KH Abdurrahman Wahid baik semasa hidup, wafat, dan setelahnya, merupakan fenomena. Tindakan dan perkataannya menggerakkan banyak orang. Pun, setelah dikebumikan, tak hentinya orang berziarah.
Menurut KH Husein Muhammad, basis spiritual Gus Durlah faktor utamanya. “Basis spiritual itu kalau menurut saya yang menggerakkan, cahaya hatinya,” katanya selepas peluncuran buku Sang Zahid di The Wahid Institute, Matraman, Jakarta, Selasa (26/9).
Hati itu, sambung Husein, cahaya hati itu kalau bersih dan tulus, getaran-getaran elektroniknya akan menembus jantung orang.
“Bagaiamana orang-orang di kampung itu bisa kenal Gus Dur. Siapa orang besar di sini yang seperti dia. Paling hanya pas meninggalnya saja. Setelah itu sudah bubar. Nggak ada lagi.”
Pengasuh pesantren Darut Tauhid, Cirebon ini semula menduga masyarakat membutuhkan waktu panjang untuk memahami Ketua Umum PBNU 1984 dan cucu Hadrotusy Syekh KH Hasyim Asy’ari.
“Tetapi Gus Dur ini cepat sekali menjadi legendanya.”
Husein berpendapat, kemungkinan lahir sosok Gus Dur selalu ada, “Wali itu harus selalu ada pada setiap masa. Nabi mengatakan, Allah akan membangkitakan orang yang akan memperbaharui agama. Agama sudah begitu rusak. Banyak klaim agama yang tidak ramah kepada manusia, merusak,” jelasnya.
Peringatan 1000 hari wafat KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) akan digelar diberbagai tempat. Salah satunya di Ciganjur, kediaman Gus Dur semasa hidup. Beragam acara akan digelar, mulai tahlilan, taushiyah, dan pentas kebudayaan.
Peringatan yang akan digelar 26 dan 27 September tersebut, akan dihadiri jamaah dari beragam tempat. NU Online berhasil menemui salah seorang warga yang sudah menggalang jamaah.
“Kami dari Tanjung Priuk akan berangkat enam truk sekitar dua ratus orang,” ujar Helmi salah seorang peserta peluncuran buku Sang Zahid buah karya KH Husein Muhammad di Wahid Institute, Matraman, Jakarta.
“Itu belum termasuk yang berangkat dengan mobil pribadi dan motor,” ujarnya.
Helmi mengaku mengetahui peringatan seribu hari wafat Gus Dur dari Gus Nuril Soko Tunggal Rawamangun, Jakarta. Kemudian para pengusaha yang memiliki truk dan mobil pribadinya disiapkan mengangkut jamaah.
“Jadi, kami tidak urunan. Itu truk-truk pribadi pengusaha kayu Sumenep, Madura, yang akan dengan gratis membawa jamaah,” ujarnya.
Menurut Helmi, mengajak mereka sangat mudah karena sudah terhubung dalam jamaah shalawat Nariyah KH Kholil As’ad Syamsul Arifin, Situbondo, yang tiap seminggu sekali berkumpul.
“Kami hadir disebabakan cinta kepada Gus Dur. Ia selalu membela keragaman, bersahaja dan sekaligus salah satu cucu pendiri Nahdlatul Ulama. Selain itu, karena KH Kholil As’ad Syamsul Arifin pernah mengisi shalawat Nariyah di Ciganjur,” katanya, ketika ditanya alasan kehadiran.
Selain dari Tanjung Priuk, Helmi juga mendapat informasi teman-temannya dari Taman Puring, Jakarta Selatan, Cibinong, dan Banten juga akan hadir berombongan.
“Dahsyat sekali. Sangat dahsyat! Saya kagum dengan fenomena ini. Saya kemudian mencari. Itulah kemudian saya menulis buku Sang Zahid,”komentar KH Husein Muhammad ketika diceritakan jamaah yang bersiap menghadiri peringatan 1000 hari wafat Gus Dur.
Karena itu, sambung pengasuh pesantren Darut Tauhid, Arjawinangun, Cirebon, semakin yakin betapa bahagianya orang-orang ikhlas seperti Ketua Umum PBNU 1984-1999.
“Ketika dia hadir sering tidak dipahami. Ketika tidak ada, dia dicari-cari,” tuturnya.
Ia kemudian mengutip sebuah hadits, Allah itu apabila mencintai seseorang, mengatakan kepada malaikat Jibril. “Hai Jibril, aku mencintai seseorang, maka cintailah dia!” Kemudian Jibril juga menceritakan kepada teman-temannya. “Hai malaikat, Allah mencintai si fulan, maka cintailah dia!”
“Apabila yang di langit itu mencintai si fulan, maka yang di bumi pun akan mencintai si fulan. Itu yang dicintai Allah seperti itu,” pungkasnya.
Wanita, kekuasaan, harta, bahkan kedudukan spiritual seperti kewalian, menjadi umpan menggiurkan bagi kebanyakan orang. Umpan-umpan ini begitu efektif dalam memalingkan hati manusia dari Tuhan. Tidak sedikit hati manusia yang tertambat pada wajah-wajah dunia itu.
“Tetapi Gus Dur adalah salah satu pengecualian dari orang kebanyakan. Gus Dur adalah jenis manusia yang tidak cinta dunia,” kata KH M. Luqman Hakim.
Gus Dur diberi kemampuan untuk mengelak dari perangkap-perangkap dunia, tambah Kiai Luqman Hakim, salah satu narasumber peluncuran buku di hadapan sedikitnya 250 peserta yang hadir.
Kemampuan ini merupakan gerakan pembebasan Gus Dur dari godaan duniawi. Dalam gerakan pembebasan yang dahsyat itu, Gus Dur memainkan jurus ampuhnya; menerima atas segala pemberian Tuhan.
Menurut Kiai Luqman Hakim, ‘penerimaan’ ini memudahkan jalan Gus Dur untuk menyingkirkan unsur-unsur duniawi.
Ada harta atau tidak, jadi presiden atau bukan, tidak menjadi persoalan bagi seorang Gus Dur.
Dari situ sebuah pemahan lanjutan diturunkan. Gus Dur yang tidak mencintai dunia, juga tidak menghindari dunia itu sendiri. Jadi, kehidupan Gus Dur berjalan selaras tanpa mengalami guncangan hebat karena hatinya selalu terpaut pada-Nya, tutup KH. Luqman yang terdengar oleh peserta yang meluber di luar ruang diskusi.(sumber: http://harianbangsa.com)