Acara yang menghadirkan tiga Pembaru seperti Ulil Abshor Abdala, Sholahuddin Kafrawi, dan KH Husein Muhammad, itu setidaknya semakin menyakinkan bahwa pembaruan akan terus berjalan, karena pembaruan merupakan sifat alam semesta yang tak terpisahkan.
“Namun gerakan pembaruan bukanlah gerakan yang instan, tapi gerakan yang simultan dan komulatif, gerakan yang estafet dari generasi ke generasi. Pembaruan juga bukan semata-mata untuk wacana, tapi juga untuk transformasi sosial, untuk keadilan, kesetaraan, dan lain-lain. Dan pembaruan bisa terjadi di manapun,” simpul Marzuki Wahid, Moderator acara tersebut. Kalimat yang merupakan kesimpulan dari paparan gagasan narasumber, itu seakan mengalir membangkitkan semangat akademika, cendikiawan, budayawan, kalangan pesantren, sekaligus politisi yang hadir saat itu.
Ketiga narasumber tersebut memang memiliki corak pemikiran yang berbeda. Kang Ulil—sapaan Ulil Abshor Abdala di kalangan aktifis Cirebon—merupakan pemikir serta tokoh pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia. Kemudian KH Husein Muhammad, Feminist Muslim Indonesia serta salah satu anggota komisioner Komnas Perempuan. Kiai Husein juga dikenal sebagai Kiai Gender serta Bapak Pendiri sejumlah LSM yang peduli terhadap persoalan perempuan. Sementara Sholahuddin Kafrawi, salah Kiai Babakan Cirebon yang juga hijrah dan bermukin di Amerika selama 12 tahun. Kini sebagai Lecture di Speech Colleage New York.
Agenda Pembaruan Pemikiran Islam ke Depan
Kang Ulil tidak hanya memaparkan tentang istilah “pembaruan” sebagai kosa-kata yang sangat populer dalam perdebatan dan perbincangan umat Islam, terutama setelah memasuki abad ke-20. Dia juga menyampaikan gagasannya tentang agenda pembaruan pemikiran Islam ke depan. Salah satunya isu yang sering diangkat ke permukaan sebagai kritik atas kaum progresif berkenaan dengan aspek metodologi. Kaum pengkritik gerakan ini biasanya mengatakan bahwa gerakan kaum progresif-liberal tidak memiliki metodologi yang utuh dan kokoh. Dengan kata lain, gerakan ini miskin usul fikih. Anggapan semacam itu, menurutnya sama sekali tidak tepat.
“Mungkin ada baiknya kita melakukan semacam “stock opname”. Melihat kembali sejumlah metodologi pembaharuan yang sudah pernah dikemukakan oleh sejumlah pembaharu Muslim sejak abad yang lampau,” papar kang Ulil yang selanjutnya menyebutkan 8 “stock opname” gagasannya. Yaitu prinsip historisitas, kontekstualitas, diferensiasi, substansialisme, nasionalisme, konstitualisme, ekumenisme, serta prinsip ekualitas.
Namun sejauh ini dia mengaku memakai beberapa istilah yang sebenarnya bisa saling dipetukarkan: metodologi, prinsip, perspektif, metode, dan pendekatan. Dia juga memahami bahwa semua istilah itu sebagai cara untuk mendekati sebuah teks atau ajaran agama. Dia juga sengaja tidak membuat pembedaan yang ketat di antara istilah-istilah itu. Delapan prinsip tersebut, dipandangnya sebagai dasar-dasar penting yang melandasi cara berpikir para pemikir Muslim progresif-liberal selama ini.
“Anda bisa menyebutnya sebagai metodologi, metode, prinsip, atau pendekatan. Tentu saja daftar di atas tidaklah mencakup semua metode yang pernah dikemukakan oleh para pemikir Muslim progresif selama ini. Anda bisa menambahkan prinsip-prinsip lain.”
Lalu apakah agenda pembaruan ke depan? Menurutnya ini bukanlah pertanyaan yang mudah dijawab. Kang Ulil mencoba menyampaikan sejumlah pemikiran awal mengenai masalah ini. Dia juga membagi lingkup agenda pembaruan Islam di masa depan ke dalam tiga wilayah. Yaitu secara singkat meliputi wilayah metodologi, kontekstualisasi, sosial-politik, serta wilayah budaya.
“Perlu ditekankan kembali bahwa pembaruan bukanlah one-stop project, proyek yang berhenti di satu terminal, tetapi proyek kumulatif yang tiada berkesudahan. Tujuan akhirnya adalah masyarakat etis yang terbuka: etis dalam pengertian berlandaskan pada norma yang hidup dalam masyarakat, dan terbuka dalam pengertian memberikan perlindungan pada hak-hak dasar semua gololongan, temasuk golongan minoritas, juga golongan yang hendak melakukan ‘pembacaan ulang’ atas norma yang ada.”
Dialektika Teks dan Konteks itu Selaras
Dengan perspektifnya, Sholahuddin Kafrawi berusaha memaparkan pemikirannya tentang bagaimana melakukan pembaruan melalui pendekatan takwil. Menurutnya, umat Islam sekarang sedang melaju pada kebangkitan umat Islam akan dapat terlaksana. Namun dalam hal ini Islam tidak dilihat sebagai produk, tapi Islam sebagai sebuah proses.
“Judul diskusi kita hari ini adalah dialektika Islam pembaruan. Benar, Islam adalah sebuah proses yang sedang mengadakan dialektika. Namun kita tidak hanya mewacanakannya tapi juga melembagakannya, tapi melalui sebuah proses dan harus berkesinambungan. Saya khawatir mandeg pada lembaga. Akhirnya bagaimana everybody is subjective too chance with corruption,” jelasnya.
Bahwa akan terjadi penyalahgunaan, lanjutnya, untuk menghindari itu kita boleh melembagakan itu sebagai sebuah langkah, itu penting agar lembaga itu menjadi sesuatu yang diharapkan. “Kiai Marzuki misalnya, di ISIF ada beberapa fakultas. Ini bagus, tapi ada banyak ilmu konteks yang harus juga dibangun oleh fahmina, sehingga proses dialiektika antara teks dan konteks itu selaras,” paparnya ketika menjawab sejumlah pertanyaan penanya.
Sementara Kiai Husein berusaha mengaitkan pembaruan pemikiran Islam dengan sekian persoalan yang muncul di masyarakat. Menurutnya, seluruh pemikir pembaru itu lahir dari keprihatinan komunitas muslim di tempatnya masing-masing. Keyakinan itu hampir sama tentang kemiskinan dan kebodohan, lalu dicari apa caranya untuk membangkitkan kembali serta mengangkat keterpurukan.
“Seluruh teks juga merespon realitas. Itulah yang menjadi pijakan sebuah pijakan baru, karena itu penelitian-penelitian itu menjadi penting untuk terus menerus meneliti kebijakan. Tapi tidak bisa tanpa sebuah wacana-wacana itu terlalu buru-buru dan sporadic. Kegagalan dalam perubahan itu adalah sporadisme. Di mana-mana itu menghimpit agar persoalan itu selesai. Ada simbiosa mutualistik. Maunya persoalan di masyarakat diangkat melalui Negara, sehingga ada Undang-Undang (UU) baru dan sebagainya. Ada hukum, ada hukumannya ada dibiayai dan sebagainya, tetapi seringkali kita melihat bahwa kebijakan itu justru tidak adil dalam konteksnya sendiri.”
Banyak sekali peraturan daerah (Perda) yang diskriminatif dan sekarang bertambah lagi. Jadi itu yang menurut kita cara kita. Itu jadi simbiosa mutualis, hukum harus dibangun berdasarkan kebutuhan hidup masyarakat sendiri dan harus mencerminkan keadilan. Jadi tuntutan kita mana yang paling damai, apakah merumuskan kebijakan hokum agar segera diselesaikan atau sebenarnya ini untuk membangun tradisi untuk membangun kebijakan yang baru. Pada masa klasik juga tidak ada hukum UU.
“Jadi apakah kondisi masyarakat sosial yang aman damai itu bisa tidak? bisa. Jadi saya ingin bergerak pada level ini. Ini semua bicara di sana. Apa yang dilakukan oleh masyarakat. Tergantung orang melihat. Selalu dipertanyakan apa implementasinya. Tapi tidak tahu situasi masing-masing yang menilai ini berhasil atau tidak. Ini hanya konstruksi pengetahuan, tidak bisa melakukan sesuatu yang cepat, tetapi ada proses di dalamnya.” (a5)