harusnya menjadi nilai bersama. Mengusahakan Indonesia menjadi “rumah bersama” yang layak dihuni oleh semua makhluk hidup yang beradab, cintai damai dan pembela kehidupan.
Baca Artikel berikutnya: Percakapan Dua Saudara; Melepas Prasangka untuk Bekerjasama
[…] Baca Artikel sebelumnya: Percakapan Dua Saudara; Menyikapi Kemajemukan […]