TEMPO.CO, Madiun – Mantan calon Wali Kota Madiun, Jawa Timur, Parji, mengaku kehilangan simpati pada kinerja Mahkamah Konstitusi. Ketaksukaannya makin menjadi setelah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tangan Akil Mochtar, Ketua MK, dalam kasus korupsi, Rabu malam, 2 Oktober 2013.
“Tertangkapnya Akil membuat independensi MK sangat dipertanyakan,” kata Parji kepada Tempo, Kamis, 3 Oktober 2013. Parji sendiri memang pernah dikecewakan MK.
Pada Agustus 2013 lalu, Parji yang berpasangan dengan Inda Raya kalah dalam pemilihan Wali Kota Madiun. Pasangan petahana Bambang Irianto-Sugeng Rismiyanto berhasil memenangi pilkada di sana.
Parji sempat mengajukan gugatan sengketa pilkada ke MK. Tapi MK menolak seluruh gugatannya pada sidang yang digelar 30 September 2013. “Putusan dari MK kepada kami sangat tidak adil,” kata Parji.
Meski putusan MK itu sudah final, Parji berharap kasus Akil akan membuka kemungkinan ada peninjauan ulang oleh MK. “Syukur-syukur putusan bisa di-review dengan adanya peristiwa semacam ini,” kata pria yang juga menjabat sebagai Rektor IKIP PGRI Madiun itu.
Disinggung tentang sosok Akil Mochtar, Parji menyatakan tidak banyak mengenal sosoknya. Apalagi, dia hanya sekali menghadiri persidangan di MK dengan agenda saksi. “Saya tidak banyak mengenalnya (Akil Mochtar). Yang saya tahu, background-nya dari parpol. Ini yang mungkin berpengaruh terhadap kinerjanya di MK,” kata dia.
Sementara Bambang Irianto, Wali Kota Madiun terpilih, menegaskan bahwa putusan MK tidak bisa diganggu gugat. “MK itu kolektif kolegial. Jadi tidak ada hubungannya antara keputusan pada 30 September dan kejadian tanggal 2 Oktober yang menimpa salah satu pejabat MK,” kata dia melalui pesan pendek.
sumber: tempo.co