Sabtu, 27 Juli 2024

Batas Usia Anak yang Boleh Diadili Ditinjau Kembali

Baca Juga

Kemampuan berpikir anak usia 7 tahun hingga memasuki masa akil balig masih lemah.

Batas usia anak yang boleh diadili harus ditinjau kembali. Menurut Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Majelis Ulama Indonesia Aisyah Aminy, seorang anak yang belum akil balig atau belum dewasa tak dapat diadili karena bukan subyek hukum pidana.

“Perlu peninjauan kembali terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, khususnya tentang batas usia anak,” kata Aisyah, ahli pemohon, dalam sidang di Mahkamah Konstitusi kemarin.

Dalam undang-undang tersebut, pasal 4 ayat 1 menyebutkan batas usia seorang anak yang dapat diajukan ke sidang anak adalah kurang dari 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah menikah. Dalam pasal 5 ayat 1 disebutkan, terhadap anak yang belum mencapai usia 8 tahun dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik jika ia diduga melakukan tindak pidana.

Menurut Aisyah, kemampuan berpikir anak usia 7 tahun hingga memasuki masa akil balig masih lemah. Karena itu, jika anak tersebut melakukan tindak pidana, dia tetap harus bertanggung jawab namun tidak dengan cara dipidana. “Perlu dipertimbangkan apa perlu membawa ke pengadilan,”ujarnya,”atau bisa dijatuhkan hukuman berupa pendidikan khusus.”

Mayoritas ulama, kata dia, menyepakati batas usia 15 tahun seorang anak dapat dikatakan akil balig dan dapat dimintai pertanggungjawaban atas semua tindak pidana yang dilakukannya.”Masa balig wanita ditandai dengan haid atau hamil, laki-laki oleh mimpi yang mengeluarkan sperma, atau mencapai usia 15 tahun,”kata Aisyah.

Sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia serta Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan mengajukan uji materi terhadap enam pasal yang ada dalam UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang dinilai melanggar UUD 1945.

Sebutan Anak Nakal Itu Kejam

Mantan hakim agung Bismar Siregar mengatakan kata “anak nakal” pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merupakan ungkapan yang kejam.

“Jangan sebut anak nakal. Kejam sebutan itu,” kata Bismar, ahli pemohon dalam sidang uji materi UU tentang Pengadilan Anak, di Mahkamah Konstitusi kemarin. Menurut Bismar, orang tua harus ikut bertanggung jawab atas perilaku anak.

“Kesulitan ekonomi, anak tidak mendapat kasih sayang dari orang tuanya, anak harus mencari nafkah. Jangan salahkan anak jika jadi pengamen di pinggir jalan,” katanya.

Negara juga, kata Bismar, harus bertanggung jawab karena telah mengabaikan amanat UUD 1945 untuk melindungi fakir miskin dan anak telantar. Karena itu, kami memohon kepada MK untuk meneliti kembali UU tentang Pengadilan Anak tersebut,” ujarnya. (Nalia Rifika | Eni S/korantempo.com)


Sumber: http://epaper.korantempo.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Pernyataan Sikap Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Atas Kejahatan Kemanusiaan Israel di Palestina

Bismillahirrahmaanirrahiim Menyikapi tindakan-tindakan genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Zionis Isreal terhadap warga Palestina, yang terus bertubi-tubi dan tiada henti,...

Populer

Artikel Lainnya