DKUP dan Upaya Lebih Responsif Terhadap Perempuan dan Keadilan Gender

0
365
DKUP dan Upaya Lebih Responsif Terhadap Perempuan dan Keadilan Gender

Oleh: Royani Afriyani (Kader Ulama Perempuan Jawa Barat)

Pada hari ke-2 kami peserta DKUP mendapatkan materi tentang Konsep Gender, Sex dan Seksualita, Bentuk-bentuk Ketidakadilan Gender, Pelembagaan dan Pembakuan Gender, Sensifitas Gender, Gerakan Feminisme, serta Gerakan Gender sebagai Perspektif. Ibu Nyai Masruchah, yang juga terlibat di Majelis Permusyawaratan Rakyat serta Pengawas Institut Hak Asasi Manusia, aktif juga di Indonesia Feminis, dan Komisioner di Komnas Perempuan bertindak sebagai narasumber utama pada pertemuan kedua ini.

Mengawali pertemuan terlebih dahulu oleh Mba Alif selaku fasilitator meminta para kelompok peserta yang sudah ditugaskan untuk membacakan tawassul, dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-qur’an beserta tilawahnya, kemudian membaca review dari materi sebelumnya, dan pre-riview untuk materi hari ini. Dalam hal ini setiap peserta bergantian mendapatkan tugas di setiap pertemuan, baru kemudian dilanjutkan pada penerimaan materi yang akan disampaikan oleh narasumber.

Sebagai stimulus awal Ibu Nyai Masruchah selaku narasumber melemparkan pertanyaan kepada peserta DKUP seperti kapan mengenal awal istilah gender, siapa tokoh yang mengenalkan istilah gender pertama kali di Indonesia. Tidak hanya itu Beliau juga meminta peserta yang bersedia untuk menceritakan pengalaman masing-masing awal mula mendengar dan mengenal kesetaraan gender. Banyak dari peserta yang mengenal istilah kesetaraan gender ketika masa kuliah di perguruan tinggi, organisasi kampus, buku-buku, dan kegiatan-kegiatan komunitas berbasis feminis. Ibu Masruchah juga menanyakan persepsi peserta terkait makna gender itu sendiri, yang di jawab oleh peserta secara variatif namun memiliki esensi makna yang sama bahwa gender adalah perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk secara sosial maupun budaya. Berbeda dengan makna sex, di mana pembeda laki-laki dan perempuan dilihat dari unsur kelamin biologisnya.

Ibu Nyai Masruchah menyampaikan bahwa bila di lihat pada sejarah dunia, di tahun 60an telah ditemukan fakta-fakta diskriminasi antara perempuan di berbagai hal di Negara-negara berkembang saat itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ann Oakley seorang peneliti dari Amerika, di mana dia menemukan ketidak pedulian agama dan Negara terhadap fakta tersebut.

Di Indonesia sendiri pada masa orde lama, setelah Kongres Perempuan Kelima melahirkan pengakuan Negara terhadap hak pilih perempuan untuk menyuarakan suaranya dalam PEMILU serta dapat terlibat di dewan Legislatif di mulai pada tahun 1955, yang sebelumnya perempuan tidak memiliki hak dan kesempatan itu. Pada tahun yang sama juga telah terbentuk sebuah pergerakan perempuan Indonesia yang di kenal dengan singkatan KOANI.

Semakin berkembang hingga zaman orde baru, mulai ada Menteri Urusan Peranan Wanita. Dalam istilah nya memberikan makna perempuan adalah objek yang diurus. Ibu Mien Sughandi yang menjabat sebagai Menteri saat itu. Di masa ini pula terlahirnya program keperempuanan seperti PKK. Di mana didalam organisasi ini para perempuan dididik untuk piawai dan berketerampilan. Namun di masa orde baru ini masih berada di kelas 2 di berbagai ranah dan pengambilan kebijakan.

Pada era reformasi terdapat Deklarasi Wina di tahun 1993, dimana deklarasi ini dengan tegas menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan termasuk kejahatan kemanusiaan. Dilanjutkan pada Konferensi Internasional pada tahun 1994 di Kairo tentang Pembangunan dan Kependudukan. Elemen ormas keagamaan seluruhnya hadir, dalam forum ini mendiskusikan  terkait isu-isu kekerasan seksual, ketidakadilan terhadap perempuan, dikriminasi, dan kesehatan reproduksi.

LKKNUsebagai salah satu ormas-ormas tersebut saat kembali ke Indonesia, mulai mensosialisasikan tentang keluarga maslahah, salah satunya adalah keluarga berencana. Salah satu wacana yang dibincangkan di Kairo, yaitu terkait keluarga berencana yang dikaji tuntas, menghasilkan kesepakatan persepsi merencanakan keluarga dalam ranah keluarga di dalamnya hanya melibatkan pasangan, dan Negara tidak boleh mengintervensi. Dapat dilihat dari sini, bahwa pendekatan keadilan gender sudah menjadi pendekatan utama dalam isu-isu feminis dan gender yang digunakan dalam berbagai forum kesetaraan gender.

Pada tahun 1997 di Munas Alim Ulama PBNU yang diadakan di Lombok, NTB, pembahasan Makanah al-mar’ah li al-Islam menjadi poin penting untuk didiskusikan. Meskipun tidak semua para tokoh agama yang dapat menerima hal ini, masih ada Kyai-kyai yang secara terbuka menolak pendapat terkait pembahasan tersebut. Diakhir 1998. Kyai Masdar sebagai founder P3M, mulai menyuarakan tentang isu gender di Fatayat dan IPPNU. Terutama tentang posisi perempuan dalam organisasi dan agama, agama Islam khususnya.

Meskipun tidak semua menerima, bagi Ibu Nyai Masruchah tidak menjadi hambatan bagi Beliau dan rekan-rekan aktivis saat itu untuk tetap menyuarakan tentang kesetaraan gender dan hak keadilan bagi perempuan. Salah satu prinsip Ibu Nayi Masruchah adalah keyakinan Beliau bahwa kemasan tidaklah penting, yang penting substansinya, karena itu perlu strategi yang tepat, salah satu nya dengan cara dengan tidak menggunakan istilah gender secara konkret, lebih kepada menggunakan istilah-istilah yang dapat diterima oleh mereka.

Pada era Pak Habibi, Komnas Perempuan hadir di latar belakangi sebuah kejadian memilukan di tahun 1998 “Pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa”. Serta penguatan pembenaran dari istri Beliau, Ibu Ainun yang merupakan dokter dan pernah terlibat dengan dunia kerja di Rumah Sakit, mengungkapkan fakta-fakta realitas bahwa kekerasan riskan terjadi khususnya terhadap perempuan, hingga menjadi sebab Bapak Habibie menyetujui terbentuknya komisi nasional perempuan.          Di tahun 1999, pada saat Muktamar NU di Lirboyo, Makanatul Mar’ah fil Islam dideklarasikan.

Ibu Nyai Masruchah menyampaikan bahwa Kontruksi gender dari waktu ke waktu mengalami perubahan pada kebijakan pemerintah;

  1. Tahun 1970an pada Repelita II ( 1974-1979) bahwa perempuan sebagai ibu Rumah tangga, laki-laki sebagai pencari nafkah, kepala keluarga. Konsep ini dikenal dengan Women In Development (WID) tercantum dalam GBHN.
  2. Pada Repelita IV, tahun 1980an bahwa peran ideal perempuan adalah berperan ganda. Konsep ini dikenal dengan Women and Development (WAD) yang dikembangkan oleh Negara.
  3. Tahun 1990-1998 dikenal dengan konsep Gender and Developmen (GAD)
  4. Tahun 1999- dengan Kebijakan Pengarus Utamaan Gender (PUG) dengan INPRES no.9 tahun 2000.
  5. Tahun 2000-2015 dengan kebijakan MDGs
  6. Tahun 2016-2030 kebijakan SDGs.

Memahami apa itu Feminisme

Feminisme dipahami sebagai gerakan perempuan yang memperjuangkan hak antara laki-laki dan perempuan serta menghapus diskriminasi. Terdapat beberapa aliran feminisme diantaranya adalah;

  1. Feminisme Liberal, yaitu berpandangan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan secara sama, seimbang, setara, jangan ada penindasan.
  2. Feminisme Marxis Komunis, yaitu berpandangan bahwa ketertinggalan perempuan karena faham kapitalisme, laki-laki dominan dan perempuan terugikan.
  3. Feminisme Sosialis, yaitu berpandangan bahwa kapitalisme bukan pokok masalah, akan tetapi bagaimana menghapus sistem kepemilikan dalam suatu tatanan.

Dari macam-macam aliran tersebut dapat di lihat kesamaan perjuangan tiap aliran-aliran feminis memiliki tujuan-tujuan yang menyeluruh terhadap keadilan hak-hak perempuan di dalam kehidupan kemanusiaannya. Dari inilah kemudian berkembang istilah berspektif gender, kesetaraan gender, dan keadilan gender.

Berspektif Gender yaitu peka terhadap kesetaraan, tidak membuka peluang terhadap praktir sub-ordinasi, diskriminasi, dan kekekerasan terhadap perempuan dan juga laki-laki. Fokusnya adalah adanya akses yang sama terhadap perempuan dan laki-laki dalam bidang kehidupan. Misalnya bidang politik, ekonomi, social, hokum, dsb.

Permasalahan yang berkaitan dengan gender dan perempuan yang sering terjadi di social masyarakat saat ini yang perlu diperhatikan adalah;

Stereotip terhadap perempuan. Dimana perempuan seringkali menjadi pihak yang disalahkan meskipun dia berstatus sebagai korban. Contoh; bila terjadi pelecehan/perkosaan yang sering disoroti dan disalahkan adalah perempuan. Dari perempuan berpakaian, berprilaku, dsb.

Sub-ordinasi. Di mana perempuan menjadi nomor dua dalam jabatan diranah publik misalnya.

Stigma, yaitu pandangan public bahwa perempuan harus berada di rumah mengurus pekerjaan domestik.

Marginalisasi, perempuan bekerja hanya sebagai tambahan sehingga mempersempit ruang perempuan untuk berkembang dan meningkatkan potensinya dalam ranah publik, dan memperoleh gaji yang tidak sama dengan laki-laki.

Beban Ganda, perempuan yang bekerja tetap juga diharuskan bertanggung jawab terhadap urusan domestik rumah tangga.

Ibu Nyai Masruchah mengungkapkan juga bahwa sudah ada sebenarnya kebijakan tentang Gender dan Larangan Diskriminasi. UU nomor 7 tahun 1984 tentang pengesahan ratifikasi konvesi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita. Kemudia UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Inpres nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarus Utamaan Gender. Ada juga Paket UU Politik terkait tindakan khusus sementara ”kuota 30%” keterwakilan perempuan. Serta Perpres nomor 59 tahun 2017 tentang pelaksanaan tujuan Pembangunan Berkelanjutan “SDGs” utamanya goal 5.

Dari penjelasan dan pemaparan Ibu Nyai Masruchah, sebenarnya persoalaan gender dan kesetaraan, keadilan gender menjadi hal penting untuk diperhatikan dan diimplementasikan dalam kehidupan sosial. Perlunya peran perempuan dalam kepemimpinan dapat mewarnai kebijakan-kebijakan yang lebih memahami pengalaman perempuan dan keadilan gender di berbagai sector bidang. Karena gender akan berkembang seiring situasi politik dan sosial, sehingga elemen-elemen yang berkompeten di ranah kebijakan, selayaknya turut andil dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.

Sebab bila ditilik dan dipahami secara mendalam sebenarnya tidak ada pertentangan antara kesetaraan gender dengan perjuangan feminisme. Terutama bagi para kader ulama perempuan perlu memiliki pengetahuan yang kokoh tentang gender dan berspektif gender agar dapat memberikan perubahan baru terhadap pemahaman dalam memaknai teks-teks agama di kehidupan masyarakat. Guna merevolusi pola pikir dan prilaku manusia terhadap implementasi nilai-nilai agama seutuhnya yaitu kedamaian dan kasih sayang, memberikan kehidupan yang aman dan harmonis, dimana peran perempuan dan laki-laki saling berkolaborasi untuk kehidupan yang memanusiakan manusia seutuhnya untuk kehidupan, hingga agama/Islam khususnya menjadi rahmat bagi semesta alam. []