Oleh: Aspiyah Kasdini. R. A (Kader Ulama Perempuan Jawa Barat)
Pada hari keempat pelaksanaan Dawrah Kader Ulama Perempuan, tema yang dikaji adalah tentang Instrumen Hukum Nasional dan Internasional yang disampaikan oleh Nyai Dr. Sri Wiyanti Eddyono, ia adalah seorang aktivis perempuan, peneliti, pengacara feminis dan juga akademisi pada bidang ilmu Hukum di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pada hari keempat ini, pembukaan acara dilaksanakan oleh kelompok 3: Nyai Syafa, Nyai Saida N, Nyai Hana N, Nyai Siti Maryati, Nyai Silbia Rokha, dan Nyai Kurnia.
Nyai Sri menyampaikan hal mendasar yang acap luput dari pemahaman khalayak umum, yakni tentang hak perempuan. Apa itu hak perempuan? Hak perempuan adalah hak yang setara yang dimiliki oleh manusia; dan juga hak yang dilindungi secara khusus sebagai perempuan. Pengaturan hak perempuan dapat ditemui pada Instrumen HAM Internasional (Hukum Internasional yang mengikat) dan Intrumen Hukum Nasional.
Pengetahuan akan hal ini menjadi penting karena: kerangka HAM berlaku universal; kerangka hukum Internasional yang berlaku dan mengikat Negara (ketika sudah diadopsi sebagai hukum di tingkat nasional); keterhubungan yang sangat kuat Hukum HAM (Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Ketatanegaraan, Hukum Agraria, dan sebagainya). Semua hukum ini mengikat Negara sebagai penyelenggara Negara dalam proses penegakan hukum.
Hukum ini diperuntukkan untuk seluruh manusia, iya, seluruh manusia. Manusia adalah makhluk hidup yang telah lahir dengan gender serta seks tertentu. Tentunya mereka memiliki usia, warna kulit, ras, latar belakang, posisi, dan juga wilayah tempat tinggal yang berbeda-beda.
Perempuan pada hakikatnya adalah manusia, namun hak-hak mereka sebagai manusia kerap diabaikan. Oleh karena itu, kita memerlukan sistem hukum untuk menjaga hak-hak kita semua sebagai sesama manusia yang merdeka, yakni sistem hukum Internasional dan Hukum Nasional.
Semua ini berasaskan pada Hukum Hak Asasi Manusia, yakni hukum yang mengatur tentang HAM dan mekanisme penegakannya. Hukum HAM berlaku secara universal (DUHAM) dan juga mengikat Negara yang telah meratifikasi. Jika suddah diratifikasi, maka hukum HAM Internasional berubah menjadi Hukum Nasional.
Dalam konteks Indonesia, terdapat peraturan perundang-undangan yang terdiri dari: UUD 1945, Undang-undag/Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Addapun dalam Deklarasi Hukum Ham (DUHAM), terdapat dua konvensi utama: Konvensi Hak Sipil dan Politik (Opsinonal Protokol), Konvensi Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Dua konvensi ini berfungsi untuk melindungi dalam kondisi/konteks khusus dan juga mengatur spesifik kategori subjek tertentu. Sehingga, dalam pelaksanaannya pun tentu terdapat instrumen yang mekindungi hak-hak dalam konteks spesifik tersebut, yakni: Konvensi Pecegahan dan Penghukuman terhadap Genosida (CPPCG, 9 Desember 1948); Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rassial (CERD, 21 Desember 1965); Konvensi Anti Penyiksaan dan Penghukuman yang tidak manusiawi (CAT, 10 Desember 1984); dan Konvensi Perlindungan terhadap Penghilangan Paksa (20 Desember 2006).
Dalam catatan sejarahnya juga, perjuangan hak perempuan ini melahirkan Konvensi Perempuan yang dikenal dengan CEDAW. CEDAW merupakan Piagam Internasional tentang hak bagi perempuan; kerangka kerja bagi partisipasi perempuan dalam proses pembangunan; memberikan definisi tentang arti kata diskriminasi terhadap perempuan; menghapus pemisahan publik dan domestic serta menegaskan bahwa lingkup domestik adalah lingkup HAM juga; menentukan kebijakan khusus untuk mengatasi kesenjangan perempuan dan laki-laki; mengenal adanya peran budaya dan streotip/pelabelan seks; mengenal bahwa penindasan perempuan merupakan bentukan sosial.
Mekanisme HAM Nasional mencakup ranah legislatif (nasional dan lokal/Lembaga Negara Independen), eksekutif (nasional dan lokal) dan yudikatif (Pengadilan HAM dan Pengadilan Umum). Pelanggaran HAM ialah tindakan yang melanggar norma-norma HAM yang sudah diatur dalam instrumen hukum internasional, baik itu pelanggaran yang dilakukan oleh Negara, maupuan dilakukan oleh individu.
Negara mempunyai kewajiban untuk membangun kondisi yang kondusif untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dengan cara: meletakkan landasan hak perempuan dalam konstitusi; mengubah hukum dan kebijakan yang diskriminatif; membuat UU dan kebijakan yang melindungi perempuan; menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan atas dasar yang sama dengan kaum laki-laki; tidak melakukan tindakan yang diskriminatif; dan lain-lain.
Kendati sistem hukumnya telah tercipta, namun kekerasan dan ketidak-adilan terhadap perempuan masih saja terjadi, hal ini bukan karena sistem hukumnya, melainkan karena para penegak hukum dan juga pihak-pihak terkait, termasuk masyarakat, yang belum terlalu peka dan faham terhadap sistem hukum dan konteksnya di lapangan, khususnya kepada para korban.
Oleh karena itu, berdasarkan pengalamannya, Nyai Sri saat menjadi pengacara juga tidak sekedar mendampingi klien, tetapi juga memberika edukasi terhadap hakim dan juga jaksa atas undang-undang yang terkait dengan kasus yang sedang ditangani. Dari sini dapat ditegaskan, sebagai perempuan haruslah memiliki pengetahuan yang mumpuni, agar kita sama-sama dapat melindungi hak kita sendiri, maupun hak perempuan lainnya yang perlu diperjuangkan.
Ringkasnya, sebagaimana laki-laki, perempuan juga merupakan manusia yang merupakan mahkluk hidup yang merdeka dan utuh. Manusia yang sama-sama memiliki hak. Dan untuk menjaga hak sesama manusia ini maka di sinilah letak sistem hukum agama dan hukum buatan manusia, agar semua manusia apapun jenis kelaminnya dapat saling membahagiakan dan tidak saling menzalimi antara satu kelompok dan lainnya. Karena setiap orang setara, bermartabat, dan berhak meperoleh kebaikan atas apa yang mereka perbuat (Yai Faqih). []