Oleh: Muhammad Imadudin[*]
Suatu hari ada salah seorang tetangga saya yang wafat. Ia dan keluarganya merupakan penganut Kristen yang taat. Kebetulan keluarganya memutuskan untuk menyelenggarakan prosesi pemakaman di rumahnya, bukan membawanya ke sebuah rumah duka. Mulai dari misa penghiburan, hingga ibadah tutup peti dan pelepasan dilakukan di halaman rumahnya yang mungil. Digerakkan oleh nilai gotong-royong dan tenggang rasa, warga di lingkungan bersama-sama menyiapkan tenda, kursi, hingga segala keperluan penyelenggaraan jenazah menurut kepercayaan yang bersangkutan. Terlepas dari agama yang dianut mayoritas warga yang notabene Muslim.
Di penghujung rangkaian ibadah kematian tersebut, sebagian warga mulai berdatangan. Kebanyakan mereka menyaksikan prosesi pemakaman tetangga kami yang tidak seagama tadi. Pribadi saya mencoba masuk dalam sisi spiritualitas ibadah tersebut. Akhirnya saya mulai memahami apa wujud dari konsep passing over yang digagas oleh teman-teman Caknurian lebih awal.
Spiritualitas vs Konsep Liyan
Bayangkan sebuah tarian Sufi dan masuklah ke dalamnya. Rasakan bagaimana nyawa kita melayang dan mengitari raga kita yang juga berputar berkeliling. Tarian Sufi memiliki kesamaan dengan berbagai macam ekspresi keberagamaan. Tiap kelompok agama memiliki ragam ekspresi keberagamaan masing-masing. Di kalangan Ahlul Sunnah atau Islam Sunni, terdapat beraneka ragam ekspresi keberagamaan. Di wilayah Nusantara, banyak pula ragam ekspresi keberagamaan. Baik sesama Muslim, maupun di antara umat beragama.
Konsep liyan (others) hadir untuk menegaskan identifikasi kelompok, sekaligus membatasi ruang komunal di dalam masyarakat yang lebih luas. Rumah ibadah, bangunan atau ruang pertemuan tertentu, hingga kegiatan seperti shalat Jumat atau misa mingguan adalah bentuk-bentuk ruang komunal. Orang yang tidak ikut ibadah shalat Jumat dapat saja dianggap sebagai liyan, sekalipun hadir di batas ruang yang sama. Terlepas dari mungkin saja dia tetap mengidentifikasi dirinya seorang Muslim. Sama seperti jamaah Jumat lainnya.
Perbedaan ekspresi keberagamaan juga menjadi salah satu alat untuk menentukan mana insider dan mana outsider dalam sebuah kelompok. Jika seseorang menunjukkan ekspresi keberagamaan yang berbeda, maka ia dapat disebut liyan dari kelompok yang dominan di satu ruang dan waktu tertentu. Pertanyaannya kemudian; apakah ekspresi keberagamaan selalu identik dengan ritualitas an sich? Jawabannya jelas tidak. Sebuah ritual dapat dipastikan merupakan juga ekspresi keberagamaan, sebab di sana memang terdapat sisi ekspresi keberagamaan. Namun ekspresi keberagamaan jelas bukan ritual itu sendiri. Ekspresi keberagamaan dapat dipisahkan dari ritual keagamaan yang dilekatkan padanya. Misalnya ekspresi keberagamaan menjelang datangnya waktu shalat atau dalam rangka penyelenggaraan jenazah dan pemakaman.
Sebagian kita kesulitan melihat sisi spiritualitas dari sebuah ritual maupun ekspresi keberagamaan yang dilakukan oleh liyan di hadapan kita. Untuk melakukannya, diperlukan upaya pemahaman dan penghayatan dengan menyingkirkan segala prasangka (strereotype). Individu yang hendak melihat dan merasakan spiritualitas liyan harus terlebih dahulu memahami konsep titik temu dan titik pisah agama-agama. Termasuk bagaimana sebuah kelompok kemudian menyatakan klaim mereka menjadi bagian dari agama tertentu yang sudah eksis terlebih dahulu. Sebuah kelompok menyatakan dirinya bagian dari Islam atau Kekristenan, ataupun menyatakan berada di luar ke dua tradisi keagamaan dengan berbagai pertimbangan yang jelas. Dalam masyarakat Muslim global, kelompok-kelompok seperti Sunni dan Syiah, berbagai gerakan tarekat, hingga organisasi masyarakat sipil membentuk ragam ekspresi keberagamaan yang menjadi ciri khas masing-masing. Mereka mengekspresikan keberislaman mereka bukan hanya melalui ritual-ritual yang diterima secara global, seperti shalat, puasa, dan zakat. Mereka juga mengekspresikan keberislaman lewat lantunan dzikir, shalawat, hingga cara berpakaian, dan apresiasi seni.
Bukan Kulit vs Isi
Perbedaan pendapat fiqih dan kalam biasanya mempengaruhi ekspresi keberagamaan seseorang atau sebuah kelompok. Perbedaan ini tidak hanya memiliki latar belakang sosial dan politik, melainkan juga dipengaruhi oleh suasana mental spiritual yang menyelimuti para pelaku sejarah. Dari sini, saya ingin membuktikan bahwa spiritualitas yang didapat dari mengalami ritualitas dan ekspresi keberagamaan liyan memang nyata adanya. Spiritualitas tersebut juga berhasil menembus dikotomi kulit dan isi dalam kehidupan beragama.
Bukan semata-mata sebuah ritual misa ataupun ibadah shalat, atau meditasi yang mengantarkan kita pada perasaan damai dan tenang. Kedamaian dan ketenangan hati berasal dari pikiran positif yang terlepas dari prasangka-prasangka terhadap liyan. Baik prasangka yang berkaitan dengan ritualitas, simbol keagamaan, maupun ekspresi keberagamaan lain yang ditunjukkan. Jika sudah lepas dari segala prasangka terhadap liyan tadi, maka pengalaman misa ibadah tutup peti seorang yang berbeda agama akan serupa dengan pengalaman memakamkan saudara sesama Muslim. Hal yang sama juga akan dirasakan ketika mengalami prosesi pemakaman sesama Muslim yang dilaksanakan dengan tata cara berbeda dari yang kita pahami. Kita dengan mudah dapat memahami dan ikut mengalami spiritualitas dari apa yang diekspresikan oleh saudara kita. Baik itu ekspresi keberagamaan dari sesama Muslim ataupun dari sesama manusia dan warga negara Indonesia. Tidak perlu kita melepas apa yang menjadi kulit dalam keberagamaan kita. Sebab mengalami spiritualitas yang sama bukan berarti kita mengubah secara total ekspresi keberagamaan dan ritualitas yang sudah biasa bagi kita. Kita hanya perlu merekognisi, mengakomodasi, dan ikut mengalami spiritualitas yang hadir di sekeliling. [] kita.
[*] Dosen Institut Studi Islam Fahmina, Cirebon.