Wawancara bersama Kamala Chandra Kirana
Kekerasan terhadap perempuan atau disingkat KTP, sampai saat ini belum menjadi isu keprihatinan bersama masyarakat Indonesia. Boleh jadi, isu ini baru berputar-putar di tingkat kalangan tertentu, belum sampai pada tingkatan grassroot. Meskipun sampai, isu tersebut masih terdengar asing, termasuk oleh korbannya sendiri. Pasalnya, masyarakat masih melihat konteks perempuan sebagai individu di satu sisi, dan sisi lain perempuan sebagai penanggung jawab utama keberhasilan keluarga dan masyarakat di wilayah domestik saja. Karena itu, kekerasan yang dialami perempuan tidak banyak diungkap bahkan dianggap tidak perlu diselesaikan lewat proses hukum positive. Padahal, kalau kita melihat bagaimana kompleksnya peta KTP ini terjadi di Indonesia, bisa jadi ini merupakan satu bentuk kekerasan yang dilakukan Negara terhadap warganya yang berjenis kelamin perempuan. Untuk melihat hal itu lebih jelas, berikut ini petikan wawancara Blakasuta dengan Kamala Chandra Kirana, salah satu Direktur Komnas Perempuan yang banyak bergerak mengusung isu UU Anti KDRT (sekarang UU Penghapusan KDRT), di Hotel Prima pertengahan Juni 2004 lalu.
Apa pengertian kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh Negara?
Ya, kekerasan yang dilakukan oleh negara ada dua cara, yaitu secara langsung dan tidak langsung atau -pembiaran-. Secara langsung, misalnya yang dilakukan oleh aparat; artinya negara lewat aparatnya melakukan langsung tindakan kekerasan. Jadi Aparat Negara yang melakukan langsung penyiksaan, pemerkosaan atau tindakan kekerasan lain terhadap perempuan dan anakanak misalkan yang terjadi diwilayah konflik Aceh, Papua atau di Timtim, sebagai satu bentuk intimidasi untuk melemahkan mental-psikologis kelompokkolompok musuh. Cara kedua adalah dengan pembiaran, jadi Aparat Negara tidak secara lang-sung melaku-kan suatu tindakan keke-rasan. Melainkan Negara tahu terjadi-nya tin-dak kekerasan atau kerusuhankerusuhan tapi tidak ada tindakan pencegahan konkret atau proses hukum yang jelas terhadap pelaku. Kedua cara tindakan kekerasan itu berlaku di Indonesia.
Bagaimana keadaan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia Sekarang ini? Apakah setiap tahunnya terus mengalami peningkatan ?
Ya, secara luas memang kecenderungannya mengindikasikan kearah itu. Ketika KOMNAS perempuan berdiri tahun 1999 lalu, pada saat itu bersamaan Negara kita ditimpa krisis ekonomi besarbesaran mulai tahun 1997. Selain banyak perempuan korban kekerasan oleh aparat negara seperti yang diilustrasikan di atas, juga kekerasan muncul akibat krisis ekonomi.
Sejak mei 1998, Isu kekerasan terhadap perempuan menjadi sebuah isu bersama yang berdampak munculnya respon, reaksi atau penyikapan terhadap keberadaan perempuan secara nasional termasuk juga hadirnya WCC di Cirebon, Semarang, Papua, dan Aceh. Terpuruknya kondisi ekonomi kita ataupun merebaknya konflik-konflik sosial politik memunculkan keresahan dan situasi tidak nyaman di dalam keluarga. Tekanan yang dialami Suami, –karena kehilangan pekerjaan dan sulitnya mencari pekerjaan baru–, berakibat kasus-kasus kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT) terus melonjak. Di sisi lain, kondisi ekonomi yang hancur turut pula mendorong semakin tingginya minat orang kerja ke keluar negeri. Belum lagi, Keluarga-keluarga turut mendorong istrinya, atau anak perempuanya menjadi TKW ke luar negeri. Kondisi ini memperparah peluang kekerasan terjadi semakin banyak Padahal kenyataan disana, pasaran TKW Indonesia sebagian besar PRT yang notabene riskan tindak kekerasan. Ditambah masih buruknya sistem pengiriman TKW yang tidak memuat mekanisme perlindungan secara jelas. Agenagen tidak lebih sebagai pedagang orang saja; berkolusi dengan Aparat Negara demi keuntungan material mereka pribadi. Sehingga beberapa kasus-kasus TKW mencuat seperti TKW pulang dalam kondisi bermasalah (ilegal), diperkosa bahkan banyak TKW diantarkan dalam kondisi sudah di peti mati…
Jadi, dari tahun 1998 persoalan kekerasan perempuan ini semakin komplek? Kenapa?
Iya, karena yang tadi saya bilang perekonomian kita lemah ditambah kasus konflik atau benturanbenturan komunan atau pun militersipil masih banyak sekali. Tingkat kekerasan merajalela menjadi suatu budaya tersendiri. Sebab pada akhirnya kekerasan kita bukannya berkurang tetapikan kecenderungan semakin mengental. Kondisi itu tidak terlepas dari warisan ORBA; sebuah masa dimana militer melakukan peyelesaian-penyelesain dengan menggunakan kekerasan. Kita sendiri akhirnya lama-kelamaan ikut menginter-nalisasi. Walaupun sistem orde baru-nya telah hilang tapi budaya dan cara-cara kerjanya itu masih hidup di dalam diri kita.
Bentuk advokasi yang dijalani KOMNAS Perempuan seperti apa?
Yang membantu korban kekerasan secara langsung adalah kawankawan di komunitas pendampingan untuk para korban. Kita berperan untuk menciptakan situasi yang kondusif dan sistemik untuk memungkinkan hak-hak perempuan dipenuhi dan melindungi mereka dari kekerasan. Jadi arena kerja komnas adalah di wilayah kebijakan selain penguatan di tingkat masyarakat. Di bidang Kebijakan misalkan kita bersama organisasi aktivis perempuan terlibat aktif mendesak pengesahan rancangan undang-undang anti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Untuk persoalan buruh migran, kita juga mendukung rancangan undang-undang perlindungan buruh migran dan memberi masukan-masukan khusus untuk memastikan bahwa Undang-undang itu bisa peka terhadap realitas TKW di luar negeri.
Model pendekatannya?
Pada Wilayah kebijakan, selain lewat perundangan, kita juga bekerja sama dengan lembaga-lembaga penegak hukum supaya supremasi hukum bagi perempuan korban kekerasan itu betul-betul ditegakkan. Kenyataan korban perkosaan yang di proses ke peradilan formal itu lebih sering dilecehkan dari pada di bantu. Kita lakukan dialog dengan Pimpinan dari lembaga-lembaga hukum serta lembaga-lembaga terkait lain semisal Depertemen Kesehatan agar mereka bisa peka juga melihat realitas kekerasan terhadap perempuan di sektor kesehatan.
Berkaitan dengan penguatan kapasitas, kita juga bekerja sama dengan kawan-kawan aktivis organisasi perempuan untuk mengeksplor perlu penguatan di bidang apa. Di samping itu, kita juga ikut memfasilitasi penguatan mereka di bidang advokasi seperti standar pemberian layanan untuk korban kekerasan agar berkualitas dan bertanggungjawab. Terus kita juga memfasilitasi Kawan-kawan di daerah untuk bersinergi dengan banyak pihak supaya mendapatkan dukungan banyak, misalkan dengan rumah sakit daerah sehingga bantuan yang diberikan kepada perempuan korban kekerasan itu sifatnya holistik. Institusi-institusi ini membuat mekanisme kerjasama yang baik sehingga perempuan korban yang datang minta bantuan itu bisa dilayani secara terpadu.Ya termasuk ke dalam lingkungan keluarga. Peta kekerasan di dalam keluarga kian bervariasi. Karena itu, terhadap situasi seperti itu apakah cukup hanya mengandalkan kebijakan pemerintah semacam undang-undang KDRT atau banyak situasi lain atau cara lain yang mungkin bisa dilakukan? Pasti banyak cara lain tapi kan perannya KOMNAS perempuankan di situ. Porsi kita adalah kebijakan. Bukannya kita anggap inilah satusatunya cara. Tapi ini stressing tugas kita. Yang lain harus memainkan perannya…
Dari pengalaman melakukan advokasi, kesulitan apa yang dihadapi dilapangan?
Persoalan yang substansif adalah Legislatif sendiri sebenarnya tidak terlalu paham bahkan tidak terlalu serius menanggapi persoalanpersoalan advokasi perempuan. Legislatif melihat kita tidak sebagai sumber dukungan. Mayoritas mereka menyelesaikan masalah sambil lalu. Bila realisasi UU anti KDRT, kemudian tidak betul-betul disikapi serius, maka hal ini termasuk bagian dari suatu bentuk kekerasan dalam arti bahwa negara terus menerus melakukan pembiaran terhadap realitas munculnya kekerasan terhadap perempuan di Negeri ini.*
Sumber: Blakasuta Ed. 5 (2004)