Selasa, 15 Oktober 2024

Mencari Pemikir Pembaru Islam

Baca Juga

kangjackMenyambut Public Lecture ISIF 2010

MENCARI PEMIKIR PEMBARU ISLAM

 

Pada Minggu, 3 Oktober 2010 nanti, Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon akan menyelenggarakan Public Lecture I 2010 di kampus Swasembada, Majasem, Cirebon. Public Lecture kali ini menghadirkan tiga pemikir Islam yang berbeda aliran, yakni Ulil Abshar-Abdalla (tokoh dan pemikir Islam liberal), KH. Husein Muhammad (pemikir  dan feminis Muslim dari kalangan Pesantren), dan Prof. Dr. Shalahudin Kafrawi (akademisi moderat yang menjadi Assistant Professor of Religious Studies di Hobart and William Smith Colleges, USA). Tiga tokoh ini akan mendiskusikan topik yang sama, yakni “dialektika tradisi dan pembaruan dalam pemikiran Islam.” Tulisan ini bermaksud memberikan pengantar diskursus dan agenda pertanyaan atas topik tersebut.

Perginya Sang Pembaru

Sepeninggal pemikir pembaruan Islam Indonesia kawakan Nurcholish Madjid—biasa dipanggil Cak Nur–pada 2005, dalam dua tahun terakhir ini pemikir besar Islam secara beruntun meninggalkan kita. Yakni, Abdurrahman Wahid—alias Gus Dur–wafat pada 30 Desember 2009, Moh. ‘Abid al-Jabri meninggal dunia pada 3 Mei 2010, Nasr Hamid Abu Zayd menghembuskan nafas terakhir pada 5 Juli 2010, dan Mohammed Arkoun menemui Tuhannya pada 14 September 2010 di Paris, Prancis.

Dunia Islam—khususnya umat Islam Indonesia—terus terang saja kehilangan para pembaru itu (al-mujaddidun). Penantian kita terhadap kritik tajam dan tawaran-tawaran pemikiran cerdas mereka berakhir sudah. Mereka telah meninggalkan kita untuk selamanya. Akan tetapi, pemikiran mereka terus menyinari zaman dan menjadi sumber diskursus akademik yang tak pernah habis.

Kilauan pemikiran mereka telah tercatat turut serta menyemarakkan hingar bingar cakrawala pemikiran Islam dan kehangatannya dalam merespon perkembangan zaman yang terus berubah. Dalam setiap uluhati muslim reformis terpahat rapih spirit pembaruan, pembebasan, dan ijtihad mereka dalam menghadirkan Islam di tengah jantung kehidupan masyarakat kontemporer dengan segala tantangan dan pergolakannya.

Kembali Sunyi

Dalam konteks Indonesia, jujur saja, sepeninggal Cak Nur dan Gus Dur—dua begawan pemikir pembaruan Islam asal Jombang—Indonesia sepi dari dinamika pemikiran kritis-transformatif.

Cak Nur dan Gus Dur tidak saja terus melontarkan pikiran-pikiran kritisnya, tetapi juga mereka berupaya mengubah keadaan dengan berbagai kekuatan yang mereka miliki.  Dengan gamblang, Gus Dur tidak saja menjadikan kekuatan sosial-budaya, melalui organisasi Islam terbesar Nahdlatul Ulama, sebagai basis gerakan, tetapi juga kekuatan sosial-politik dia ciptakan dan kekuasaan politik dia raih demi transformasi sosial yang dia imajinasikan.

Gus Dur memang berbeda dengan al-Jabiri, Abu Zayd, Arkoun, Cak Nur, atau Harun Nasution. Gus Dur tidak saja pemikir pembaruan, tetapi juga sekaligus pembaru sosial-budaya-politik itu sendiri. Puncak karir politiknya pernah menjadi Presiden, yang menorehkan dasar-dasar penting bagi reformasi politik  Indonesia.

Selama ini, Cak Nur dan Gus Dur adalah peledak ‘bom’ dan sasaran ‘bom’ kontroversi pemikiran Islam yang menggugahkan kesadaran pembaruan pemahaman ajaran Islam di Indonesia. ‘Bom’ pemikiran mereka kini digantikan dengan bom molotov dan bom rakitan milik para teroris. Bukan dinamika pemikiran yang meledak, melainkan ratusan jiwa manusia berguguran.

Setback Pembaruan Islam

Tanpa mengecilkan makna pembaruan para tokoh Islam neo-modernis tersebut, paska reformasi justru kelompok fundamentalis  dan Islam garis keras kembali beraksi. Banjirnya fatwa “sesat” terhadap kelompok minoritas, menyelesaikan masalah dengan kekerasan berbasis agama, maraknya aksi teror, dan munculnya kembali gagasan “negara Islam” adalah sejumlah indikator setback pemikiran Islam di Indonesia.

Pertanda apakah ini? Bentuk kegagalan gerakan pembaruan neo-modernisme Islam ataukah tidak tuntasnya tawaran pembaruan pemikiran mereka? Melangitnya gagasan pembaruan mereka ataukah akibat tidak adanya kader pembaru yang meneruskan gerakan mereka? Mengapa? Bukankah jumlah sarjana Islam semakin melimpah di negeri ini?

Langkanya kader pembaru

Betul, Indonesia dengan ribuan perguruan tingginya sebetulnya tidak kekurangan sarjana. Setiap tahun, ribuan sarjana Islam bergelar doktor diproduksi, professor ditetapkan, dan penelitian dilakukan. Tetapi pemikiran yang genuine, kritis, dan transformatif jarang ditemukan lahir dari pergulatan akademis mereka. Mengapa?

Kita segera memahami karena pendidikan Islam kita diselenggarakan tidak untuk mencetak sang pemikir dan pembaru, melainkan sarjana yang taat dengan kaidah-kaidah ilmiah dan ajaran-ajaran Islam yang dimapankan. Mereka jago mencari, mengumpulkan, dan mengutak-atik data hingga menjadi karya ilmiah yang bernilai tinggi, bahkan canggih dalam mengutip berbagai pemikiran orang menjadi satu rangkuman yang utuh. Tapi mereka lupa untuk merumuskan dan menawarkan pemikiran mereka sendiri yang berbeda dengan pendahulunya sebagai jawaban atas tantangan zamannya.

Di sinilah dibutuhkan keberanian yang kadang harus keluar dari pakem-pakem keilmiahan yang telah disakralkan sekalipun. Dibutuhkan kecerdasan dan kearifan mendalam untuk berempati dengan realitas yang terus berubah dan terus menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan. Dibutuhkan pemihakan transformatif yang nyata terhadap kelompok sosial yang terpinggirkan, tertindas, dan tidak diuntungkan oleh sistem dan struktur sosial. Inilah intelektual organik, pemikir pembaru, yang diperankan para Nabi dan Rasul pada zamannya.

Spirit dan elan vital pembebasan, pembaruan, dan pemihakan inilah yang hilang dari konstruksi keilmiahan dan kesarjanaan kita. Semua ini diakibatkan dari kuatnya paradigma dan ideologi positivisme dengan berbagai cabangnya dalam ilmu pengetahuan yang kita terima. Positivisme seolah telah menjadi wasit kebenaran yang membentengi para intelektual untuk turut serta melakukan pembebasan, transformasi, dan pemihakan terhadap kelompok sosial tersebut.

Kepada Siapa Kita Berharap?

Benar bahwa pemikir dan pembaru tidak dilahirkan, melainkan dibentuk melalui proses pergulatan sosial-intelektual, sosial-budaya, dan sosial-politik yang tiada henti, dengan berbagai pembelajaran demi pembelajaran dari kearifan sosial.  Tempaan akademik saja tidak cukup. Pergulatan sosial dalam proses pembebasan dan transformasi sosial bersama komunitas basis sangat penting untuk mengasah ideologi keberpihakan sosial-intelektual.

Dengan performances sebagaimana  kita saksikan dewasa ini, bisakah pendidikan tinggi Islam kita membentuk seorang pemikir pembaru yang dibutuhkan zaman ini? Bisakah pesantren—gudang khazanah intelektual klasik—menjadi lokomotif pembaruan pemikiran Islam?

KH. Husein Muhammad, Ulil Abshar-Abdalla, dan Shalahudin Kafrawi—tiga narasumber dalam Public Lecture ISIF nanti—semuanya adalah alumni pesantren tradisional, juga lulusan pendidikan tinggi Islam, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Kiai Husein dikenal dengan kyai-gender, feminis Muslim, dan getol dengan pembelaannya terhadap hak-hak kaum perempuan, baik melalui pemikiran-pemikirannya ataupun gerakannya dalam gerbong Fahmina-institute dan Komnas Perempuan.  Kiai Husein pernah aktif di organisasi Nahdlatul Ulama dan menjadi petinggi partai politik.

Sementara Gus Ulil dikenal dengan liberalisasi pemikirannya, pendiri dan tokoh jaringan Islam liberal. Secara diametral, Islam liberal berpunggungan dengan Islam fundamentalis atau Islam garis keras. Gus Ulil selain menggunakan LSM sebagai basis gerakan, kini menggunakan jalur partai politik untuk melembagakan pemikiran dan gerakannya.

Adapun Kang Shalahudin memilih jalur akademik sebagai kendaran dalam menyampaikan pesan-pesan pemikiran keislamannya. Kang Shalahudin mengajar dan menjadi peneliti di beberapa universitas di Amerika.

Sejarah akan mencatat siapakah di antara tiga pemikir ini yang akan menjadi pemikir pembaru di masa mendatang? Siapakah menjadi penerus Gus Dur atau Cak Nur? Bukan saja mengkotbahkan pembaruan pemikiran Islam dari menara akademik, melainkan dalam waktu yang sama di tengah hingar bingar kapitalisme global melakukan proses pembebasan dan transformasi sosial bersama masyarakat yang tertindas, terpinggirkan, dan tereksploitasi. Selamat datang pemikir pembaru Islam!!![]

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Kampung Sawah: Potret Keberagaman Terbalut Hangat dengan Nilai Persaudaraan

Oleh: Devi Farida Kampung sawah adalah daerah yang didiami oleh masyarakat yang heterogen. Berbanding terbalik dengan kampung pada umumnya, yang...

Populer

Artikel Lainnya