Kamis, 28 November 2024

Jelang Pemilukada Cirebon: Netralitas Polri di Tengah Arus Kepentingan, Mungkinkah?

Baca Juga

 

okezoncomPosisi Polri sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan, di mana Polri memiliki hubungan erat dengan sumber dan simbol kekuasaan, menyebabkan independensi polisi sulit diharapkan. Sehingga wajar jika ada kekhawatiran polisi sebagai lembaga penegak hukum, terseret pada kepentingan politik praktis. Dari keberadaan polisi di tengah-tengah arus kekuatan yang saling menarik, yaitu arus penguasa dan arus yang dikuasai, lewat pilihan logis polisi tampaknya lebih berpihak kepada yang berkuasa secara politis. Berdiri di tengah-tengah arus kontradiksi bagi Polri sebenarnya cukup membingungkan, meskipun mereka selalu mengatakan tidak ada masalah.

Dilema yang merantai dirinya adalah manakala partai politik menyusupkan kepentingan yang tidak sesuai dengan tujuan organisasi. Yang terjadi selanjutnya adalah, fungsi kepolisian sebagai penegak hukum menjadi kabur dan menjadi tidak lebih sebagai alat kepentingan golongan politik tertentu yang akan merefleksikan kebijakan-kebijakannya dalam perilaku polisi keseharian. Di sinilah kerawanan Polri dalam konteks politik praktis.

Pemilukada yang seharusnya menjadi momen di mana seorang warga negara menyalurkan amanat kedaulatannya kepada pimpinan daerah, seringkali teraniaya dan terganggu hak-nya. Konflik dan kekacauan pun terkadang sulit dihindari. Inilah yang perlu diperhatikan secara jeli oleh aparat keamanan Negara, dalam hal ini Kepolisian Resort Kota (Polresta) Cirebon.

Sayangnya, selama lebih dari satu dasawarsa menjadi pilar penegakan hukum, dalam tubuh Polri sendiri pun masih dinodai jelaga hitam. Penilaian publik terkait kinerja aparat kepolisian melalui sejumlah jajak pendapat dari tahun ke tahun, membuktikan bagaimana dalam tubuh Polri masih diwarnai aroma suap yang kental. Kondisi tersebut, menurut publik, dipengaruhi oleh sistem penegakan hukum yang lemah di dalam institusi kepolisian.

Memang, selama lebih dari satu dasawarsa, penilaian publik terhadap citra positif kepolisian terus berubah. Seperti jajak pendapat Kompas yang merekam penilaian terburuk terhadap citra Polri diberikan publik pada masa-masa awal kemandirian Polri. Saat itu hanya 26,6 persen responden yang memberi penilaian positif terhadap citra Polri. Tahun 2009, proporsi publik yang menilai positif meningkat dan mencapai titik tertinggi. Ketika itu 57,1 persen responden menyatakan citra Polri positif. Berbagai prestasi diukir terutama perannya dalam mengungkap kasus terorisme.

Sementara hasil jajak pendapat Kompas (1 Juli 2010) terhadap 814 responden di 33 provinsi, menunjukkan bahwa polisi belum mampu bersikap independen dalam menjalankan tugas (67,6 persen terhadap pejabat negara; 67,2 persen terhadap aparat penegak hukum; 63,8 persen terhadap warga masyarakat). Bahkan, dari beberapa peristiwa, tampak kecenderungan Polri yang masih terseret kepentingan politik. Dalam konteks Pemilukada Cirebon, bagaimana strategi dan sejauh mana kesiapan Polres Cirebon Kota mengawal Pemilukada?

Prioritaskan Strategi Keamanan Daerah Rawan Konflik

Awal tahun 2013 mendatang, Cirebon akan menyelenggarakan sebuah hajat besar, dimulai dengan Pemilihan Walikota (Pilwakot) dan beberapa bulan kemudian dilanjut dengan Pemilihan Bupati (Pilbup) Cirebon. Memang masih cukup lama hingga gelaran itu dilaksanakan, namun gaungnya sudah terasa. Spanduk-spanduk, baliho, iklan media cetak, online, maupun elektronik, pun telah meramaikan hajat tahunan ini. Jargon dan janji para bakal calon pun diumbar tiada henti.

Dari tahun ke tahun, apalagi pascareformasi, Pemilukada memang selalu menjadi magnet tersendiri. Berbagai kepentingan perebutan jabatan pimpinan sebuah kota selalu saja terjadi. Cita-cita memajukan dan mengembalikan kejayaan Kota Cirebon juga menjadi motif tersendiri bagi orang yang mencalonkan diri.

Cita dan keinginan inilah yang kerap kali menimbulkan kefanatikan dan tidak bisa menerima kekalahan. Untuk menjadi calon walikota saja perlu ratusan bahkan miliyaran rupiah. Sehingga rawan perselisihan. Belum lagi money politics (politik uang) dan bentuk kecurangan-kecurangan yang bisa memicu ketegangan dan kekerasan.

Polisi sebagai institusi yang mempunyai tugas menjamin warga Negara merasa aman, mempunyai strategi tersendiri dalam mengahadapi hajatan besar lima tahunan ini. Dalam wilayah Kota Cirebon, yang mempunyai tugas adalah Polres Cirebon Kota.

Berdasarkan keterangan dari Kabag Ops Polres Cirebon Kota, Wawan Sumantri ST, memperkirakan bahwa Jajaran Polresta Cirebon di bawah pimpinan Kapolres Cirebon Kota, AKBP Asep Edi Suheri, sudah sangat siap menghadapi momen Pemilukada ini. Wawan Sumantri ST juga memaparkan, untuk pemilihan Walikota Cirebon tahun 2013 mendatang, Polres Cirebon Kota akan menurunkan lebih dari 600 personelnya.

Semua personel tersebut diterjunkan dan disebar ke titik-titik tertentu dengan sebaran yang berbeda tergantung tingkat keamanan daerah dan kerawanan konfliknya. Polresta juga sudah mengamati dan mengantongi sejumlah tempat pemungutan suara (TPS), terutama yang dinilai rawan konflik berdasarkan hasil pemetaan tingkat kerawananan masing-masing wilayah pemilihan. Kendati demikian, ketentuan jumlah TPS masih menunggu keputusan dari KPU.

“Sementara ini kami sudah mempersiapkan strategi dan langkah khusus untuk menghadapi pemilihan Walikota. Tapi sebagian besar ketentuan mengenai Pilkada memang pihak kami masih menunggu keputusan dari berbagai pihak terkait, terutama KPU. Hal ini memang karena sebenarnya kita belum memasuki waktu Pilkada tahun depan, masih lama,” papar Wawan.

Keamanan memang menjadi tugas utama dari polisi dan untuk mencapai keadaan yang aman tersebut polisi memang harus sigap. Apalagi pasca reformasi, polisi diamanatkan harus menjaga Hak Asasi Manusia (HAM) dan lebih memperhatikan hak warga sipil saat menjalankan tugasnya. Tindakan prefentif pun mutlak digunakan dalam konteks reformsi kepolisian ini. Dalam UU kepolisian, yakni UU no.2 tahun 2002 ditegaskan bahwa tindakan antisipasi sangat diuatamakan dalam tugas yang diemban oleh institusi polisi.

Lalu Bagaimana dengan Netralitas Polisi?

Selain masalah keamanan dan kelancaran pelaksanaan Pilkada, netralitas kepolisian pun menjadi hal sangat penting untuk disoroti. Menurut Kasat Binmas Polres Cirebon Kota, AKP Elin Karlina, untuk menghadapi Pemilukada ini Polisi lebih mengutamakan pendekatan persuasif, antisipatif, dan prefentif.

“Bakal kerusuhan diantisipasi sejak dini, seperti rasa benci dan marah karena masalah pribadi atau lain-lain supaya tidak meletup waktu Pemilukada,” ungkapnya.

Jika pun hal terburuk terjadi, lanjutnya, seperti kerusuhan atau keributan akibat perbedaan pilihan calon, maka polisi akan bertindak netral. “Polisi tidak akan membela salah satu dari masyarakat yang mendukung salah satu calon,” tandasnya.

Jika menengok sejarahnya, pada tahun 1965, Polisi pernah diberlakukan dengan hukum militer, bagian dari doktrin ABRI. Pada Agustus 1967, keluar SK Presiden RI no. 132/1967, yang menetapkan ABRI sebagai bagian organisasi dari Dephankam (Departemen Pertahanan dan Keamanan) yang mana kepolisian (AK, Angkatan Kepolisian) menjadi bagian darinya bersama Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU). Tidak cukup sampai di situ, menyusul pula kemudian Keppres no. 80/1969 tentang integrasi penuh Polisi dalam ABRI baik secara yuridis formil maupun dalam pelaksanaannya.

Pada masa orde baru, polisi ikut terlibat dalam ranah politik. Bergabung dengan ABRI dalam Fraksi ABRI di DPR, polisi yang seharusnya menjadi aparat sipil berubah menjadi alat kepentingan rezim Soeharto. Dwi-fungsi ABRI sebagai aparat militer, juga sebagai masyarakat sipil yang ikut terlibat dalam kancah politik inilah yang kemudian oleh masyarakat mendapat banyak kritikan. Hingga akhirnya, pada saat reformasi, polisi juga didorong melakukan reformasi. Terbitlah kemudian Intruksi Presiden (Inpres) pada bulan April 1999 melalui Inpres No 2 Tahun 1999, tentang bagaimana langkah-langkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan Polisi dan ABRI. Kebijakan tersebut kemudian diikuti dengan dikeluarkannya kebijakan lain berupa TAP MPR No. VI Tahun 2000 Tentang Pemisahan Polri dan TNI, dan TAP MPR No. VII Tahun 2000 Tentang Peran Polri dan TNI. Kebijakan ini mengakhiri status Polri di bawah garis komando ABRI selama Orde Baru.

Dengan pemisahan struktur organisasi ini aparat kepolisian diharapkan tidak lagi tampil dalam performa dan watak yang militeristik, dan dapat bekerja profesional sebagai aparat kepolisian sipil secara profesional.

Dalam pemilihan umum dan daerah, UU No. 10 tahun 2008 pasal 318 dengan tegas mengatakan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih. Hal ini dilakukan untuk menjaga profesionalitas Polisi. Polisi sebagai aparat sipil memang sebaiknya tidak ikut dalam percaturan politik. Fungsi dan tugas polisi adalah untuk mengamankan. Ikut campurnya polisi dalam politik hanya akan mencederai profesionalitas dan kemandirian lembaga. Sebagaimana pada orde baru, di mana polisi menjadi alat stabilitas politik dengan melakukan masyarakat sekehendak penguasa.

Dalam negara yang demokratik, negara dibentuk dan diselenggarakan oleh permusyawaratan masyarakat, dalam hal ini sipil. Dan polisi diciptakan dalam rangka bersama masyarakat sipil, bukan dengan penguasa, oleh karena itu berdirinya polisi di bawah garis Presiden juga masih perlu dipertimbangkan dengan seksama. Sesuai dengan prinsip demokrasi, maka seharusnya polisi mempunyai kenetralan dalam ranah politik, demi menjaga profesionalitas yang berdasar pada norma demokrasi yaitu keterbukaan (openness) dan akuntabilitas (accountability) serta tidak melakukan pelanggaran HAM dalam melaksanakan tugasnya. (Alimah&Rosyidi)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sosialisasi Pilkada Serentak 2024: Serukan Pemilih Cerdas dan Tolak Politik Uang

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute- Dalam rangka memperkuat demokrasi dan keberagaman, KPU Kabupaten Cirebon gandeng Fahmina Institute mengadakan acara...

Populer

Artikel Lainnya