Pluralisme yang telah berpuluh tahun menjadi pengalaman hidup berbangsa dan bernegara kini dihujat dan disetigma sebagai paham berbahaya dan bahkan haram. Tidak tanggung-tanggung, seruan pelarangan akan pluralisme ini difatwakan secara gencar oleh lembaga keagamaan multipihak, yaitu MUI. Fatwa MUI ini kemudian dimanfaatkan menjadi bola salju yang terus menggelinding dan terus membesarkan gerakan-gerakan keagamaan intoleran di berbagai daerah.
Sebut saja di Jawa Barat misalnya, fatwa MUI ini dijadikan alat legitimasi sebagian kelompok keagamaan intoleran untuk melakukan diskriminasi bahkan penghakiman terhadap Jemaat Ahmadiyah, yang sejatinya telah lama bisa hidup berdampingan dengan kelompok keagamaan maenstrem. Ini hampir terjadi di tiap kota di mana terdapat Jemaat Ahmadiyah.
Sementara itu kelompok-kelompok masyarakat madani yang getol mengusung civil society tidak lebih ‘militan’ dan tidak ‘senekad’ kelompok-kelompok keagamaan intoleran. NGOs atau CSOs yang salama ini melakukan kajian, pelatihan, penelitian dan penerbitan serta kegiatan-kegiatan lainnya dalam rangka memfasilitasi masyarakat untuk hidup bersama secara beradab, sepertinya (maaf) ‘gamang’ bila dihadapkan dengan tuduhan ‘kafir’ dan ‘sesat’. Untuk isu pluralisme sendiri, selain belum ada pemahaman yang sama dan sipakati NGOs dan CSOs ini, juga fakta menunjukkan tidak setiap NGOs dan CSOs siap mengusung isu ini sebagai bagaian penting perjuangan bahkan mungkin nyawanya. Atas dasar kasus-kasus yang terjadi dan kecenderungan yang terus berkembang, Forum Groups Discussion (FGD) Pluralisme se Jawa Barat ini diselenggarakan.
FGD yang menjadi rangkaian Program Pluralism and Legislation Watch Fahmina institute dan Wahid institute, ini dihadiri 23 lembaga jaringan pluralisme se-Jawa Barat. Antara lain, Lakpesdam NU Sumedang, Lakpesdam NU Cirebon, INCReS Bandung, Forum Lintas Iman Cirebon, STAIN Cirebon, Jaringan Pesantren Cirebon, Forum Sabtuan, Jemaah Ahmadiyah, LBH Bandung, Jaringan Kerja Anti Diskriminasi Agama, PBHI Bandung, Gereja Kristen Pasundan Bandung, dan sebagainya. Kegiatan ini dilaksanakan di hotel Bentani, pada 19-21 Agustus 2007.
FGD ini diselenggarakan sebagai sharing temuan dan pengalaman beberapa jaringan pluralisme se Jawa Barat, terkait kasus dan regulasi diskriminatif di daerah masing-masing. Juga untuk mengevaluasi gerakan dan menyamakan perspektif perjuangan pluralisme di tiga ranah: negara, NGOs/CSOs dan masyarakat. “Tujuan lainnya merumuskan model advokasi atas isu-isu dan regulasi diskriminatif dan antipluralisme di wilayah Jawa Barat. Juga untuk merumuskan model kerja jaringan ke depan,” jelas koordinator acara Ali Mursyid.
Para peserta menemukan, setidaknya ada tiga hambatan gerakan pluralisme yang masih terus terjadi. Pertama, penyesatan terhadap aliran-aliran keagamaan. Misalnya yang dialami Jemaah Ahmadiyah di berbagai wilayah, Komunitas Dayak di Indramayu dan Komunitas Wahidiyah di Tasikmalaya. Kedua , tuduhan kristenisasi. Misalnya yang dialami Gereja Betlehem, Gereja Dayeuh Kolot di Bandung, Gereja Cisewu Bandung, dokter di Indramayu, Radio Gratia Cirebon, dan RS Sumberwaras Majalengka. Ketiga, konflik tempat suci. Misalnya pendirian rumah duka di Cirebon, Paseban Komunitas Cigugur, dan Masjid Ahmadiyah di Tasikmalaya.
Dalam FGD ini, para peserta juga mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan gerakan pluralisme. Juga merumuskan peluang dan tantangan ke depan. Sedang metode yang digunakan adalah analisis SWOT. Terungkap dalam forum, salah satu kekuatan gerakan pluralisme, khususnya di Jawa Barat, adalah pluralisme sebagai praktek sosial yang telah mentradisi di masyarakat. Hanya saja, kekuatan ini tak cukup berpengaruh karena gerakan pluralisme terlalu bersifat intelektual dan tidak menyentuh persoalan riil masyarakat. “Wacana pluralisme juga dianggap tidak otentik, karena hasil pemikiran Barat,” ungkap Omay Komaruddin dari Sukabumi.
Namun demikian, para peserta optimis, ke depan ruang gerak pluralisme masih cukup terbuka. Ini karena nilai-nilai Pancasila masih bisa diandalkan untuk menjaga keragaman. “Masih adanya kearifan lokal yang menghargai perbedaan, juga merupakan modal sangat penting,” papar Priyatno dari Gereja Pendeta. Mereka juga menyadari, gerakan pluralisme akan berhadapan dengan gerakan anti-pluralisme yang tak kalah gencarnya. Misalnya, masih terlihat upaya delegitimasi gerakan pluralisme melalui stigmatisasi “kafir”, “agen Barat”, “sepilis” dan lain-lain.
Untuk menghadapi tantangan di atas, para peserta lantas merumuskan Rencana Tindak Lanjut (RTL). Misalnya, dirumuskan perlunya mengaitkan pluralisme dengan persoalan ekonomi masyarakat. Bentuknya bisa penyelenggaraan credit union, yang akan dipelopori pihak gereja. Juga ditekankan, gerakan pluralisme tidak lagi memunculkan pluralisme sebagai wacana, tapi sebagai perspektif. “Dan yang tak kalah penting, adalah memperkuat komunikasi dengan tokoh kunci di masyarakat seperti ulama, kiai, dan pendeta. Mereka dianggap lebih efektif menyampaikan pesan-pesan ke masyarakat,” jelas Nuruzzaman dari Jaringan Pesantren Cirebon.[AM]