Hari-hari jamaah Ahmadiyyah di Desa Manis Lor, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, untuk ke sekian kalinya menjadi kelabu. Mereka seakan tidak diberi kesempatan merasakan ketenangan dalam waktu yang cukup lama. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun 2010 ini juga mereka kembali diserang, setelah berhasil melakukan perlawanan atas penyegelan masjidnya pada Senin-Rabu (26-28/7). Terutama dari golongan umat Islam yang tidak menginginkan keberadaannya. Penyerangan tersebut dilakukan tepat setelah istighosah (do’a bersama), yang digelar oleh ratusan umat Islam di Masjid al-Huda Manis Lor, pada Kamis (28/7/).
Sebelum penyerangan terjadi, beberapa hari sebelumnya sudah ada rencana penyegelan masjid Ahmadiyyah. Penyegelan tersebut merupakan perintah surat perintah Bupati Kuningan Nomor 45/2/2065/Satpol PP, yang berisi perintah menutup dan menyegel delapan masjid milik jamaah Ahmadiyyah di Desa Manis Lor. Penutupan tersebut didasarkan pada rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 38/MUI-Kab/VI/2010 tertanggal 24 Juni 2010. Atas dasar surat perintah itulah, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kuningan, Indra Purwantoro, mendatangi Desa Manis Lor bersama dengan anggota lainnya untuk menutup masjid pada Senin (26/7) lalu.
Penyegelan itu dilakukan atas pertimbangan ketertiban daerah serta keamanan berdasarkan Surat Keputusan Bersama tiga menteri. Penyegelan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dibantu petugas dari Kepolisian Resor Kuningan (Polres Kuningan) ini sempat mendapat protes dari para jamaah Ahmadiyyah dengan cara menghadang petugas di jalan masuk menuju lokasi. Sejumlah pengurus jamaah Ahmadiyyah meminta penyegelan ditunda karena dinilai mendadak.
Namun, petugas berdalih penyegelan justru untuk menghindari aksi masyarakat sekitar yang dapat menimbulkan konflik. Setelah melalui negosiasi yang alot, akhirnya petugas membatalkan penyegelan dengan alasan menghindari bentrokan. Guna mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, sejumlah aparat Polres Kuningan masih berjaga di sekitar jalan menuju masjid serta rumah-rumah jemaah Ahmadiyyah. Sebelum meninggalkan lokasi, beberapa polisi dari Polres Kuningan dan Linmas Pemda Kuningan sempat melakukan dialog dengan Komisi Keamanan Ahmadiyyah Pusat, Deden Sujana.
Dalam perbincangan yang dilakukan dengan berdiri di tengah-tengah para wartawan, kedua belah pihak melakukan dialog tentang waktu yang tepat melakukan pertemuan antara Pemda dan perwakilan dari Jamaah Ahmadiyyah. Perbincangan tersebut cukup lama, sekitar satu jam-an, karena dari pihak Ahmadiyyah dinilai kurang jelas menentukan waktu. Hasil dialog tersebut, penyegelan akan dilakukan setelah dilakukannya negosiasi.
“Mereka (jamaah Ahmadiyyah) tidak terima jika masjid yang merupakan rumah Tuhan disegel, sebelum dilakukan dialog terlebih dahulu dengan mereka. Masjid itu tempat ibadah, kenapa harus disegel,” ungkap Deden ke sejumlah wartawan usai melakukan dialog dengan Linmas Pemda Kuningan dan Kapolres Pemda Kuningan.
Karena itu, pihaknya pun menuntut dilakukannya dialog terlebih dahulu untuk mengetahui alasan dilakukan penyegelan terhadap mesjid milik mereka. Deden pun mengklaim jika setiap ada desakan dari kelompok lain, merekalah yang selalu disalahkan.
Menurut keterangan Uba Sabalantara, salah satu sesepuh Ahmadiyyah Manis Lor, esoknya pada Selasa (27/7) jamaah Ahmadiyyah membatalkan melakukan pertemuan atas undangan Pemda Kuningan. Karena dikhawatirkan jamaah Ahmadiyyah dijebak, apalagi undangan pertemuan itu yang dibolehkan hadir hanya Ketua Ahmadiyyah Manis Lor saja. Selain itu juga tidak ada keterangan pembahasan dan siapa yang akan hadir, dalam pertemuan tersebut selain dari pihak Pemda Kuningan.
Pada pagi Rabu (28/7), para petugas Satpol PP kembali melaksanakan penyegelan masjid Ahmadiyyah. Namun gagal dan berlangsung ricuh. Ratusan jamaah melawan petugas yang menutup paksa masjid tersebut. Para jamaah yang tidak terima dengan penyegelan itu kembali membuka masjid yang sudah ditutup paksa petugas. Tangis histeris ratusan jemaah tak terbendung. Mereka meluapkan kemarahan dengan melempari batu ke arah petugas. Aparat kepolisian dan Satpol PP akhirnya mundur. Namun, jamaah terus mengejar sambil membawa balok. Saling kejar terjadi hingga ke perbatasan desa.
Istighosah Melawan Ahmadiyyah
Selain rencana penyegelan masjid Ahmadiyyah oleh Pemda, rencana menyingkirkan jamaah Ahmadiyyah juga terus dilakukan umat Islam. Salah satu cara yang dilakukan oleh golongan umat Islam, terutama yang tidak menginginkan keberadaan Ahmadiyyah adalah dengan menggelar acara istighosah (do’a bersama). Ratusan jamaah yang mengaku dari semua golongan umat Islam berkumpul di depan Masjid al-Huda Manis Lor, pada Kamis (29/7) kemarin.
Berdasarkan pemantauan Fahmina-institute Cirebon, istighosah tersebut diisi dengan sambutan dari beberapa ulama Kuningan yang dilakukan di serambi masjid. Para jamaah yang terdiri dari masyarakat Islam dari beragam atribut seperti Majelis Mujahidin, Gerakan Masyarakat Anti Maksiat (GAMAS) Kabupaten Kuningan, Gerakan Anti Narkotika (Granat), para kyai dan santri putera dari beberapa Ponpes di Kabupaten Kuningan, Front Pembela Islam (FPI), Pagar Nusa Wonosobo, dan beberapa golongan masyarakat lainnya.
Para jamaah tersebut berdiri di depan masjid sambil mendengarkan sambutan dari para ulama Kuningan, namun sambutan tersebut lebih mirip orasi yang berisi kecaman keras terhadap keberadaan Ahmadiyyah. Para jamaah juga secara teratur membentuk diri sebagai pasukan jihad, sementara puluhan pasukan GAMAS yang mengatur dan mengamankan barisan, telah siap siaga dengan senjata semacam pemukul terbuat dari kayu yang keras.
Dalam istighosah tersebut, di akhir acara hadir Bupati Kuningan, Aang Hamid Suganda, yang berusaha meredam gelora semangat pasukan jihad yang berniat menyerbu jamaah Ahmadiyyah. Bupati mengungkapkan, sampai saat ini pihaknya tengah berusaha agar pemerintah pusat mengeluarkan surat keputusan terkait keberadaan Ahmadiyyah. Bupati juga mengaku telah mengintruksikan agar semua tempat ibadah jamaah Ahmadiyyah disegel. “Tujuannya untuk melindungi mereka,” paparnya. Menurutnya, persoalan Ahmadiyyah bukan hanya urusan Kuningan saja, tetapi juga seluruh umat Islam yang ada di Indonesia. Sehingga Pemda Kuningan tidak bisa bertindak sendiri tanpa ada perintah dari pusat.
Beberapa menit usai rampungnya istighosah, ternyata ratusan golongan yang menamakan diri Pasukan Jihad memaksa menyerbu jamaah Ahmadiyyah yang berjarak sekitar 500 meter dari masjid al-Huda. Dalam penyerbuan tersebut juga terjadi pelemparan batu dengan ukuran cukup besar dengan bantuan ketapel, batu bata, dan gas air mata dari pasukan jihad yang diarahkan pada Jamaah Ahmadiyyah. Upaya Pasukan Jihad menjebol garis batas menuju lokasi jamaah Ahmadiyyah membuat aparat kepolisian kewalahan. Alhasil mereka berhasil menjebol garis batas tersebut.
Sejumlah Pasukan Jihad mendapat luka di kepala dan kaki akibat lemparan batu dari belakang dan serangan balik dari jamaah Ahmadiyyah. Beberapa aparat kepolisian juga ada yang cedera, sementara beberapa bagian dari rumah warga ada yang rusak. Upaya melakukan penyerbuan pertama sekitar pukul 10.30 WIB berhasil diredam aparat sekitar pukul 12.30 WIB, namun berlangsung lagi pada pukul 13.11 WIB dan pukul 17.30 WIB.
Pemerintah dan MUI Harus Bijak dan Tegas
Praktik penindasan dan kekerasan yang sering menimpa jamaah Ahmadiyyah, juga mendapat banyak kecamatan dari sejumlah LSM yang konsisten memperjuangkan Hak Asasi Manusia (HAM). Beberapa di antaranya, Fahmina-institute Cirebon dan the Wahid Institute Jakarta. Sebagai salah satu LSM yang selama ini membela kepentingan kaum minoritas. Fahmina-institute Cirebon mengecam keras tindak anarkhis karena berbeda keyakinan. Menurut Marzuki Wahid, Direktur Fahmina-institute Cirebon, kasus Ahmadiyyah Manis Lor dalam beberapa hari ini adalah bentuk kegagalan negara dalam melindungi warga negaranya. Warga Ahmadiyyah adalah warga negara Indonesia juga yang memiliki hak yang sama dengan warga negara lain, termasuk mereka yang menyerangnya. Dalam kasus ini dan kasus-kasus lain sejenis, negara telah gagal mengemban amanat konstitusi untuk melindungi warga negaranya.
“Yang lucu lagi, penyegelan ini dilakukan oleh aparat pemerintah, yakni Bupati Kuningan. Aneh pemerintah ini! Alih-alih melindungi dan memenuhi hak-hak warga negara, malah pemerintah sendiri menjadi aktor kekerasan dan pelanggar konstitusi,” ungkap Kang Marzuki Wahid.
“Saya bukan Ahmadi,” lanjutnya, “bukan pengikut Ahmadiyyah, dan tidak sejalan dengan teologi orang Ahmadiyyah. Saya orang NU dan pesantren. Tetapi saya menghargai hak orang Ahmadiyyah untuk memilih keyakinannya. Keyakinan mereka dan semua keyakinan kita akan dipertanggungjawabkan ke hadapan Allah SWT. Sebagai sesama manusia, sesama makhluk Allah SWT, dan sebagai warga negara seharusnya kita saling menghargai, menghormati, dan hidup berdampingi, termasuk dengan orang yang berbeda keyakinan, agama, etnik, gender, bahkan pilihan ideologi sekalipun,” imbuh Kang Zekky—panggilan akrab Marzuki Wahid.
Sementara respon dari the Wahid Institute (WI) Jakarta, Alissa Wahid, salah seorang puteri almaghfurlah KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur), yang perlu dihadapi dalam kondisi genting ini adalah bagaimana menghentikan kekerasan dan kesewenang-wenangan. Terutama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Tuhan. Dalam hal ini, peran dan itikad baik Pemerintah Pusat menjadi kunci, karena hanya merekalah yang memiliki kekuatan hukum dan kekuatan komando untuk menghentikannya. Selama Pemerintah Pusat tidak bersikap tegas, maka Pemerintah setempat juga akan bersikap ragu, sehingga kelompok-kelompok militan ini akan terus memanfaatkannya sebagai ‘restu’ atas aksi kekerasan yang mereka lakukan.
“Di sini, peran kelompok-kelompok masyarakat yang cinta Indonesia adalah menyuarakan kesewangan ini dan menuntut Pemerintah untuk menjalankan perannya dengan baik,” papar Alissa.
Fahmina juga menyeru kepada aparat kepolisian agar bertindak tegas dan jantan untuk menangkap semua pihak yang membuat keonaran, kekerasan, dan melanggar hak-hak orang lain. “Mestinya sangat jelas siapa mereka itu. Mereka membawa bendera di lapangan. Mereka juga secara terang-terangan melakukan kekerasan ini dengan berbagai senjata yang mereka miliki. Aneh jika polisi tidak berani menangkap mereka,” tandas Kang Zekky.
Ketidaktegasan juga salah satu sebab mengapa kekerasan sejenis selalu muncul, di antara jawabannya adalah oleh karena aparat keamanan tidak tegas dan jantan menegakkan hukum bagi kelompok-kelompok ini. Fahmina menghimbau agar Presiden SBY tegas menghukum para pelaku kekerasan dan pelanggar HAM, pelanggar Konstitusi. SBY sebagai Kepala Pemerintahan semestinya menegur keras Bupati yang melanggar konstitusi ini. Juga mengerahkan kekuasaannya untuk menghentikan lingkar kekerasan atas nama agama yang terus berulang.
“Kami juga Muslim, tapi anti kekerasan, anti melakukan keonaran, dan anti mengganggu hak-hak orang lain. Islam menolak segala bentuk kekerasan dan main hakim sendiri. Saya ragu dengan keislaman orang yang mengutamakan kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah. Aneh kan: masak masjid (rumah Allah) disegel oleh Pemerintah dan oleh orang Islam sendiri. Indonesia harus tegas dengan Kebhinatunggal-ika nya. Jangan mau dibajak oleh kelompok keras ini.”
Paska-penolakan Judicial Review UU PNPS
Alissa menambahkan, penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyyah ini sebenarnya bukan isu baru. Sudah terjadi hampir di berbagai tempat di Indonesia. Namun babak baru perlakuan sewenang-wenang dari beberapa kelompok yang mengatasnamakan umat Islam keseluruhan, ini dimulai saat wafatnya Gus Dur yang sebelumnya paling gencar melindungi kelompok Ahmadiyah secara terbuka. Momentum itu semakin membesar dengan ditolaknya Judicial Review terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 (1/PNPS/1965), Undang-Undang Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama (UU PNPS).
“Penolakan ini yang akhirnya dijadikan sebagai landasan untuk menindas kelompok-kelompok yang tidak ‘direstui’ oleh Pemerintah dan otoritas formal seperti MUI. Sebelum Pemerintah dan dalam hal ini MUI mengambil sikap yang lebih adil dan setara serta tegas terhadap kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok kriminal itu, maka kekerasan ini tidak akan berhenti, juga tidak akan terbatas kepada Jamaah Ahmadiyyah saja. Kita juga mencatat beberapa waktu yang lalu terjadi kekerasan kepada para penganut Baha’i di Lampung, misalnya,” jelas Alissa.
the Wahid Institute selama ini terus melakukan penelitian, kompilasi, pendampingan, dan advokasi terhadap praktik-praktik penindasan dan kekerasan. Terutama yang dilakukan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap sesat di seluruh Indonesia. Bekerjasama dengan berbagai lembaga, the Wahid Institute terus bergerak untuk membuat isu ini masuk ke dalam wacana publik arus utama. Begitu juga dengan pembekalan, pelatihan, workshop untuk mendorong berkembangnya gerakan masyarakat untuk Islam Indonesia yang lebih damai dan menjadi rahmat semesta.
“The Wahid Institute menyadari, pendidikan dan penyiapan masyarakat adalah kunci untuk mencetak generasi masyarakat islam Indonesia baru yang lebih matang dan tidak mudah dikooptasi oleh kekuatan-kekuatan politik/ideologis manapun.”(a5)