Ramadhan dimanapun intinya sama: melaksanakan ibadah puasa sesuai perintah agama. Tapi dalam tatanan sosial, ritual tahunan ini jadi mewah karena disaput dengan berbagai nuansa aksesoris lokal. Budaya, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari sebuah komunitas sosial, mau tidak mau ikut mewarnai ritual sebulan penuh tersebut. Belum lagi kalau bicara soal keragaman khas merayakan Lebaran.
Tahun 2002 lalu saya kebetulan bekerja di salah satu stasiun radio swasta di Cirebon. Itulah pertamakalinya saya menjalankan ibadah puasa di kota udang ini. Hari-hari pertama lumayan menyiksa. Saya yang terbiasa tinggal di daerah berhawa sejuk, sangat merasa tidak nyaman, dan tentu saja haus:-) karena keringat banyak keluar di daerah berhawa panas ini, padahal lagi puasa.. Tapi karena berusaha keras, maka lama-lama bisa juga beradaptasi.
Repotnya, justru di saat puasa, saya harus lebih banyak ‘jalan-jalan’ melaporkan arus mudik. Ketika itu kebetulan sedang menjalin kerjasama dengan Trijaya Network untuk program Liputan Lebaran (arus mudik /balik). Kebayang kan, siang-siang di saat matahari Cirebon lagi panas-panasnya, saya dan temen-temen harus kelayapan cari berita, termasuk memantau jalur Pantura. Belum lagi kalau terhalang macet di Tegal Gubuk, semacam pasar tumpah, yang konon merupakan bursa perdagangan kain terbesar di Asia Tenggara.
Yang menarik, setiap saat makan sahur, saya dibangunkan bukan oleh suara kentongan dan teriakan “sahuur..sahuur!”, melainkan oleh suara nyanyian tarling khas Cirebon. Hebatnya, lagu-lagu tersebut dimainkan dengan alat musik lengkap (gitar & bass elektrik, tom-tom, tamborin) plus sound system yang didorong di atas roda. Bahkan kalau lagi mujur, ada penyanyi wanitanya juga:-)
Orang Cirebon menyebut kelompok musik musiman ini: OBROG. Biasanya mereka mulai beraksi sekitar jam 2 pagi, dan berkeliling sesuai daerah operasinya untuk membangunkan orang-orang yang akan bersantap sahur. Tak ada keharusan untuk membayar, kecuali kita ingin ‘nanggap’. Tapi – ini uniknya – bukan berarti gratis. Soalnya, tepat di hari raya Lebaran, mereka akan berkeliling ke rumah-rumah di daerah operasi mereka untuk menagih upah lelah mereka selama bulan puasa. Tarifnya memang tidak ditentukan, yang penting memberi sebagai tanda ‘terimakasih’. Dan rasanya tidak pernah ada yang mengeluh, baik yang memberi maupun yang diberi. Seolah-olah sudah ada semacam kesepakatan tidak tertulis di kalangan masyarakat Cirebon untuk tetap memelihara budaya OBROG ini.
Lebaran tahun itu saya memang tak bisa mudik, karena liputan berlangsung sampai arus balik, kira-kira 2 minggu sesudah hari raya. Itu kali pertama saya berlebaran di ‘negeri orang’ karena biasanya kerja di manapun selalu menyempatkan diri pulang kampung pada saat Hari Raya. Sedih juga sih, tidak bisa kumpul dengan keluarga. Untunglah, sebulan penuh saya dihibur OBROG. Jadi saya pikir, pasti masih lebih sedih orang yang ditinggal pacar, seperti yang kerap dilantunkan penyanyi OBROG, “Mengkenen rasane..ditinggal rabiee..”
Tahun 2002 lalu saya kebetulan bekerja di salah satu stasiun radio swasta di Cirebon. Itulah pertamakalinya saya menjalankan ibadah puasa di kota udang ini. Hari-hari pertama lumayan menyiksa. Saya yang terbiasa tinggal di daerah berhawa sejuk, sangat merasa tidak nyaman, dan tentu saja haus:-) karena keringat banyak keluar di daerah berhawa panas ini, padahal lagi puasa.. Tapi karena berusaha keras, maka lama-lama bisa juga beradaptasi.
Repotnya, justru di saat puasa, saya harus lebih banyak ‘jalan-jalan’ melaporkan arus mudik. Ketika itu kebetulan sedang menjalin kerjasama dengan Trijaya Network untuk program Liputan Lebaran (arus mudik /balik). Kebayang kan, siang-siang di saat matahari Cirebon lagi panas-panasnya, saya dan temen-temen harus kelayapan cari berita, termasuk memantau jalur Pantura. Belum lagi kalau terhalang macet di Tegal Gubuk, semacam pasar tumpah, yang konon merupakan bursa perdagangan kain terbesar di Asia Tenggara.
Yang menarik, setiap saat makan sahur, saya dibangunkan bukan oleh suara kentongan dan teriakan “sahuur..sahuur!”, melainkan oleh suara nyanyian tarling khas Cirebon. Hebatnya, lagu-lagu tersebut dimainkan dengan alat musik lengkap (gitar & bass elektrik, tom-tom, tamborin) plus sound system yang didorong di atas roda. Bahkan kalau lagi mujur, ada penyanyi wanitanya juga:-)
Orang Cirebon menyebut kelompok musik musiman ini: OBROG. Biasanya mereka mulai beraksi sekitar jam 2 pagi, dan berkeliling sesuai daerah operasinya untuk membangunkan orang-orang yang akan bersantap sahur. Tak ada keharusan untuk membayar, kecuali kita ingin ‘nanggap’. Tapi – ini uniknya – bukan berarti gratis. Soalnya, tepat di hari raya Lebaran, mereka akan berkeliling ke rumah-rumah di daerah operasi mereka untuk menagih upah lelah mereka selama bulan puasa. Tarifnya memang tidak ditentukan, yang penting memberi sebagai tanda ‘terimakasih’. Dan rasanya tidak pernah ada yang mengeluh, baik yang memberi maupun yang diberi. Seolah-olah sudah ada semacam kesepakatan tidak tertulis di kalangan masyarakat Cirebon untuk tetap memelihara budaya OBROG ini.
Lebaran tahun itu saya memang tak bisa mudik, karena liputan berlangsung sampai arus balik, kira-kira 2 minggu sesudah hari raya. Itu kali pertama saya berlebaran di ‘negeri orang’ karena biasanya kerja di manapun selalu menyempatkan diri pulang kampung pada saat Hari Raya. Sedih juga sih, tidak bisa kumpul dengan keluarga. Untunglah, sebulan penuh saya dihibur OBROG. Jadi saya pikir, pasti masih lebih sedih orang yang ditinggal pacar, seperti yang kerap dilantunkan penyanyi OBROG, “Mengkenen rasane..ditinggal rabiee..”
Sumber: bukamulut.blogspot.com