Dalam konteks pembangun-an, kemiskinan adalah masalah yang harus segera diatasi. Kemiskinan sendiri sejatinya tidak berdiri sendiri, ia adalah persoalan multidimensi, yang tidak hanya terkait dengan rendahnya tingkat konsumsi masyarakat. Kemiskinan konsumsi saja tidak akan mampu menjelaskan permasalahan kemiskinan yang sesungguhnya.
Sesungguhnya persoalan kemiskinan selalu berkaitan dengan ide politik dan sosial yang merefleksikan harapan-harapan dan aspirasi masyarakat. misalnya, jika masyarakat seharusnya mampu mencukupi kebutuhan pangan, memberikan pendidikan layak pada anak-anak, mendapatkan pelayanan kesehatan, serta mempunyai pekerjaan, maka bila sebagian masyarakat tidak mampu melakukan hal tersebut atau tidak mendapatkan pelayanan yang selayaknya mereka dapatkan, kondisi ini menunjukkan adanya kemiskinan. Juga, jika semua masyarakat seharusnya mampu berpartisipasi dalam kehidupan sosial masyarakat, tetapi jika sebagian diantaranya tidak dapat atau tidak diikutsertakan, maka hal ini menunjukkan pula adanya kemiskinan. Singkatnya, kemiskinan adalah kondisi tidak tercapainya suatu standar kehidupan yang dianggap layak oleh masyarakat, sehingga perlu segera diberdayakan.
Sejalan dengan pengertian tersebut, Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK, 2005), mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Definisi kemiskinan ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Definisi ini menggariskan bahwa kemiskinan sebenarnya merupakan suatu peristiwa penolakan dan tidak terpenuhinya hak, serta adanya pengakuan bahwa orang miskin terpaksa menjalani kemiskinan dan seringkali mengalami pelanggaran hak yang dapat merendahkan martabatnya sebagai manusia. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba memberikan penegasan terhadap kewajiban negara untuk menghargai, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin.
Salah Pendekatan Justru Melanggengkan Kemiskinan
Tetapi ketika kemiskinan hanya dipahami secara parsial seperti kekurangan pangan atau rendahnya pendapatan, maka arus utama paradigma pembangunan yang diterapkan lebih berpihak pada gagasan pertumbuh-an ekonomi tinggi tanpa mempedulikan kualitas pertumbuhannya itu sendiri. Kemudian, pendekatan program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan juga lebih bersifat sektoral dan pemberian (charity), seperti Jaring Pengaman Sosial (JPS) dengan berbagai variasi bentuknya. Selain itu, proses pelaksa-naan program selalu bersifat top down, tanpa mempertimbangkan karakteristik kemiskinan masing-masing daerah. Akibatnya, selain ini justru dapat mematikan inisiatif dan daya kreatif lokal, jenis program yang dilaksa-nakan juga sering kurang relevan dengan prioritas dan kebutuh-an masyarakat miskin setempat. Sejarah telah membuktikan bahwa pendekatan seperti itu tidak mampu menyelesaikan akar persoalan kemiskinan secara menyeluruh.
APBN/D Mesti Berpihak Pada Kaum Miskin
Berdasarkan pengalaman tersebut, serta dengan adanya pengakuan cakupan permasalahan kemiskin-an yang makin luas, maka upaya penanggulangan kemiskinan sudah seharusnya dilakukan dengan menggunakan paradigma kebijak-an yang berbeda. Dalam konteks pelaksanaan kewajiban pemerintah, maka proses penyusunan, penetapan, dan pelaksanaan kebijak-an Anggaran Publik (AP) menjadi penting. Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional/Daerah (APBN/D) yang jelas menegaskan pemihakan pada kepentingan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar kaum miskin menjadi suatu kebutuhan untuk dilaksanakan.
Anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah (APBN/D) merupakan instrumen penting kebijakan pemerintah. Sebagai suatu kebijakan, APBN/D tidak boleh hanya dipahami sekedar sebagai suatu dokumen keuangan semata, tetapi juga merefleksikan komitmen politik dan prioritas kebijakan sosial ekonomi pemerintah. Jika proses penyusunan dan pelaksanaan APBN/D berlangsung buruk atau manipulatif, maka akan berdampak antara lain pada munculnya masalah sosial dan hukum. Kecenderungan adanya protes massa, pemeriksaan dan persidangan kasus-kasus dugaan korupsi yang bersumber dari isi dan pelaksanaan APBN/D oleh pejabat eksekutif dan legislatif beberapa waktu yang lalu, merupakan contoh timbulnya dampak tersebut. Dalam banyak kasus, protes massa itu seringkali juga dikuti dengan pernyataan mereka bahwa proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran publik itu tidak berpihak kepada kaum miskin. Padahal, adalah bohong pemihakan terhadap rakyat atau orientasi pembangunan diperuntukan buat rakyat, bila tanpa cerminan pemihakan yang riil dalam APBN/D. Karena itu keterlibatan masyarakat sipil dan terutama kelompok miskin dalam aspirasi penyusunan dan implementasinya menjadi amat penting.
Untuk mengatasi persoalan kemiskinan beberapa hal perlu di lakukan pemerintah. Pertama, perlu adanya pembalikan paradigma pembangunan, dari pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan menjadi sebagai sarana atau alat saja untuk mencapai tujuan kualitas atau tingkat pembangunan manusia (human development) yang lebih baik; Upaya-upaya menarik investasi luar dan dalam negeri harus disertai upaya-upaya
perlindungan sosial dan peran aktif pemerintah dalam menunjang pendidikan dan ketrampilan tenaga kerja Indonesia. Kedua, perlu adanya pembalikan prioritas anggaran, dari pembayaran utang negara ke belanja kesehataan, pendidikan dan penciptaan lapangan kerja, termasuk penguatan sektor pertanian dan pedesaan. Ketiga, perlu adanya pembalikan relasi antara negara dan masyarakat, dari relasi dominasi menjadi relasi kerjasama dan kemitraan. Dalam hal ini, negara harus mengakui, menghormati dan merealisasi hak-hak rakyat seperti pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja. Keempat, Paska Orde Baru dan multipartai sekarang ini menyediakan peluang dan momentum bagi peran dan gagasan warga Negara untuk terjadinya realisasi hak-hak warga Negara, termasuk hak-hak anak-anak dan kaum perempuan.[]
Sumber: Blakasuta Ed. 12 (2007)