Oleh: Alifatul Arifiati
Minimnya Pengakuan Terhadap Otoritas Pengetahuan Keagamaan Perempuan
Pada tahun 2017 adalah awal mulai gaung kiprah keulamaan perempuan di Indonesia diakui, baik di negeri sendiri maupun di negara lain bahkan dunia. Betapa tidak, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang pertama kalinya diselenggarakan di Indonesia bahkan dunia, dihadiri oleh tidak kurang dari 800 ulama perempuan, dari berbagai pesantren, majelis taklim, akademisi, aktivis, pekerja sosial, pemerintah, komunitas yang memiliki kepedulian dan visi yang sama untuk mewujudkan relasi keadilan laki-laki dan perempuan, Islam yang moderat, dan perdamaian dunia. Jumlah tersebut belum termasuk para pengunjung yang tidak terdaftar di kepanitiaan, dengan tujuan mengikuti salah satu sesi kongres, bertemu dengan kerabat, teman, atau sahabat mereka yang menjadi partisipan kongres, dan tujuan lain.
Keberadaan KUPI kini semakin diakui oleh dunia, terbukti setelah usai perhelatan kongres, undangan presentasi, penelitian, penguatan kapasitas, dokumentasi ulama perempuan secara terus dan berkelanjutan dilakukan, maka tidaklah berlebihan jika akhirnya para penggerak KUPI menyematkan diri menjadi gerakan yang menghimpun individu dan lembaga-lembaga yang memiliki perhatian pada visi KUPI.
Pengakuan terhadap eksistensi ulama perempuan oleh komunitas, pemerintah, negara bahkan dunia bukanlah sesuatu yang terjadi secara ujug-ujug, secara tiba-tiba, tetapi telah dimulai oleh lembaga-lembaga yang memang setia pada keyakinan bahwa Islam bukanlah agama yang meminggirkan perempuan, justru sebaliknya Islam adalah agama yang berjuang menjunjung tinggi martabat perempuan, bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai makhluk Allah, Islam adalah agama yang ramah perempuan. Hanya saja, masih banyak masyarakat muslim yang memiliki pandangan keagamaan yang bias gender, masih banyak ulama yang mendakwahkan Islam secara tekstual, masih banyak tokoh agama yang menyampaikan pandangan keagamaan tidak berdasarkan pengalaman hidup masyarakat, juga masih banyak pengabaian terhadap otoritas pengetahuan dan kemampuan perempuan ulama atau tokoh perempuan dalam hal pandangan keagamaan.
Adalah Fahmina Institute, salah satu lembaga yang menempatkan perhatian yang besar terhadap upaya pengakuan eksistensi ulama perempuan. Semenjak berdiri, tahun 2001, Fahmina selalu dan terus berupaya melibatkan perempuan-perempuan dari pesantren untuk terlibat dalam penguatan kapasitas dan kegiatan lain yang diselenggarakan oleh Fahmina. Seperti, pelatihan, workshop, penerbitan, diskusi, dll. Fahmina juga secara intens dan berkelanjutan melakukan kaderisasi ulama perempuan, pendidikan kritis bagi perempuan, memperkenalkan metodologi tafsir berkeadilan gender kepada para tokoh dan aktivis perempuan, juga kaderisasi ulama perempuan. Semua itu karena Fahmina memiliki visi terwujudnya peradaban manusia yang bermartabat dan berkeadilan berbasis kesadaran kritis tradisi pesantren.
Gerakan dari Cirebon, Upaya Mendorong Kaderisasi Ulama Perempuan
Upaya Fahmina dalam mewujudkan gerakan ulama perempuan bisa dikatakan dimulai dengan Dawrah Kader Ulama Pesantren disingkat DKUP, yang diselenggarakan pada tahun 2004 sampai tahun 2005, DKUP ini melibatkan tokoh muda pesantren laki-laki maupun perempuan, baik pengasuh maupun pengurus untuk bersama-sama berdiskusi dan juga mendapatkan penguatan tentang metodologi dan metode bagaimana mempertemukan antara teks dan realitas, terutama realitas masyarakat Wilayah Cirebon, seperti pekerja migran, kesenjangan pendidikan, minimnya pendidikan kesehatan reproduksi, pedagang kaki lima, dan realitas lainnya. DKUP ini diasuh langsung oleh Faqihuddin Abdul Kodir, Marzuki Wahid, KH. Husein Muhammad, sebagai pendiri Fahmina.
Tahun 2005 hingga 2017, pemikiran kesetaraan dan keadilan gender dengan perspektif Islam yang didakwahkan oleh para tokoh pendiri Fahmina ini semakin dikenal dan diterima oleh masyarakat luas, beberapa tokoh perempuan, tokoh feminis, dan akademisi meminta agar diberikan pengetahuan bagaimana sebenarnya Islam memandang relasi perempuan dan laki-laki, lalu bagaimana metodologi tafsir yang adil gender. Maka, Fahmina menggelar Kursus Islam dan Jender (KIJ). Beberapa tokoh gender Indonesia terkemuka bahkan pernah mengikuti KIJ ini, antara lain Saparinah Sadli, Ninuk Widyantoro, Nana Kamala Chandrakirana, Julia Suryakusuma, Tati Krisnawati, dan ada banyak aktivis perempuan Indonesia yang terlibat menjadi partisipan KIJ, juga para akademisi, dan tentu saja para tokoh pesantren dan majlis taklim. Pelaksanaan KIJ ini tidak hanya diinisiasi oleh Fahmina, tetapi banyak perguruan tinggi dan komunitas yang memulainya, tetapi dengan metode, materi, dan narasumber dari Fahmina.
Tahun 2018-hingga sekarang, tahun 2022, Fahmina secara intens menggelar Dawrah Kader Ulama Perempuan disingkat DKUP, sama seperti tahun 2004, yaitu DKUP, tetapi ada perbedaan di singkatan UP, yaitu antara Ulama Pesantren dan Ulama Perempuan. Karena Fahmina ingin menegaskan bahwa dalam perspektif KUPI bahwa ulama perempuan adalah orang-orang yang berilmu mendalam, baik perempuan maupun laki-laki, yang memiliki rasa takut kepada Allah (berintegritas), berkepribadian mulia (akhlak karimah), menegakkan keadilan, dan memberikan kemaslahatan pada semesta (rahmatan lil ‘alamin). Takut atau takwa kepada Allah Swt tidak hanya untuk urusan laki-laki tetapi juga untuk urusan perempuan. Tidak juga hanya dalam urusan publik, tetapi juga dalam urusan keluarga. Begitupun berakhlak mulia, menegakkan keadilan dan memberikan kemaslahatan, tidak hanya dalam hal-hal yang menyangkut laki-laki, tetapi juga sama persis dalam hal yang berkaitan dengan perempuan. Sehingga tercipta relasi kesalingan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan, dan tanpa kekerasan dalam rangka mewujudkan cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dalam pengamalan dan pengalaman KUPI, istilah ulama perempuan bukan sebutan untuk individu-individu, melainkan gerakan kolektif untuk mewujudkan keilmuan Islam yang bersumber dari al-Qur’an, Hadits, dan seluruh khazanah keislaman dengan meniscayakan rujukan pada realitas kehidupan yang dialami perempuan. Gerakan ini terdiri dari individu-individu dan lembaga-lembaga yang memiliki visi dan misi keadilan relasi laki-laki dan perempuan. Dalam gerakan KUPI ini, ada individu yang memiliki latar-belakang kajian keislaman yang kuat dan atau kajian ilmu-ilmu sosial yang relevan, juga ada orang-orang yang bergerak pada kerja-kerja lapangan untuk pemberdayaan dan advokasi isu-isu perempuan.
Sebagaimana disebutkan dalam rekomendasi KUPI, salah satunya adalah mendorong lahirnya pendampingan dan penanganan korban berbasis pesantren atau komunitas keagamaan yang bersinergi dengan institusi dan lembaga terkait untuk mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu dan akses keadilan bagi korban. Fahmina dalam DKUP-nya menerapkan kurikulum yang memungkinkan para partisipan yang terlibat dapat mengetahui dan memahami gender, dari konsep hingga analisis, instrumen hukum lokal, nasional dan internasional, Islam dan Keadilan Gender dari Sejarah sejak Nabi hingga kontemporer, Prinsip dasar Islam tentang keadilan, kesetaraan dan kemanusiaan, Tafsir al-Quran, Tafsir Hadits dan Fiqh Perspektif Perempuan, hingga metode musyawarah keagamaan.
Tentu saja disamping semua hal tersebut, Fahmina melakukan pendampingan secara intensif kepada para ulama perempuan dan kader ulama perempuan untuk menyampaikan pengetahuan dan pemahaman baru yang dimilikinya kepada komunitasnya masing-masing. Fahmina juga membuka akses kepada para ulama tersebut kepada jejaring yang lebih luas, memperkenalkan bagaimana memanfaatkan media dan media sosial sebagai media dakwah, dan melibatkan para kader dan ulama perempuan ini terlibat dalam advokasi-advokasi kesetaraan dan keadilan gender baik di tingkat lokal maupun nasional.
Sebut saja, Nyai Hj. Afwah Mumtazah, Pengasuh Pesantren Al-Aisyah Kempek, yang sejak mendapatkan informasi, pengetahuan dan pemahaman tentang kesehatan reproduksi, mulai memasukkan pendidikan kesehatan reproduksi untuk santrinya. Hal serupa juga dilakukan oleh Nyai Hj. Maryam Abdullah, pengasuh pondok pesantren Al-Istiqomah Bapenpori. Nyai Hj. Thoyyibah yang biasa disapa Ang Nok juga hampir setiap tahun melakukan pesantren kilat dengan tema kesehatan reproduksi remaja di pondok pesantrennya yaitu As-salafiyah. Pondok Pesantren Al-Islamy Kebon Jambu, asuhan Nyai Hj. Masriyah Amva, secara terus menerus dan berkelanjutan memberikan informasi dan pengetahun tentang gender kepada santrinya, bahkan paska KUPI mendirikan Ma’had Aly Kebon Jambu yang memiliki visi terwujudnya keluarga muslim yang adil, setara dan maslahat berbasis tradisi pesantren melalui keteladanan, penyadaran, pembudayaan, dan taqninu al-ahkam. Dengan menjunjung perspektif keadilan, kesetaraan, keberagaman dan pemberdayaan. Dilihat dari visi dan perspektif tersebut, dapat dilihat betapa Ma’had Aly memiliki komitmen untuk mencetak kader ulama perempuan, sebagaimana dalam pandangan KUPI. Juga, masih banyak lagi ulama-ulama perempuan yang menjadi mitra Fahmina untuk melakukan gerakan kesetaraan dan keadilan gender di Cirebon.
Dalam banyak moment, Fahmina juga membangun ruang perjumpaan antara ulama perempuan dengan aktivis perempuan, akademisi, dan kelompok lain yang memiliki visi yang sama pada kemanusiaan, kesetaraan, dan keadilan. Salah satunya, Fahmina secara aktif melibatkan ulama perempuan di Cirebon untuk bergerak bersama dalam kerja-kerja kemanusiaan, melalui Jaringan Cirebon untuk Kemanusiaan. Jaringan ini terbentuk sejak 2009 pada peringatan Hari Perempuan Sedunia. Setelahnya, setiap tahun jaringan ini menyelenggarakan minimalnya dua rangkaian kegiatan yaitu Hari Perempuan Sedunia di bulan Maret dan Hari Aktivisme atau Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) yang biasanya dilakukan pada 25 November sampai 10 Desember. Ulama perempuan banyak dilibatkan di kegiatan-kegiatan jaringan sebagai narasumber sebagai pengejawantahan atas otoritas pengetahuan perempuan dalam pengetahuan agama dan pemahaman atas realitas kehidupan masyarakat terutama perempuan dan anak.
Fahmina juga mendorong ulama perempuan dan pesantrennya aktif dalam upaya advokasi kesetaraan dan keadilan gender di tingkat nasional, salah satunya adalah advokasi pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Para ulama perempuan dengan pesantren dan komunitasnya aktif melakukan sosialisasi pentingnya pengesahan UU TPKS terutama bagi generasi bangsa, bagi korban dan keluarganya. Bahkan, beberapa pesantren di Cirebon hadir dalam Istighosah Kubro; Doa Bersama untuk Keselamatan Bangsa dari Darurat Kekerasan Seksual, para ulama perempuan ini melibatkan santrinya dalam istighotsah tersebut, beberapa pesantren tersebut adalah Pesantren KHAS Kempek, Pesantren Al-Islamy Kebon Jambu, Pesantren Buntet, Pesantren Al-Mubarokah Susukanlebak, dan beberapa pesantren lainnya.
Tantangan Gerakan Ulama Perempuan
Dalam sebuah perjalanan gerakan sosial, tentu tidak akan lepas dari tantangan, begitupun gerakan ulama perempuan, dalam buku “Perempuan Ulama di atas Panggung Sejarah, KH Husein Muhammad mengatakan bahwa tantangan ulama perempuan pasca reformasi adalah semakin maraknya produk-produk kebijakan daerah yang diskriminatif, banyak munculnya kebijakan daerah yang justru melakukan pembatasan hak kemerdekaan berekspresi, pengurangan hak atas perlindungan dan kepastian hukum karena mengkriminalisasi perempuan, penghapusan atas perlindungan dan kepastian hukum, dan pengabaian hak atas perlindungan.
Tantangan lainnya adalah, sebagaimana disebutkan dalam buku yang sama, munculnya kelompok-kelompok keagamaan fundamentalis dan radikal. Yang mengkampanyekan gerakan kembali pada Islam masa lalu dengan cara-caranya sendiri yang terkesan sangat intoleran. Gerakan fundamentalis inilah salah satu yang menolak Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG), UU TPKS, mengkampanyekan Indonesia Tanpa Pacaran, dan gerakan fundamentalis lainnya.
Secara individu juga banyak tantangan yang didapatkan oleh ulama perempuan, misalnya KH. Husein Muhammad seperti diceritakan dalam majalah GATRA Edisi Khusus Lebaran 2022, banyak mendapatkan kecaman, hujatan, dan stigmatisasi, dikafirkan hingga disebut bahwa darahnya halal, hingga penyegelan kantor Fahmina Institute oleh salah satu organisasi kemasyarakatan.
Para ulama perempuan kader Fahmina pun masih banyak mendapatkan tantangan, terutama bagaimana mendapatkan otoritas dari masyarakat luas bahwa ulama perempuan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana ulama lainnya. Juga, ulama perempuan dituntut untuk dapat menguasai teknologi informasi, terutama media sosial, karena masyarakat hari ini banyak mencari sumber pengetahuan keagamaan melalui media sosial. Sementara ini media sosial masih dikuasai oleh tokoh-tokoh yang dalam menyampaikan pandangan keagamaan bias gender, maka sudah menjadi keniscayaan bagi ulama perempuan untuk dapat mengisi ruang-ruang media sosial dengan pandangan-pandangan keagamaan yang ramah perempuan, rahmatan lil alamin. []