“Kesabaran ada batasnya.” Setidaknya demikian yang ingin diungkapkan jamaah majelis Hidup Dibalik Hidup (HDH), setelah sekian lama bertahan dari perlakuan diskriminatif serta sejumlah penyerangan massa di Desa Sigong, Kecamatan Sindang Laut, Kabupaten Cirebon. Bagaimana tidak, tepat setelah MUI mengeluarkan fatwa tentang sesatnya aliran HDH pada tahun 2007, masyarakat sekitar terus memperlakukan HDH secara tidak adil, bahkan menyerangnya.
Situasi tidak adil ini diperkuat dengan pemberitaan media massa yang cenderung bias. Ruang gerak HDH sebagai warga negara Indonesia pun kian dibatasi. Perlakuan diskriminatif tidak hanya menimpa jamaah majelis HDH sendiri, tetapi juga menimpa anggota keluarga mereka, seperti isteri dan anak-anak. Perlakuan diskriminatif tersebut menimpa majelis HDH secara terus menerus. Munculnya penyerangan, kekerasan, dan maraknya pemberitaan negatif di media massa disinyalir disebabkan oleh fatwa MUI yang menyesatkan HDH. Jadi, fatwa MUI adalah pemicu atas semua kekerasan dan tindakan diskriminasi terhadap HDH.
Merasa tidak mendapat keadilan dan perlindungan dari perangkat desa, pemerintah, serta aparat kepolisian setempat, HDH kemudian mengadukan kasusnya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Tepatnya pada Selasa (11/04), sejumlah jamaah majelis HDH dengan didampingi LSM Fahmina-institute Cirebon bertandang ke Jakarta bertemu dengan sejumlah Komisioner HAM yang berkantor di Jalan Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat.
Di Ruang Pengaduan Komnas HAM, jamaah HDH disambut Ahmad Baso dari Sub Komisi Pengkajian dan Penelitian beserta Johny Nelson Simanjuntak dari Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan, Komnas HAM. Dalam tuntutannya, HDH mengajukan tiga tuntutan yang diajukan kepada Komnas HAM. Pertama, keberatan HDH dengan fatwa MUI yang menyesatkan HDH. Kedua, perlakuan diskriminatif dan kekerasan yang dilakukan masyarakat dan aparat Desa Sidong. Ketiga, kemungkinan adanya intervensi dari aparat kepolisian setempat, Camat, KUA, MUI, dan Danramil yang terkesan membiarakan tindak pelanggaran HAM dan tidak melakukan upaya perlindungan terhadap HDH sebagai korban penyerangan massa.
Komnas HAM Mulai Kaji Kasus HDH
Pertemuan HDH dengan Komnas HAM diawali dengan perkenalan jamaah HDH, serta sekaligus menceritakan kronologi peristiwa penyerangan yang menimpa jamaah majelis HDH. Berdasarkan pemaparan Mudjoni, Rochasan, serta Hadi Supangat, Ahmad Baso beserta rekannya mulai menggali data untuk mengetahui duduk persoalannya.
“Selama ini, kami merasa kesulitan harus meminta perlindungan ke mana, apalagi aparat desa juga malah menyerang kami. Bahkan untuk melaporkan ke pihak kepolisian pun keadaannya tidak mendukung. Jadi kami kesulitan, harus mengadu ke mana dan minta perlindungan ke mana lagi?” ujar Hadi Supangat ketika Ahmad Baso menanyakan tentang upaya perlindungan yang pernah ditempuh majelis HDH.
Sementara Marzuki Wahid, Direktur Fahmina-institute yang turut mendampingi HDH menambahkan, diduga ada indikasi pelanggaran HAM dalam kasus yang menimpa kelompok pengajian HDH. Sehingga salah satu upayanya adalah meminta perlindungan dari Komnas HAM dan agar Komnas HAM pro-aktif menyelesaikannya. Karena kejadian penyerangan dan perlakuan tidak adil yang menimpa HDH sudah terjadi selama bertahun-tahun dan berulang kali. Marzuki Wahid juga melihat bahwa politik lokal setempat tidak kondusif untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM ini, bahkan aparat pemerintah dan aparat keamanan diindikasikan terlibat dalam kekerasan atau diskriminasi atau penyerangan tersebut.
“Diskusi kami untuk menemukan penyelesaian itu tampak sulit sekali. Ini analisis kita. Karena aparat desa di sana mengintervensi kasus ini. HDH selalu dipantau oleh pihak desa. Pengajian di rumah tidak diperbolehkan aparat desa. Pihak kecamatan dan aparat keamanan setempat seakan tidak ada kemauan politik upaya memberikan perlindungan. Buktinya, sekarang sudah terjadi penyerangan yang ketiga kalinya, bahkan bukan hanya rumah, tetapi juga kendaraan milik jamaah HDH seperti motor dan mobil telah dirusak massa,” papar Marzuki Wahid.
Usai mendengarkan sekaligus menggali data dari pemaparan HDH, Ahmad Baso dan Johny menyatakan akan segera melakukan kajian mendalam terkait kasus penyerangan dan perlakuan diskriminatif yang menimpa jamaah majelis HDH. Namun ada beberapa proses yang harus dilakukan Komnas HAM. Beberapa di antaranya, Komnas HAM akan melakukan konsultasi dengan para ahli terkait sebutan “penyesatan”, kemudian juga berdasarkan dalil-dalil dari hadits maupun ayat al-Qur’an, serta bagaimana Departemen Agama (Depag) menanggapi persoalan HDH.
Menurut Johny, pengetahuan mendalam tersebut nantinya akan dijadikan pegangan Komnas HAM dalam menangani kasus HDH tersebut. Komnas HAM juga meminta Marzuki Wahid sebagai pendamping dari Fahmina-institute, untuk membantu Komnas HAM dalam penggalian data. “Jadi kami perlu mengetahui menggali tentang tiga unsur, baik dari unsur kriminalnya, unsur “sesat”nya, maupun unsur fatwa-nya,” ujar Johny.
Selain memaparkan tentang kronologi peristiwa penyerangan, jamaah majelis HDH juga memberikan sejumlah data tertulis. Baik berupa dokumentasi pemberitaan terkait HDH, juga dokumen surat edaran dan fatwa penyesatan. (a5)