”SKB justru bisa menjadi legitimasi berlanjutnya kekerasan terhadap Ahmadiyah,” ujar Arimbi Heroepoetri, ketua Subkomisi Pemantauan Komnas Perempuan. Hal itu dikatakan dalam Laporan Pemantauan HAM Komnas Perempuan tentang Perempuan dan Anak Ahmadiyah di Kantor Komnas Perempuan kemarin (22/5).
Arimbi meminta Presiden SBY memberikan ketegasan yang efektif tentang hak atas kebebasan beragama, terutama terkait Ahmadiyah. Selain karena 23 kebijakan yang ada sebelumnya justru menjadi acuan bertindak diskriminatif, hak atas kebebasan beragama dijamin oleh konstitusi. ”Logika berpikirnya adalah kenapa SKB itu lahir,” katanya.
Hasil pemantauan Komnas Perempuan menunjukkan, delapan di antara 23 produk kebijakan tersebut berada di tingkat nasional. Sisanya, 15 peraturan di tingkat lokal. Di tingkat nasional, di antaranya Surat Edaran Kejaksaan Agung RI No. B.523/C/8/1969 tentang Ketentuan Pembekuan Suatu Aliran Kepercayaan dan SE Kejagung No. B.170/B.2/1/1973 tentang Pelarangan Masalah Aliran Kebatinan dan Kepercayaan.
Sementara di tingkat lokal, antara lain, adalah aturan-aturan yang ada di Tasikmalaya, Sukabumi, Cianjur, dan Garut. Misalnya, surat bupati tentang pengawasan terhadap JAI dan surat pernyataan bersama tentang pelarangan kegiatan JAI. ”Semua aturan-aturan itu harus dicabut,” tegas Arimbi.
Temuan Komnas Perempuan, lanjut Arimbi, memperlihatkan perempuan Ahmadiyah mengalami perlakuan diskriminasi yang berlapis-lapis. ”Baik dia sebagai perempuan maupun anggota kelompok minoritas yang jadi sasaran penyerangan,” katanya.
Arimbi juga mengatakan, kebijakan Ahmadiyah tidak hanya merupakan policy agama, namun juga pendidikan. Itu terlihat dari perlakuan yang diterima anak-anak Ahmadiyah. ”Ada cap sebagai orang Ahmadiyah di rapornya. Ini memengaruhi akses,” terangnya. (fal/el)