Agar Keadilan dan Kesejahteraan Membumi di Indramayu

0
968

Perda Syariat Islam yang jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945, dibela mati-matian tanpa adanya penggodokan yang benar-benar matang dan muncul dari kesadaran masyarakatnya. Cara pintas semacam ini telah menggugurkan keragaman pemahaman keberagamaan –kalau bukan berekspresi. Terbukti, Perda ini hanyalah copy-paste dari daerah lain.

Tulisan ini ingin mengungkap fakta di lapangan tentang pemahaman masyarakat Indramayu dalam memaknai Syariat Islam. Untuk mewakili masyarakat Indramayu, penulis hanya membidik kaum terpelajar. Asumsinya, mereka lebih memahami apa dan bagaimana Syariat Islam. Tanpa menafikan masyarakat kelas bawah. Kaum terpelajar di sini adalah mereka yang telah mengenyam pendidikan. Baik informal, seperti santri, otodidak. Maupun formal/akademisi, seperti mahasiswa, para kaum elite dan seterusnya.

Penelitian sederhana dilakukan dengan pengolahan data yang didapat dari obrolan di jalanan dan di beberapa sekretariat organisasi dan beberapa masjid. Data diperoleg melalui wawancara ringan, secara mengalir. Ini dilakukan untuk mendapat informasi yang sesungguhnya. Bukan rekayasa atau menutup-nutupi fakta.

Ketika, ditanya tentang OTDA, mereka tidak mengerti apa-apa. Terlebih lagi gonjang-ganjing Perda Syariat Islam yang diyakini oleh golongan (kelompok) Islam tertentu sebagai solusi satu-satunya menyelamatkan umat. Kelompok ini berbekal ilmu Agama dari buku-buku terjemahan yang dikarang oleh orang di luar wilayah politiknya. Tema-tema yang diusung dalam berbagai literaturnya berkutat hanya pada ranah politik Islam. Bahkan, dalam penggunaan bahasa pun dianjurkan memakai istilah Arab, seperti ikhwan untuk sebutan laki-laki, akhwat untuk sebutan perempuan, ’afwan untuk mengucapkan kata maaf, dan lain-lain. Sebagian, tentang akhlak yang Islami, seperti tidak merokok bagi ikhwan, menggunakan jilbab panjang, baju longgar bagi akhwat. Dan, TarbiyahIslamiyah (pendidikan, belajar/ngaji tentang Islam). Semangat ini, lalu mencair dalam semangat keislaman, tepatnya da’wah untuk menegakkan Syariat Islam.

Pemandangan seperti ini, tergambar jelas dalam dinamika civitas kampus yang ada di daerah Indramayu. Dimana, kelompok ini yang terorganisir melalui wadah kampus yang ada, yaitu LDK (Lembaga Da’wah Kampus). Lembaga ini berkoalisi dengan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), berdiskusi dengan PKS (Partai Keadilan Sejahtera), juga HT (Hizbut Tahrir), dan menyebarkan buletin jum’atan di berbagai masjid sentral. Seperti, masjid Agung, masjid kampus dan masjid-masjid yang terletak di perkotaan. Dimana, mayoritas pembacaya kaum elite, terpelajar hingga teknokrat. Di buletin itu, mereka mempromosikan konsep masyarakat yang Islami. Dengan konsep ini, mereka memberikan garansi kesejahteraan, keadilan dan lain-lain sambil mengutuk budaya Barat, terutama Amerika. Menghujat konsep-konsep non-Islami, seperti demokrasi, pluralis, multikulturalis, dan sebagainya. Mengkafir-kafirkan pemikir muslim yang dicap oleh mereka liberal, sekuler, dan macam-macam cap lainnya.

Semangat da’wah mereka kemudian mengkristal menjadi jihad hidupnya. Aplikasinya mereka wujudkan dengan berdemo di jalan tentang MIHOL (Minuman Beralkohol), pemberlakuan UU Anti Pornographi dan Pornoaksi (APP), dan tidak mustahil ketika menemukan momentumnya akan memperjuangkan Perda Syariat Islam.

Hal demikian, terungkap oleh salah satu pengurus KAMMI Cabang Indramayu. Yang tidak disebutkan namanya di sini. Ia berkeluh kesah tentang perjuangannya mengusung Perda MIHOL. Tuturnya, Perda ini hanya di danai 35 juta, namun kami terus menawar hingga menjadi 200 juta. Ketika ditanya, apa manfaat ril dari Perda yang dia usung itu? Apa sudah clear? Dia menjawab sambil menundukkan kepalanya, belum juga. Semangat apa yang mendorongnya dalam memperjuangkan perda ini? Sambil sedikit gagap, ia berujar: ”Tegaknya masyarakat Islami”. Beberapa penjual MIHOL telah kami bongkar setelah beberapa kali diperingatkan untuk berhenti. Tentu setelah mendapat restu dari pihak yang berwenang (polisi). Kepuasan perjuangannya itu dituturkannya sebagai penghibur hati.

Di lain kesempatan, penulis berbincang bersama kader-kadernya dan juga beberapa kader PKS. Mereka sangat gembira adanya label-label Islam di sudut-sudut kota. Seperti Bank Syariah, Takaful, BMT, dan spanduk-spanduk lainnya. Setelah ditanya, apakah alasan mereka? Spontan menjwab: Inilah saatnya umat Islam menunjukkan kejayaannya di muka bumi. Namun, ketika ditanya apa makna Syariat Islam itu sesungguhnya? Semuanya diam seribu bahasa.

Saat penulis ngopi di jalanan, ada guru (PNS) yang merasa keberatan dengan Perda Profesi Zakat yang, walaupun, masih dalam penggodokan. Katanya, sambil meminum teh botol: ”Mas, apa mungkin hukum Allah itu memberatkan hambanya?”. seloroh saya:”emang kenapa Pa?, kok tiba-tiba bertanya seperti itu?”. ”Dengan gencarnya pemberlakuan Syariat Islam, semangat stake-holder menerapkan zakat profesi terhadap PNS. Gaji saja hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga saya kok, eh…malah diharuskan bayar zakat profesi. Kan, ada tanda tangannya Mas…. Jadi, temen-temen saya pada ketakutan dimutasi atau dipecat kalau tidak membayar zakat profesi itu Mas…” Bapak guru berusaha menjelaskan latarbelakang pertanyaannya. ”Emang, Bapak gak menanyakan soal nishob, mustahiq dan muzaki, atau dasar pemikiran dari pemberlakuan zakat profesi itu, Pa?”, lanjut saya bertanya, setelah saya dituntut olehnya menjelaskan hukum zakat profesi. Bapak menjawabnya dengan penuh kesal sendiri:”gak berani Mas, takut diperlakukan macam-macam. Nanti, dari mana nafkah keluarga saya kalau saya dipecat PNS nya?”. gumamannya pun terlontar tanpa sadar kepada saya. Akhirnya, pak guru itu pun pulang sambil berucap pada saya ”semoga orang yang memiliki pemahaman keberagamaan seperti ini bukan anda sendiri, selamat berjuang yah Mas…?”.

Keanehan-keanehan inilah yang sangat memicu penulis untuk membuka pemahaman tentang makna Syariat Islam dan idealisasi masyarakat Indramayu. Dari hasil wawancara sederhana ini, penulis ingin mengatakan bahwa Syariat Islam tidaklah tunggal. Karena Islam penuh dengan warna. Fiqh yang bermadzhab-madzhab, Aliran politik yang beragam, bahkan akidah Islam pun sesungguhnya tidak satu. Ini sangat penting untuk diketahui dan dipahami juga dimaklumi oleh semuanya. Terutama aktivis Islam yang getol meneriakkan Syariat Islam atau Kalimat Allah. Allah lebih besar dari peradaban manapun. Islam jauh melampaui dunia perpolitikan. Dan, karenanya umat Islam adalah umat yang menjunjung tinggi moral kemanusiaan. Yang jauh dari manipulasi / penipuan, diskriminasi / penindasan, terlebih pembantaian.

Hak Allah, semata hanyalah beribadah kepada-Nya sebagai manifestasi hubungan atau komunikasi hamba dengan Sang Kholik. Selebihnya adalah hak antar manusia (hamba)-Nya. Inilah wilayah Syariat Islam. Kerja-kerja—kalau boleh disebut demikian—Syariat Islam meniscayakan adanya ruang musyawarah (Syuro), dialog (Mujadalah), konsensus yang fair (Ijma’) dan pertimbangan-pertimbangan lain yang memihak kaum lemah, baik lemah ekonominya, akses informasi, ruang geraknya maupun lemah pemahaman keberagamaannya (Mustadh’afin), bukan kaum politikus. Dengan ini, ridho Allah akan semakin dekat dengan bumi Indramayu.

___________

*** Penulis adalah alumnus Dawrah Kader Ulama Pesantren (DKUP) Pesantren Dar Al-Tauhid Cirebon th. 2006