Minggu, 24 November 2024

Islam dan Seksualitas

Baca Juga

Istilah seksualitas sering disederhanakan pengertiannya hanya untuk hal-hal yang mengacu pada aktivitas biologis yang berhubungan dengan organ kelamin baik laki-laki maupun perempuan. Lebih dari sekedar soal hasrat tubuh biologis, seksualitas bagi saya adalah sebuah konsep tentang eksistensi manusia yang mengandung di dalamnya aspek emosi, cinta, aktualisasi, ekspresi, perspektif dan orientasi atas tubuh yang lain. Dalam konteks ini seksualitas merupakan ruang kebudayaan manusia untuk mengekspresikan dirinya terhadap yang lain dengan arti yang sangat kompleks.

Seksualitas adalah sesuatu yang instingtif, intrinsik dan fitrah bagi semua jenis kelamin, bukan hanya milik laki-laki, tetapi juga  perempuan dengan kadar yang relatif sama. Seksualitas adalah sentral dalam diri manusia. Akan tetapi sepanjang sejarah peradaban manusia, seksualitas perempuan selalu mengalami reduksi makna secara besar-besaran. Seksualitas perempuan ditempatkan dalam posisi yang direndahkan, dieksploitasi untuk kesenangan laki-laki. Ini adalah wajah dari kebudayaan patriarkhi yang paradoks yang terus dipertahankan sampai hari ini dengan beragam cara oleh berbagai kepentingan. Kepentingan diri, politik, sosial, budaya dan lain-lain.

Di banyak komunitas dunia, termasuk di dunia muslim, seksualitas perempuan diperbincangkan secara ambigu. Ia bisa dibicarakan dengan penuh apresiasi dan diagungkan tetapi dalam waktu yang sama juga sangat tertutup, tabu dan konservatif. Seksualitas dirayakan dengan nuansa-nuansa kemegahan dan penuh nuansa-nuansa sakralitas. Ini misalnya muncul dalam upacara perkawinan. Perkawinan adalah sebuah mekanisme yang disakralkan untuk wahana kebebasan manusia mengaktualisasikan hasrat-hasrat seksualnya. Perempuan dalam upacara ini ditampilkan secara terbuka dan dipersiapkan untuk tampil dengan performance yang begitu elok, penuh pesona dan potensial menarik hasrat libido laki-laki. Tetapi pada momen yang lain tubuh perempuan  dan keelokannya seringkali tak boleh diekspresikan di ruang publik, hasrat-hasrat biologisnya dibatasi dan dikendalikan oleh orang lain.

Secara normative Islam mengapresiasi seksualitas sebagai fitrah manusia, laki-laki maupun perempuan yang harus dikelola dengan sebaik-baiknya dan dengan cara-cara yang sehat. Dalam bahasa agama seks adalah anugerah Tuhan. Karena itu hasrat seks perlu dipenuhi sepanjang manusia membutuhkannya. Salah seorang sahabat Nabi pernah bertanya : ‘Wahai Rasulullah, apakah jika diantara kami menyalurkan hasrat biologisnya (bersetubuh) juga mendapat pahala?’ Beliau menjawab,’Bukankah jika ia menyalurkan pada yang haram itu berdosa?, maka demikian pula apabila ia menyalurkan pada yang halal, maka ia juga akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim).

Islam tidak menganjurkan celibat dan asketisme. Kepada sahabatnya yang sudah mempunyai hasrat dan mempunyai kesiapan nafkah, tetapi ingin memilih kehidupan asketis, Nabi menganjurkannya untuk menikah, karena keduanya : pemenuhan hasrat dan kehidupan asketis bisa dilakukan bersama-sama. Akan tetapi dalam pemenuhan hasrat seksual Islam hanya mengabsahkannya melalui ritual perkawinan sebagai mekanismenya. Islam dengan begitu tidak membenarkan promiskuitas (seks bebas). Seluruh agama langit sepakat mengenai hal ini.

Satu ayat al Qur’an yang sering dikemukakan untuk menjawab bagaimana Islam memberikan apresiasinya terhadap seksualitas adalah : “Dan di antara bukti-bukti kemahabesaran Tuhan adalah bahwa Dia menciptakan untuk kamu dari entitasmu sendiri pasangan, agar kamu menjadi tenteram dan Dia menjadikan di antara kamu (relasi yang) saling mencinta dan merahmati (mengasihi). Hal itu (seharusnya) menjadi renungan bagi orang-orang yang berpikir” (Q.S. al Rum [30]:21). Ada sejumlah tujuan yang hendak dicapai dari pernikahan. Pertama sebagai cara manusia menyalurkan hasrat libidonya untuk memperoleh kenikmatan/kepuasan seksual. Menurut Ibnu al Qayyim hasrat libido harus dikeluarkan agar tidak membahayakan tubuhnya.[1] Pengekangan atas libido ini bisa membuat orang menjadi stress dan bahkan gila. Hubungan seksual dalam rangka ini biasa disebut sebagai tujuan rekreasi. Kedua, hubungan seks diperlukan sebagai ikhtiar manusia untuk melestarikan kehidupan manusia di bumi. Pernikahan dalam arti ini mengandung fungsi prokreasi sekaligus reproduksi. Ketiga, menjadi wahana manusia menemukan tempat ketenangan dan keindahannya. Melalui perkawinan, kegelisaan hati dan kemelut pikiran  manusia mendapatkan salurannya dan membebaskannya.

Islam selanjutnya menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan dalam relasi seksual adalah sama. Al Qur’an menyatakan : “Hunna Liasun Lakum wa Antum Libasun lakum“/mereka (isteri) adalah pakaian bagimu dan kamu (suami) pakaian bagi mereka (Isteri).”(Q.S. al Baqarah [2]:187). Ibnu Jarir al Thabari, guru besar para ahli tafsir, mengemukakan sejumlah tafsir atas ayat ini.  Pertama bahwa ia metafora untuk arti penyatuan dua tubuh secara interaktif (indhimam jasad kulli wahid minhuma li shahibih).[2] Kedua, mengutip ahli tafsir lain : Mujahid dan Qatadah, bahwa ia berarti masing-masing pasangan saling memberi ketenangan bagi yang lainnya (Hunna sakanun lakum wa Antum sakanun lahunna).[3] Dalam pernikahan yang halal hubungan seks dapat dilakukan dengan cara yang bebas. Al Qur’an menyatakan : “Nisaukum hartsun lakum fa’tu hartsakum anna syi’tum” (isterimu adalah bagaikan tempat (ladang) persemaian bagimu, maka olahlah persemaian itu dengan cara apapun dan bagaimanapun yang kamu kehendaki).(Q.S. al Baqarah [2]:223). Berdasarkan penjelasan dari hadits Nabi, para ahli tafsir sepakat bahwa intercourse suami isteri dapat dilakukan secara bebas, kecuali anal seks.

Adalah menarik bahwa Nabi Saw menganjurkan agar relasi seksual suami isteri diawali dengan “warming up”. Nabi bersabda : “janganlah kalian langsung menggauli isterimu seperti binatang, tetapi hendaklah ada”rasul” (perantara) lebih dulu. “apa “rasul” (perantara) itu?”, tanya sahabat. Nabi mengatakan:”Ciuman dan bicara manis”.

Ibnu al Qayyim mengatakan : “Seyogyanya sebelum berhubungan seks lebih dulu bercanda riang, mencium dan mengisap lidahnya (mashsh lisanaha)”. Sementara Ibnu Abbas, salah seorang sahabat Nabi mengatakan : “Aku ingin tampil menarik untuk isteriku, sebagaimana aku ingin dia juga tampil cantik untukku”.[4]

Uraian singkat di atas memperlihatkan bagaimana Islam memberikan apresiasi terhadap seksualitas dengan cara-cara dan teknik-teknik yang indah. Hal itu dianjurkan Nabi dalam rangka pemenuhan kenikmatan dua pihak; laki-laki dan perempuan. Sungguhpun demikian, terdapat sejumlah masalah seksualitas pada ruang domestik yang mereduksi seksualitas perempuan dengan legitimasi teks-teks Islam. Beberapa di antaranya tentang kewajiban isteri melayani hasrat seks suaminya, kapan, di mana saja dan bagaimanapun manakala dia mengingingkannya. Salah satu teks hadits Nabi menyatakan : “apabila seorang suami mengajak isterinya berhubungan seks, maka dia hendaklah melayaninya, meskipun sedang berada di dapur atau di atas punggung unta”. Hadits lain bahkan memperingatkan konsekuensi yang merugikan isteri jika dia menolak ajakan suami untuk relasi seks itu : “Jika seorang suami mengajak  isterinya berhubungan seks dan dia (isteri) menolak, maka dia (isteri) akan dilaknat oleh para Malaikat sampai subuh”.[5] Akan tetapi hal yang sama seringkali dipandang tidak berlaku bagi suami atas isterinya, karena tidak ada sebuah haditspun yang secara eksplisit menunjukkan norma kebalikan ini. Pemahaman yang sederhana terhadap bunyi hadits ini menimbulkan sebuah persepsi umum bahwa Islam telah mereduksi hak seksual perempuan dan bersikap diskriminatif, dalam kondisi tertenu dapat menimbulkan akibat-akibat serius bagi sistem reproduksinya. Dalam banyak kasus hadits tersebut dijadikan senjata bagi suami untuk mengekspresikan hasrat seksualnya tanpa kompromi isterinya. Pemahaman seperti ini tentu saja sangat simplistis dan mereduksi hak seks isteri. Sementara ada ungkapan bahwa hasrat libido perempuan lebih kuat daripada laki-laki. Karena itu, konon, untuk mengendalikan gejolak hasrat perempuan tersebut, dia perlu dipotong klitorisnya; daging kecil di ujung vagina tempat hasrat seks terakumulasi.

Konsep relasi seksual suami-isteri yang bias di atas juga banyak dijumpai dalam literatur fiqh. Disebutkan di sana bahwa akad nikah merupakan transaksi untuk menghalalkan laki-laki menikmati seluruh bagian-bagian tubuh perempuan, dan tidak sebaliknya. Tubuh perempuan (isteri) setelah berlangsungnya akad nikah adalah milik laki-laki (suami). Atas hal ini perempuan wajib melayani hasrat seks suaminya dan tidak sebaliknya; suami tidak wajib melayani hasrat libido isterinya. [6]

Terlepas dari pandangan ini atau alasan yang lain, hadits di atas bagaimanapun juga tidak dapat lepas dari interpretasi juris atas teks al Qur’an dalam surah al Nisa,[4]:34. Teks ketuhanan ini menginformasikan kepada kita tentang status subordinat isteri (perempuan). Ini jika dibaca secara literal. Laki-laki menurut ayat ini adalah “Qawwam” yang diterjemahkan secara berbeda-beda : pemimpin, pendidik, pelindung atau istilah lain. Meski tafsir-tafsir ini tampak tanpa masalah, tetapi semuanya menunjuk pada makna superioritas laki-laki atas perempuan. Perempuan berdasarkan pembacaan literal ayat ini diyakini sebagian besar masyarakat muslim sebagai ciptaan Tuhan kelas dua. Sebagaimana sudah dikemukakan pada awal, teks Islam semacam ini sesungguhnya adalah teks yang sedang berbicara tentang posisi perempuan dalam realitas Arabia abad ke 6 Masehi. Kebudayaan Arabia, seperti juga  kebudayaan dunia saat itu, adalah patriarkhi, bahkan dalam banyak kasus adalah misoginis. Dengan kata lain teks tersebut sejatinya tidak sedang menjustifikasi sistem subordinasi perempuan, melainkan sedang menginformasikan kenyataan perempuan dalam struktur sosialnya. Tidak terdapat indikasi yang secara jelas dikemukakan dalam teks tentang faktor-faktor apa yang mendukung superioritas laki-laki atas perempuan. Tetapi para ahli tafsir menyebut antara lain : akal-intelektual dan atau kekuatan fisik sebagai faktor yang menjadi keunggulan laki-laki. Mereka juga menyatakan bahwa keunggulan ini berlaku mutlak, kodrati, given, jibilliyah. Pandangan ini tentu sangat simplistis dan tidak kritis. Karena teks ini justeru menyebutkan secara jelas bahwa keunggulan tersebut merupakan sesuatu yang relatif (ba’dhahum ‘ala ba’dh/sebagian laki-laki atas sebagian yang lain). Jadi tidaklah mutlak dan tidak bersifat kodrati dan bisa dikonstruksikan. Faktor yang lain sebagaimana disebutkan dalam teks adalah karena laki-laki menafkahi. Faktor ini juga juga relatif dan tidak bersifat kodrati. Dalam semua sejarah social masyarakat manusia, tidak sedikit perempuan yang melakukan fungsi ekonomi bagi keluarganya.

Analisis kritis lebih lanjut mengantarkan kita pada satu kesimpulan bahwa teks tersebut tengah menjalankan peran tranformatifnya. Tegasnya teks al Qur’an ini sedang dalam proses mendialogkan diri dengan realitas sosio-kulturalnya untuk menjadi lebih baik. Apa yang disebutkan al Qur’an adalah hasil kompromi maksimal (mantiqah al Iltiqa) dari proses negosiasi cultural, meski belum mencapai yang ideal. Hal yang diidealkan adalah kesetaraan hak dan keadilan. Pencapaian tujuan ini didasarkan pada fungsi yang bisa dilakukan oleh siapapun, dan bukan atas pertimbangan jenis kelamin. Agak sulit memang untuk dapat memahami kesimpulan ini secara cepat. Ia harus dikaji berdasarkan analisis sosiologis pada satu sisi dan dihubungkan dengan teks-teks yang lain pada sisi yang lain. Lalu dihubungkan dengan ruang dan waktu yang lain. Analisis ini diperlukan untuk menemukan titik harmonisasi dengan teks-teks universal, yakni teks-teks normatif tentang kesataraan manusia di hadapan Tuhan. Tanpa pendekatan kontekstual ini kita akan terus terperangkap dalam kontradiksi-kontradiksi dalam pernyataan-pernyataan Tuhan di satu sisi dan bertentangan dengan realitas yang sesungguhnya pada sisi yang lain. Ini sesuatu yang tidak boleh terjadi.

Seksualitas Perempuan Dalam Ruang Publik

Seksualitas perempuan dalam ruang publik menghadapi problem yang sama dengan seksualitasnya dalam ruang domestik ; apresiatif sekaligus eksklusif. Terdapat banyak sekali teks-teks Islam yang memberikan apresiasi terhadap tubuh perempuan, ekspresi dan aktualisasi dirinya di segala ruang publik. Perempuan dalam Islam adalah eksistensi yang bebas sekaligus diberi tanggungjawab atas problem-problem sosial, ekonomi, pendidikan, budaya dan politik. Kaum perempuan oleh al Qur’an dituntut untuk bekerja sama dengan kaum laki-laki dalam semua aspek kehidupan tersebut. Salah satu ayat al Qur’an misalnya menyebutkan : “Kaum beriman laki-laki dan perempuan hendaklah bekerjasama untuk menegakkan kebaikan dan menghapuskan kemunkaran”. Dalam bahasa kontemporer teks ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan dituntut untuk melakukan peran transformasi sosial, ekonomi, politik dan budaya. Pada saat Nabi masih hidup, kaum perempuan juga sering terlibat dalam debat terbuka dengan kaum laki-laki di masjid maupun di ruang publik lainnya untuk mengkaji berbagai problem sosial. Bahkan perempuan pada masa Nabi juga dapat menjalankan ritual keagamaan personalnya (ibadah mahdhah) di masjid bersama kaum laki-laki. Nabi mengatakan : “Jangan halangi kaum perempuan pergi ke masjid”. Umm Darda, perempuan sahabat, biasa memberikan kuliah di masjid Jami al Umawi di hadapan puluhan jama’ah, laki-laki dan perempuan. Aisyah bint Abu Bakar adalah guru dari 232 laki-laki. Umm Salamah guru dari sekitar 78 laki-laki. Dan masih banyak perempuan yang lain.

Pada masa awal Islam, kaum perempuan juga terlibat dalam perjuangan politik bersenjata bersama kaum laki-laki dengan mengenakan pakaian yang disiapkan untuk perang ; wajah, tangan dan kaki yang terbuka. Mereka bergerak, berkumpul dan berdiskusi bersama kaum laki-laki menyusun strategi dan siasat dalam ruang tanpa hijab. Tidak ada persoalan dengan gerak tubuh mereka. Imam Bukhari menceritakan bahwa dalam perang Uhud, ketika banyak orang meninggalkan Nabi, Siti Aisyah dan Ummu Salim menggulung pakaian bawah mereka sehingga betis mereka terbuka. Mereka membawa air dan menuangkannya ke mulut tentara yang kehausan.[7] Khansa bint Amr, penyair perempuan Arab terkemuka, berdiri di hadapan Nabi membacakan puisi-puisinya dengan seluruh ekspresinya yang memukau. Nabi mengagumi sekaligus memujinya.[8] Dengan begitu, tidaklah masuk akal dan mengingkari fakta jika suara perempuan kemudian dipandang sebagai “aurat”, sesuatu yang harus disembunyikan, ditutup atau bahkan dikucilkan.[9]

Ada banyak lagi kisah yang mengungkapkan fakta sosial Arabia awal Islam tentang pergumulan kaum perempuan dalam ruang sosial, politik dan kebudayaan. Mereka dapat dengan bebas mengekspresikan dan mengaktualisasikan potensi intrinsiknya, termasuk menyanyi, tanpa stigmatisasi yang mematikan karakternya. Nawal, feminis Arab kontemporer terkemuka, mengatakan : “Adalah pasti bahwa pandangan Muhammad (Nabi Saw) dan prinsip-prinsip Islam tentang seksualitas perempuan memperoleh apresiasi begitu tinggi melampaui peradaban manapun. Mereka menikmati hak-hak itu seperti juga mereka dapat mengekspresikan hak-haknya baik dalam ruang domestik maupun publik.[10]

Aurat dan Fitnah Perempuan

Isu seksualitas muncul sebagai sebuah perdebatan yang tak pernah selesai berkaitan dengan dua terminologi : Aurat dan Fitnah. Dua kata ini muncul dalam sejumlah teks-teks  keagamaan Islam dengan interpretasi yang beragam. Ada dua ayat yang membicarakan aurat secara lebih rinci. Yakni Q.S. al Nur, [24]:30-31. Dua ayat ini memberikan petunjuk kepada laki-laki dan perempuan beriman untuk mengendalikan ekspresi-ekspresi seksualitasnya. Menurut teks ini pengendalian ini diperlukan dalam rangka kehormatan diri. Terhadap kaum perempuan, al Qur’an memberikan petunjuk tambahan, agar mereka tidak memperlihatkan “perhiasannya”, kecuali “apa yang biasa tampak pada bagian tubuhnya”.

“Perhiasan” dan “apa yang biasa tampak” adalah dua kata krusial yang maknanya dapat diinterpretasikan secara ambigu. Para ahli tafsir memahami kata “perhiasan” secara berbeda-beda. Sebagian memaknainya secara literal, yakni perhiasan yang melekat pada tubuh, seperti gelang tangan atau kaki, kalung, anting dan cincin. Sebagian menafsirkannya dengan makna metaforis, sebagai tempat di mana perhiasan itu dikenakan, yakni wajah dan telapak tangan, leher dan ujung bawah betis. Sebagian lagi menafsirkannya sebagai celak (eye shadow), lipstik dan pacar di tangan atau kuku.[11]

Sementara “apa yang biasa nampak” juga tidak jelas. Nabi tidak memberikan penjelasannya secara eksplisit dan dengan makna tunggal. Pandangan yang dominan sampai hari  menyatakan bahwa “apa yang biasa nampak” adalah wajah dan telapak tangan. Ini didasarkan atas sebuah hadits Nabi. Karena itu menurut mereka perempuan harus menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangan. Akan tetapi Ibnu Jarir, menyebut hadits lain bahwa disamping mengecualikan wajah dan telapak tangan, juga separoh lengan bahkan seluruh lengan. Ketiga bagian tubuh ini boleh terbuka. Al Syaukani (1250 H), menginformasikan bahwa kaki sampai setengah betis perempuan bukanlah aurat, karena itu tidak harus ditutup.[12] Pandangan paling ketat dikemukakan oleh Ibnu Hanbal, tokoh perintis aliran literalis (fundamentalis). Ia menyatakan bahwa seluruh tubuh perempuan, tanpa kecuali, termasuk kuku adalah aurat.[13]

Abu Hanifah, Abu Yusuf, Ibrahim al Nakha’i, Sufyan al Tsauri berpendapat bahwa lengan tangan perempuan, bukanlah aurat. Demikian juga rambut yang terjurai’. (Anna al Dzira’ min al Mar’ah laisa bi ‘aurah, wa kadzalika al Sya’r al Mustarsal minha).[14] Sebagian ahli fiqh mazhab Maliki mengnjurkan agar baju perempuan menutup hingga separoh betis. Katanya : “wa al Mustahab fi al Tsiyab an Takuna ila Nishf al Saaq”.[15]

Beragam tafsir tersebut pada gilirannya merefleksikan pandangan yang beragam pula dari para ahli hukum Islam. Di samping karena perbedaan tafsir atas kosakata ini, keberagaman pandangan fiqh (hukum Islam) juga karena konteks sosial mereka yang berbeda.[16]

Batas-batas aurat yang beragam tersebut, berdasarkan ayat selanjutnya, ternyata tidak berlaku sama bagi semua orang. Teks al Qur’an mengecualikan sejumlah orang. Yaitu : 1. suami, 2. ayah 3. mertua, 4. anak-anak laki-laki, 5. anak-anak suami, 6. saudara-saudara laki-laki kandung, 7. keponakan laki-laki, 8. perempuan-perempuan yang lain, 9. budak belian laki-laki, 10. pelayan laki-laki yang tidak bergairah terhadap perempuan dan 11. anak-anak laki-laki yang tidak belum mengerti aurat perempuan. Jika harus dikelompokkan, maka 1. Kelompok keluarga dekat ( no. 1 s/d 7). Kedua, budak laki-laki (no. 9), Ketiga kelompok yang tidak memiliki hasrat seksual (10 dan 11).

Berdasarkan teks tersebut, seorang perempuan tidak berkewajiban menutup “aurat” nya di hadapan sejumlah kelompok orang yang disebut tadi. Pengecualian ini menunjukkan dengan jelas bahwa al Qur’an tidak men-jeneralisasi- bahwa semua perempuan harus menutup “aurat”nya (seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan) di hadapan semua laki-laki.

Pertanyaan kritis kita adalah mengapa Tuhan memberikan pembedaan antara perempuan satu atas perempuan yang lain. Dalam banyak analisis pembedaan tersebut lebih disebabkan oleh tradisi dan budaya. Yakni bahwa mereka (maharim dan laki-laki tak berhasrat) adalah orang-orang yang dalam tradisi Arabia saat itu, tidak merupakan ancaman, gangguan atau mengundang hasrat seksual. Faktor ini dalam bahasa yang lebih populer disebut tidak menimbulkan “fitnah”. Dengan kata lain mereka adalah orang-orang yang dapat menjamin keamanan atas tubuh perempuan. Faktor lain adalah menghindari kerepotan atau kesulitan (raf’an li al haraj wa al masyaqqah) dalam bekerja, atau dengan kata lain untuk kebutuhan kemudahan gerak (li al hajah).

Dari sini menjadi jelas kiranya bahwa batasan-batasan aurat sangat dipengaruhi oleh konteks sosial, tradisi atau kebudayaan masyarakat. Bagian tertentu dari tubuh perempuan boleh jadi dipandang aurat dan menimbulkan fitnah oleh suatu masyarakat atau pada suatu zaman atau di suatu tempat, tetapi tidak dipandang aurat dan fitnah oleh masyarakat lain dan pada zaman atau tempat yang lain.  Kasus ini agaknya sama dengan kasus “pornografi” atau “pornoaksi” yang memicu kontroversi hebat sampai hari ini. Terminologi “porno” amat sulit untuk dirumuskan secara pasti dan tunggal. Ia dapat ditafsirkan secara ambigu atau relatif. Kepornoan pada dirinya sendiri sesungguhnya ditentang hampir semua orang. Akan tetapi ia, karena definisinya yang ambigu, menjadi problem serius ketika dibawa ke ranah hukum negara. Di sini sejumlah faktor kepentingan akan mendefinisikannya sesuai dengan kehendak-kehendak politik, ekonomi, ideologi sosial, tafsir agama, tradisi maupun aturan-aturan lain yang bersifat formal dan skriptual. Dalam konteks kebudayaan patriarkhis, perempuan akan menjadi obyek yang didiskriminasi.

Terlepas dari perdebatan mengenainya, bagi saya satu hal yang menjadi perhatian utama agama dan seharusnya juga menjadi perspektif kita adalah bahwa tubuh perempuan (dan laki-laki) harus dihormati, tidak boleh dilecehkan dan direndahkan, dieksploitasi apalagi diperlakukan dengan kekerasan.

Jilbab

Seksualitas perempuan juga menghadapi problem serius dalam isu Jilbab. Ini teks yang kedua. Pandangan yang dominan dalam masyarakat menyatakan bahwa Jilbab adalah kewajiban agama, berdasarkan Q.S. al Ahzab,[33]:59. Ayat ini menyebutkan : “Wahai Nabi, katakan kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang-orang beriman, hendaknya mereka mengulurkan jilbabnya. Yang demikian ini supaya mereka lebih mudah dikenal, dan oleh karena itu mereka tidak diganggu”.

Agak sulit bagi kita di Indonesia pada saat ini untuk dapat menjelaskan makna jilbab. Jilbab bukanlah istilah yang menunjukkan arti pakaian perempuan seperti yang kita saksikan hari ini, atau yang biasa disebut “busana muslimah”. Jilbab adalah aksesori/ciri tertentu yang ditambahkan pada pakaian perempuan Arab pada saat itu untuk membedakan identitas perempuan merdeka dan perempuan budak belian. Sementara pakaian yang menutup rambut dan tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan, (kita sebut saja “busana muslimah’), sesungguhnya adalah pakaian sehari-hari perempuan Arab itu sendiri, terlepas dari identitas keagamaan dan kesukuannya. Perempuan-perempuan non muslim dari berbagai suku di Arabia, mengenakan “busana muslimah” tersebut. Jadi ia bukan khas pakaian perempuan muslimah. Perintah Tuhan untuk mengenakan jilbab (asesori, ciri) tersebut ditujukan kepada perempuan-perempuan merdeka agar mereka dapat dibedakan dari perempuan-perempuan budak. Tujuan utamanya adalah agar mereka (perempuan merdeka) tidak mudah direndahkan, dilecehkan atau diganggu oleh laki-laki “nakal”, semudah yang dilakukan terhadap perempuan budak. Pandangan ini didasarkan pada latarbelakang turunnya ayat ini.[17]

Fitnah

Perspektif seksualitas perempuan di atas sangat sulit diterima oleh masyarakat muslim pada umumnya hari ini. Pandangan umum dan populer dalam masyarakat muslim terhadap seksualitas perempuan bertentangan dengan wacana tersebut. Mayoritas muslim tetap menganggap bahwa tubuh perempuan tidak boleh berkeliaran secara bebas dan terbuka dalam ruang publik. Seksualitas perempuan hanya dapat diekspresikan dalam ruang domestik. Kalaupun mereka boleh bergerak dalam ruang publik, keberadaannya harus dalam “pengawasan” yang ketat dan dengan sejumlah syarat. Mereka harus didampingi “mahram” dan tidak dengan penampilan yang “menarik hasrat seksual”. Pandangan ini mendapat legitimasi dari sebuah teks keagamaan yang menyatakan bahwa perempuan adalah sumber fitnah”. Fitnah dalam hal ini adalah sebuah istilah yang ingin menggambarkan bahwa perempuan adalah subyek yang dapat memicu hasrat seks laki-laki, menimbulkan  keresahan dan gangguan sosial. Bukankah ini juga sangat bias laki-laki?. Pemaknaan ini sebenarnya telah berubah dari makna genuinnya. Yakni cobaan atau ujian yang bisa ditujukan kepada semua orang baik laki-laki maupun perempuan.[18]

“Fitnah”, dengan pemaknaan yang bias dan sempit di atas tadi kemudian menjadi kata kunci yang digunakan untuk menilai dan membatasi secara ketat seksualitas perempuan. Bahkan membicarakan kata-kata dan hal-hal yang berkaitan dengan organ-organ seks perempuan dalam sejumlah komunitas muslim acap kali dianggap kejorokan dan tabu. Kata fitnah ini berkembang dan menyebar dalam teks-teks fiqh pada setiap perbincangan mengenai isu-isu perempuan sebagai logika (illat) pembatasan gerak tubuh perempuan. Dapat dikatakan bahwa secara umum, seksualitas perempuan pada akhirnya hanya diapresiasi dalam ruang domestik yang sempit dan sembunyi-sembunyi. Wacana keagamaan ini berlangsung dan terbakukan untuk  waktu yang sangat panjang dan tersosialisasi secara massif pada masyarakat muslim di seluruh dunia. Sejarah fiqh menunjukkan bahwa pembakuan wacana seksualitas perempuan ini dimulai sejak abad ke IV H/10 M. Sistem sosial yang patriarkhi kembali menguat dan mengakar. Selama lebih dari 10 abad, fiqh Islam mengalami stagnasi. Kritisisme tidak berkembang, bahkan dalam banyak kasus kritik atas wacana keagamaan mainstream ini seringkali membahayakan dan mengancam. Mempresentasikan wacana keagamaan yang membebaskan perempuan dari kerangkeng yang membatasinya seringkali dipandang mendekonstruksi Islam. Maka tak dapat disangkal bahwa nalar religius masyarakat muslim sampai hari ini adalah nalar yang telah terkonstruksikan dalam bingkai kebudayaan patriarkhi dengan corak Arabia atau lebih luas lagi Timur Tengah, abad pertengahan. Prinsip-prinsip humanisme universal : kebebasan, kesetaraan, keadilan, sebagai cita-cita Islam menjadi seakan-akan “tak terpikirkan” lagi dan hilang dalam memori kolektif mereka. Konsekuensi logis atas keadaan ini, adalah bahwa masyarakat dunia hanya mengerti Islam sebagai agama yang tidak memberikan tempat di ruang publik yang luas bagi seksualitas perempuan sekaligus mereduksi hak-hak privat mereka. Perempuan disegregasi dari ruang sosial dan politik.

Seksualitas Perempuan dalam Realitas : Paradoks

Begitulah jika kita bicara seksualitas pada tataran wacana keagamaan. Ini tampaknya sangatlah bertolak belakang dengan apa yang berjalan dan dipraktikkan di tengah-tengan masyarakat Islam sendiri. Perempuan-perempuan Indonesia, anak-anak gadis ulama dan tokoh Islam, telah beratus atau beribu yang melanjutkan pendidikan tingginya di luar negeri selama bertahun-tahun tanpa disertai mahram. Sebagian di antara mereka memakai celana panjang dan ketat, membentuk tubuh. Ayah-ayah mereka dan masyarakat tak pernah mempersoalkan keberadaannya. Mereka kembali ke tanah airnya dengan selamat dan aman. Demikian juga jutaan tenaga kerja perempuan yang berada di berbagai negara terutama Saudi Arabia dan Malaysia, dua negara yang mendeklair diri sebagai negara Islam. Mereka berada di sana dalam waktu yang relatif lama tanpa keluarga dekatnya dan di kerangkeng dalam tembok rumah yang dihuni tubuh-tubuh laki-laki dari bangsa lain. Sebagian mengalami kekerasan seksual, dan ssebagian yang lain kembali selamat. Kini semakin banyak perempuan yang mengajar kepada murid atau mahasiswa laki-laki, termasuk di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lain, secara hadap mata, tanpa batas pemisah. Sudah cukup lama kita menyaksikan pasar-pasar tradisional dipenuhi perempuan-perempuan yang bekerja di sana untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Sebagian dari mereka keluar dari rumahnya sejak dini hari yang gelap dan sepi, baik sendiri-sendiri maupun bersama temannya. Pada masa lalu bahkan sampai hari ini, ibu-ibu Nyai (isteri kiyai) dan perempuan-perempuan muda biasa mengenakan kebaya cukup ketat, kadang transparan, atau berkerudung dengan membiarkan sebagian rambutnya terbuka dan melambai-lambai ketika diterpa angin. Semua bisa berjalan normal dan aman-aman saja.

Terlampau banyak untuk ditulis tentang perempuan-perempuan muslim yang aktif dalam ruang-ruang sosial, budaya, ekonomi dan politik. Ada puluhan juta tubuh perempuan yang bergerak bersama komunitas laki-laki untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi dirinya sendiri, suami, keluarga dan masyarakatnya. Mereka telah memberikan kontribusi amat besar bagi kemajuan bangsa dan negara. Disadari atau tidak, mereka telah melakukan penafsiran kembali warisan Islam dan meramunya untuk keperluan kehidupan kontemporer. Fatimah Mernisi, feminis muslim terkemuka abad ini, dengan sangat menarik mengemukakan keadaan ini : “Pembebasan kita akan datang melalui pembacaan kembali terhadap masa lalu dan penggalian kembali semua unsur yang telah menyusun peradaban kita. Masjid dan al Qur’an milik perempuan sebagaimana bintang di langit. Kita berhak terhadap semua kekayaannya untuk membangun identitas kontemporer kita”.[19]

Saya kira kita harus kritis dalam memaknai teks-teks Islam yang berbicara tentang isu-isu seksualitas. Hadits Nabi “Ma taraktu ba’di fitnah Adharr ‘ala al Rijal min  al Nisa” (aku tidak meninggalkan sesudahku suatu fitnah yang lebih merugikan laki-laki kecuali perempuan), misalnya, tidak seharusnya dimaknai sebagai anjuran untuk mengasingkan atau mengalienasi tubuh perempuan dari ruang dan relasi-relasi sosial dalam rangka menjamin ketertiban dan terjaganya moralitas social, melainkan sebagai pengkabaran disertai peringatan Nabi Saw kepada kaum laki-laki agar mampu mengendalikan dirinya sendiri dan memberikan penghormatan terhadap eksistensi perempuan. Dengan begitu, maka perbaikan moralitas dan ketertiban social bukan diarahkan semata-mata terhadap perempuan, melainkan juga perbaikan pada cara pandang laki-laki terhadap perempuan. Ali bin Abi Thalib pernah mengemukakan pandangannya: “Ma Akram al Nisa Illa Karim wa Ma Ahanahunna Illa Laim”(Tidaklah menghormati perempuan kecuali laki-laki yang terhormat dan tidak merendahkan mereka kecuali laki-laki yang berhati rendah).

Wallahu A’lam Bisshawab, Wa Ma Taufiqi Illa Billah, ‘Alaihi Tawakkaltu Wa Ilaihi Unib.

Cirebon, 27 April 2010
Makalah dipresentasi dalam Seminar “Membongkar Bias Seksualitas”, di UIN Sunan Gunung Jati, Bandung, 27 April 2010.


[1] Ibnu al Qayyim, Zaad al Ma’ad, Juz IV, Fashl fi Adab al Jima,

[2] Ibnu Jarir al Thabari, Jami’ al Bayan ‘an Ta’wil Ayi al Qur’an, III, h. 489

[3] Ibid, h. 490

[4] Syeikh Nawawi, Syarh Uqud al Lujain, Attamimi, Cirebon, tt. H. 3

[5] H.R. Bukhari dan Muslim. Baca  : Al Syaukani, Nail al Awthar, VI/207, Al Nawawi, Riyadh al Shalihin, h. 134.

[6] Baca : Al Jaziri, Al Fiqh ‘ala Mazdahib alArba’ah, IV, h. 2- 4 :  “Aqd Wadha’ahu al Syari’ li Yatarattab ‘alaihi Intifa’ al Zawj bi Budh’i al Zawjah wa Saa-ir Badaniha min Haits al Taladzudz”. “Wa al Ma’qud ‘alaih Huwa al Intifa’ bi al Mar’ah Duna al Rajul”.

[7] Bukhari, Shahih, Hadits No. 2880

[8] Ibnu Hajar al Asqalani, Al Ishabah fi Tamyiz al Shahabah,VII, 613

[9] Aurat secara literal berarti cela, aib, tabu, sesuatu yang memalukan atau buruk diperlihatkan di hadapan orang. An Nawawi, ahli fiqh mazhab Syafi’i terkemuka mengatakan bahwa aurat adalah bagian-bagian tubuh orang yang dipandang buruk jika diperlihatkan, dan jika diperlihatkan bisa menimbulkan fitnah (Lihat ; Muhammad bin Abu Bakar al Razi, Mukhtar al Shihah, II, h. 345; Ibrahim Anas, Al Mu’jam al Wasith, h. 636; An Nawawi, Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, III, h. 168).

[10] Nawal el Sa’dawi, Wajah Telanjang Perempuan, h. 71

[11]Baca Tafsir Surah al Nur [23]:31dalam ; Jalal al Din al Suyuthi, Al Dur al Mantsur fi al Tafsir bi al Ma’tsur, dan Ibnu Jarir al Thabari : Jami’ al Bayan.

[12] Al Syaukani, Fath al Qadir Baina Fannay al Riwayah wa al Dirayah Min  ‘Ilm al Tafsir, Maktabah Syamilah, Vol. V, h. 208

[13] Ibnu al Jauzi, Tafsir Zad al Masir fi ‘Ilm al Tafsir, Maktabah Syamilah, Vol. IV, h. 442

[14] Dr. Muhammad al Habasy, Al Mar’ah Baina al Syari’ah wa al Hayah, Dar al Ahbab, Damaskus, cet. V, 2005, h. 84. Lihat : Ibnu Nujaim, Al Bahar al Raiq, Juz I, h. 284.

[15] Muhammad al Habasy, ibid.

[16] Penjelasan lebih luas tentang pandangan ulama fiqh ini, lihat ; Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiyai atas Wacana Agama dan Gender, LKiS, Yogyakarta, cet. II, 2007.

[17] Lihat Ibnu Jarir, Op. Cit

[18] Istilah “fitnah” pada makna asalnya adalah cobaan atau ujian. Cobaan atau ujian dapat berlaku pada siapa saja dan apa saja. Al Qur’an menyatakan : “Innama Amwalukum wa Awladukum fitnah” (sesungguhnya harta dan anak-anakmu adalah fitnah). Pandangan yang menyatakan bahwa perempuan adalah fitnah didasarkan pada hadits Nabi : “Aku tidak meninggalkan, setelah aku mati, suatu fitnah yang lebih mencelakakan laki-laki kecuali perempuan”.(H.R. Bukhari). Pemahaman umum atas hadits ini sangat bias gender. Perempuan seringkali dilekatkan sebagai eksistensi yang membahayakan laki-laki. Kata “fitnah”dalam terminologi masyarakat Indonesia jauh lebih mengerikan, yakni kebohongan, hasutan dan sejenisnya.

[19] Fatima Mernissi, Islam dan Antologi Ketakutan Demokrasi, LKiS, Yogyakarta, cet. I, 1994, h. 189

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sosialisasi Pilkada Serentak 2024: Serukan Pemilih Cerdas dan Tolak Politik Uang

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute- Dalam rangka memperkuat demokrasi dan keberagaman, KPU Kabupaten Cirebon gandeng Fahmina Institute mengadakan acara...

Populer

Artikel Lainnya