Persoalan trafficking ibarat gunung es, semakin lama semakin mencair dan sulit untuk dibendung. Inilah fenomena yang seharusnya butuh perhatian serta penanganan yang serius oleh berbagai pihak. Berbagai kegiatan telah dilakukan beik berupa tindakan preventif maupun penanganan secara langsung. Fahmina institute kembali menggelar lokakarya penguatan jaringan anti trafficking untuk yang kelima kalinya pada hari Selasa, tanggal 15 Agustus 2006 di Hotel Kharisma Cirebon.
Dalam lokakarya tersebut diadakan evaluasi kerja-kerja jaringan yang telah dilakukan oleh beberapa LSM dan instansi yang terkait dengan persoalan trafficking. Kegiatan tersebut merupakan lanjutan setelah lokakarya sebelumnya yang mengkombinasikan dua wilayah yaitu Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu. Di Kabupaten Cirebon telah terbentuk JIMAT (Jaringan Masyarakat Anti Trafficking) yang didalamnya terdiri dari gabungan beberapa LSM yang peduli dengan persoalan trafficking, diantaranya; Balqis, Banati, FWBMI (Forum Warga Buruh Migran Indonesia), PAKUBUMI (Peguyuban Keluarga Buruh Migran Indonesia), KPI (Koalisi Perempuan Indonesia), Pesantren, infokom, dsb. Sedangkan di Indramayu telah terbentuk SANTRI (Satuan Tugas Anti Trafficking) yang didalamnya terdiri dari gabungan beberapa LSM yaitu YPI, PAPUAN, LKBH Unwir, Dinsosnaker, PUI, dsb.
Mereka telah melakukan berbagai kegiatan, diantaranya ada yang besifat individu dan lembaga. Kegiatan yang bersifat individu diantaranya ada yang melakukan sosialisasi lewat ceramah dan on air di radio. Sedangkan kegiatan yang bersifat kelembagaan bisa berupa penerbitan, diantaranya sudah ada beberapa bulletin yang berhasil diterbitkan yaitu; Banati, Teka’i, Asy-syaqiqah, dan juga sudah ada jurnal Equalita. Kemudian kegiatan pendidikan ketahanan warga dan penyuluhan di komunitasnya masing-masing, bahkan ada juga yang ke sekolah-sekolah, karena target mereka adalah anak usia remaja yang rentan menjadi korban trafficking. Ada juga beberapa lembaga yang sudah menangani kasus, yaitu melakukan pendampingan terhadap korban trafficking, seperti yang telah dilakukan oleh FWBMI. Selain itu mereka juga melakukan advokasi kebijakan public berupa pembentukan Perda anti-trafficking. Kawan-kawan yang ada di Indramayu berhasil mengupayakan adanya perda trafficking yang telah disahkan oleh Pemda setempat pada bulan Nopember tahun 2005. perda tersebut berhasil digolkan karena birokrasi setempat mendukung dan bisa bekerjasama, meskipun mereka sempat menemui hambatan soal pembahasan draft di awal. Berbeda dengan di Kabupaten Cirebon, hingga saat ini draft raperda trafficking masih mangkir di Kabag Hukum. Kita sudah melakukan hearing dengan POLRES, dan mereka cukup merespon. Termasuk dengan DPRD juga, tapi tampaknya DPRD kurang tanggap dengan alasan mereka masih menunggu eksekutif, mereka juga mengemukakan beberapa alasan lain terkait masalah dana. Ini memang ironis, karena prosesnya sudah cukup lama dan kita juga tidak bisa diam menunggu sampai banyak kasus trafficking terjadi. Meskipun banyak orang berasumsi bahwa perda ini substansi hukumnya lemah. Tapi paling tidak ini menjadi payung hukum untuk tingkatan lokal sebelum disahkannya RUU anti trafficking yang sekarang masih digodog di Legislatif. Menurut informasi terakhir yang kami peroleh, istilah RUU anti trafficking diubah menjadi RUU PTPO (Penghapusan Tindak Perdagangan Orang) dengan alasan orang-orang yang ada di Legeslatif Pusat enggan memakai istilah asing. Kita semua berharap agar RUU ini segera disahkan agar mampu meminimalisasi kasus trafficking. Kalau kita mau jujur, sebenarnya TKI/TKW adalah pahlawan devisa Negara. Karena setiap tahun mereka menyumbangkan sekitar 30 trilyun bagi devisa Negara. Ini merupakan angka yang cukup fantastis dibandingkan dengan pemasukan-pemasukan Negara dari sektor yang lain. Ini menjadi sangat dilematis ketika pemerintah tidak ada upaya serius dalam penanganan kasus-kasus trafficking.
Pendidikan ketahanan warga yang telah diselenggarakan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon berdampak positif, diantaranya; warga telah memiliki bekal pengetahuan mengenai trafficking dan munculnya kesadaran warga terhadap bahaya trafficking, sehingga ada beberapa warga yang enggan untuk menjadi TKI/TKW. Kegiatan ini juga melahirkan beberapa kader yang intens melakukan sosialisasi dan penanganan kasus trafficking. Namun ada juga kendala yang dihadapi, diantaranya belum ada modul pelatihan yang efektif, serta tidak semua warga melek huruf. Selain itu ada juga yang melakukan pelatihan-pelatihan seperti pre-departure dan bekerjasama dengan BLK dan LKK.
Keberadaan beberapa bulletin yang mengupas persoalan trafficking telah berdampak semakin banyaknya aduan warga mengenai kasus trafficking ke beberapa LSM, misalnya; Banati, FWBMI, dan FKBMI. Tidak hanya melalui bulletin, tapi radio infokom juga. Yang cukup menarik adalah bulletin Mutiara yang ada di Indramayu, meskipun lingkupnya di desa namun sudah dirasakan manfaatnya oleh warga setempat. Karena dikemas dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh warga serta dilengkapi dengan kolom penyejuk hati dan info lowongan kerja yang aman. Bulletin ini digagas oleh Ibu Sri pasca desanya kedatangan mahasiswa dari UIN Jakarta yang sedang melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Meskipun dengan keterbatasan dana, namun dia tetap semangat. Bahkan dia menawarkan alternative agar tiap-tiap rumah yang sering kedatangan tamu menyediakan fasilitas semacam madding di depan rumahnya. Namun ada juga yang beranggapan bahwa radio merupakan media yang lebih tepat untuk menyampaikan informasi, karena minat baca masyarakat kita dinilai masih rendah.
Proses penanganan trafficking juga dinilai masih setengah hati, karena belum adanya koordinasi yang baik antar lembaga. Namun ada juga yang sudah melakukan penanganan kasus trafficking sampai mereintegrasi korban, yaitu menangani korban pada proses pemulihan baik secara lahir maupun batin sampai korban dapat diterima lagi di tengah-tengah masyarakat. Proses semacam ini dilakukan oleh FWBMI yang dimotori oleh pak Castra dan kawan-kawan, dan sejauh ini mereka sudah menangani sekitar 16 kasus. Namun pendanaan masih menjadi satu kendala buat mereka. Tidak jauh berbeda apa yang dilakukan oleh Banati yang sebenarnya lebih konsen pada persoalan PSK (Pekerja Seks Komersil), tapi hingga saat ini banyak aduan yang masuk terkait masalah trafficking. Tercatat baru satu kasus trafficking yang sudah ditangani oleh Banati.
Beberapa usulan terkait dengan proses penaganan kasus trafficking yaitu; dibutuhkan satu media yang tepat untuk menyampaikan informasi ke masyarakat misalnya bulletin dan radio, perlu adanya PPT di tiap-tiap daerah sebagai pusat informasi dan pelayanan, pembuatan modul yang efektif, fund rising, paralegal, dan LBH khusus untuk TKI/TKW. Semua usulan tersebut dapat terealisasi apabila ada koordinasi yang baik antar lembaga dan tentunya dukungan pemerintah juga sangat dibutuhkan baik secara moril maupun materil.[Aap]