Demikian beberapa persoalan yang muncul saat workshop “Penguatan Kapasitas Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) berbasis Toleransi” yang dilaksanakan Fahmina institute bekerjasama dengan The Wahid Institute, Jakarta di Hotel Apita Cirebon, Selasa-Kamis 1-3 Desember 2009 yang lalu.
Kegiatan ini dihadiri masing-masing perwakilan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) se-Jawa Barat. Peserta yang hadir mewakili beragam agama dan kepercayaan, atau bahkan penghayat aliran keagamaan meliputi Islam, Konghucu, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan beberapa pemuka agama setempat.
Kegiatan ini dilaksanakan mengingat selama ini, suasana beragama dan berkeyakinan di Indonesia masih diwarnai ketegangan dan friksi, baik dilingkup internal umat Islam maupun antar pemeluk agama. Terlebih lagi, tantangan itu juga bersumber dari level strutural, antara lain: pertama, regulasi keagamaan yang diskriminatif; kedua, pembiaran (by omission) dan bahkan keterlibatan (by commission) aparatur pemerintah dalam beberapa kasus pelanggaran beragama dan berkeyakinan; dan ketiga, menguatnya kecenderungan radikalisasi paham keagamaan dan masyarakat tidak semakin toleran dengan perbedaan agama dan keyakinan.
Meskipun pemerintah Indonesia telah mencangkokkan pasal kebebasan beragama dan berkeyakinan (pasal 28e dan pasal 29) ke dalam UUD 1945, dan bahkan telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui UU No. 12 tahun 2005, namun jaminan tersebut masih lebih sebagai alat diplomasi politik daripada menjadi sebuah tanggung jawab Negara. Apalagi Indonesia masih memiliki UU No. 1/PNPS/1965 yang justru malah bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi Indonesia yang menjunjung tinggi toleransi antar pemeluk agama.
Dengan kegiatan ini, penyelenggara berharap dapat memperkuat pemahaman dan meningkatkan kesadaran para pemimpin agama tentang pentingnya jaminan toleransi beragama dan berkeyakinan di Indonesia agar bisa saling menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) sekaligus mengurangi rasa kecurigaan, prasangka, diskriminasi dan menemukan jalan untuk mewujudkan masyarakat Islam Indonesia, khususnya di Cirebon dan Jawa Barat pada umumnya yang memiliki potensi ketegangan yang cukup tinggi.[]