Kamis, 19 Desember 2024

Fikrah dan Harakah Ulama Perempuan

Baca Juga

Oleh: Hilyatul Aulia*

Alhamdulillah. Bersyukur sekali rasanya bisa terpilih menjadi salah satu peserta Daurah Kader Ulama Perempuan (DKUP) Muda yang digelar oleh Fahmina Institute. Bisa bertatap muka dengan para ulama perempuan dan berkenalan dengan para kader ulama perempuan dari Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Kegiatan DKUP ini terdiri dari dua sesi, yaitu sesi online dan offline. Yang sedang berjalan sejak kemarin hingga tanggal 19 mendatang adalah sesi online. Beberapa kali mengikuti acara melui zoom tentu saja saya menemukan berbagai kendala. Salah satunya kendala sinyal. Kemarin saja terhitung dua kali pindah tempat karena susah sinyal. Pas di tempat terakhir, ketika sinyal sedang bagus-bagusnya, malah mati lampu beberapa saat dan membuat sinyal tiba-tiba hilang. Tapi alhamdulillah setelah itu normal kembali. Lagi-lagi, ketika sedang seru-serunya mengikuti sesi terakhir, tiba-tiba terpaksa harus meninggalkan room meetting karena ada hal mendesak yang harus diikuti.

Meski menghadapi berbagai hambatan saya sempat fokus mendengarkan keynoote speech yang disampaikan ulama perempuan panutan saya, Ibu Nyai Hj. Badriyah Fayumi. Sedikit banyak saya mencatat apa yang disampaikan oleh beliau tentang fikrah dan harakah ulama perempuan.

“Ulama perempuan harus bersatu dalam fikrah dan harakah.” Kurang lebih itulah salah satu penggalan keynote speech beliau. Secara bahasa fikrah artinya pikiran dan harakah artinya gerakan. Maksudnya, ulama perempuan harus bersatu dalam pemikiran dan pergerakan.

Ulama perempuan harus bersatu dalam fikrah artinya harus menyatukan perspektif ketika membaca teks keagamaan agar dapat melahirkan makna dan pemahaman yang tepat sehingga dapat mendudukkan topik atau permasalahannya secara tepat juga.

Perspektif yang disepakati oleh para ulama perempuan dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada tahun 2017 lalu adalah perspektif keadilan laki-laki dan perempuan. Maksudnya, jika selama ini teks-teks keagamaan dirasa adil dari sudut pandang laki-laki maka teks tersebut juga harus adil ketika dipandang dari sudut pandang perempuan.

Dalam dunia pengetahuan Isam kita telah mengenal berbagai metodologi pembacaan teks keagamaan seperti Maqashid Syari’ah dan Qawa’id Fiqhiyyah. Namun dalam mengaplikasikan metode ini harus disertai dengan perspektif keadilan laki-laki dan perempuan sehingga pemahamana yang dihasilkan sesuai dengan visi dan misi KUPI.

Selain itu, ada pula metodologi yang secara khusus dirancang menggunakan perspektif keadilan laki-laki dan perempuan seperti metodologi mubadalah yang dicetuskan oleh KH. Faqihuddin Abdul Kodir dan perspektif keadilan hakiki yang dicetuskan oleh Ibu Dr. Nyai Hj. Nur Rofi’ah.

Selanjutnya, ulama perempuan juga harus bersatu dalam harakah. KUPI telah memutuskan bahwa ulama perempuan tidak hanya bergerak dalam wilayah intelektual saja, namun juga dalam bidang moral, sosial dan kultural. Wilayah-wilayah pergerakan ini juga harus berintegrasi dengan aspek keislaman, kemanusiaan, kebangasaan dan kesemestaan.

Contohnya dalam mengahapi fenomena kawin anak. Pergerakan intelektual ulama perempuan dalam hal ini misalnya dengan melakukan musyawarah untuk merumuskan cara untuk menghilangkan atau meminimalisir tindakan kawin anak.

Adapun harakah moral dan sosialnya, ulama perempuan harus gencar mengkampanyekan pencegahan wakin anak. Sedangkan gerakan kulturalnya, ulama perempuan harus bisa mengedukasi masyarakat tentang bahaya kawin anak baik secara langsung maupun melalui berbagai media.

Gerakan-garakan ini juga harus terintegrasi bukan hanya dengan aspek keislaman saja, namun juga dengan aspek kebangsaan, misalnya dengan melobi pemerintah agar membuat kebijakan untuk mencegah kawin anak. Sedangkan integrasi dengan aspek kemanusiaan dan kesemestaan, mencegah kawin anak artinya menyelamatkan anak-anak dari kehilangan hak-hak mereka, meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat, melindungi anak-anak dari penjajahan fungsi reproduksi yang belum siap untuk digunakan, dan lain sebagainya.

Satu lagi, fikrah dan harakah ulama perempuan juga harus dilandasi oleh prinsip wasathiyyah atau moderat, dimana prinsip moderat ini juga dianut oleh para ulama penyebar Islam di Indonesia sehingga Islam menjadi agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia.

Dengan dilandasi oleh prinsip wasathiyyah, mudah-mudahan pemikiran dan gerakan ulama perempuan pun dapat diterima oleh setiap lapisan masyarakat.[]

*Kader Ulama Perempuan Muda

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya