Perempuan memegang peranan penting dalam penghentian kekerasan dan penyelesaian konflik, terutama melalui cara informal di luar meja perundingan perdamaian. Namun, peran perempuan itu kurang diakui dan tidak mendapat perhatian sehingga penyelesaian konflik dan segala persoalan pascakonflik tidak tuntas terselesaikan. Padahal, keunggulan perempuan menggunakan soft power lebih efektif.
Persoalan ini muncul dalam diskusi “Perempuan pada Meja Perdamaian Indonesia: Meningkatkan Partisipasi Perempuan dalam Penyelesaian Konflik” yang diselenggarakan Centre for Humanitarian Dialogue dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Rabu (24/3) di Jakarta.
Direktur Regional Asia Tengah HDC Michael Vatikiotis mencontohkan kaum perempuan di Maluku yang berusaha menjembatani ketegangan antara komunitas Muslim dan Nasrani ketika terjadi konflik. Kaum perempuan lebih berani menerobos rintangan dengan tetap berjualan di pasar. “Ada kesadaran kehidupan harus berlanjut. Mereka berani menyatakan konflik harus diakhiri,” ujarnya.
Suster Brigitta dari Maluku menceritakan, selama konflik di Maluku kaum perempuan di tingkat akar rumput (grass root) justru paling giat bergerak mendorong penghentian konflik. Apalagi, ketika masyarakat Maluku mulai terpecah. Sayangnya, perempuan tak dilibatkan hingga ke meja perundingan formal. “Saya minta keterlibatan perempuan di tingkat akar rumput dimediasi agar aspirasi mereka bisa sampai ke pusat. Peran mereka ini yang harus diakui,” kata Brigitta.
Peran perempuan di tingkat akar rumput ini, menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari harus disosialisasikan kepada masyarakat, terutama para penentu kebijakan, sehingga perempuan lebih banyak dilibatkan dalam proses penyelesaian konflik dan perdamaian. “Semangat ini penting karena perempuan dan anak paling rentan menjadi korban,” kata Linda.
Pentingnya melibatkan perempuan pada proses finalisasi perundingan perdamaian, kata Vatikiotis, karena perempuan akan lebih lihai menyelesaikan berbagai persoalan pascakonflik, seperti isu tanah dan nasib pengungsi. Persoalan seperti itu kerap tidak terselesaikan karena fokus perhatian tertumpu pada penyelesaian konflik. Vatikiotis mengingatkan, jangan berharap pemerintah menyusun Undang-Undang yang memastikan setiap perempuan terlibat dalam proses perundingan perdamaian.
Menurut Presiden Liga Inong Aceh (Lina) Shadia Marhaban, suara perempuan Aceh akan sulit terdengar karena, meski memiliki kesadaran akan hak-hak mereka, sebagian besar sulit menerobos dinding masyarakat patriarki Aceh. (LUK/KOMPAScetak)
Sumber: www.kompas.com