Fahmina.or.id, Jakarta. Pada peringatan Hari Santi Nasinal yang jatuh pada tanggal 22 Oktober mendatang, Subdit Pesantren dan Madrasah Diniyah Pendis Kementerian Agama RI menggelar Regional Conference on Revitalization of Academic Tradition of Pesantren, salah satu tema yang diangkat yakni, “Pegon Sebagai Instrumen Akademik dalam Tradisi Islam Nusantara”. pada tanggal 14 Oktober 2016 di Hotel Mercure Ancol Jakarta, Jum`at (14/10).
Disebutkan dalam latar belakangnya, bahwa aksara pegon yang telah dikenal di pondok pesantren menunjukkan dengan jelas, bahwa pegon adalah salah satu kreatifitas pesantren untuk mempertahankan identitas sebagai tradisi Islam Nusantara.
Hal itu seperti ditegaskan pula oleh narasumber Dick van Der Meij, Ph.D. (Leiden University), menurutnya Pegon merupakan bukti kreatif para ulama di Nusantara ketika melakukan aktualisasi aksara Arab di tengah masyarakat Jawa, Madura, Sunda, dan daerah lainnya.
Prof. H. Syamsyul Hadi, S.S., M.A., Ph.D. (Universitas Gajah Mada) dalam konferensi tersebut menyinggung asal usul aksara pegon dari sisi sastra dan kebudayaan Islam di Jawa. “Aksara pegon ini tidak dapat dilepaskan dari aksara Jawi (Bahasa Melayu), sebab selain masih satu rumpun, juga perlunya para pengkaji naskah kuno (baca: filolog) untuk melakukan sharing bersama dalam banyak perspektif keilmuan,” terangnya.
Nampak hadir pula Narasumber lainnya, Prof. Hj. Titik Pudjiastuti, S.S., M.Hum. (Universitas Indonesia). ia mengatakan Aksara pegon mulai ditemukan sejak abad ke-15, lebih akhir dari aksara Jawi yang sudah dikenal sejak abad ke-14 melalui batu nisan. Hasil telusuran menyebutkan bahwa Aksara Pegon di beberapa tempat, seperti Jawa, Cirebon, Sunda, dan Madura mempunyai kekhasan masing-masing. Sayangnya, belum ada buku standar yang disepakati oleh kalangan pesantren tentang pedoman penulisan dengan aksara pegon.
“Aksara Pegon ini sebagian besar itu hasil adaptasi dari aksara Jawi berbahasa Melayu yang sudah lebih dulu berkembang di Sumatera dan sekitarnya. Hanya ada dua huruf yang berasal adapatasi huruf Jawa, yaitu dha dan tha,” ungkapnya.
Sementara itu, Mahrus eL-Mawa, filolog lulusan UI usai diskusi menyampaikan harapan kepada para pengambil kebijakan di Kementerian Agama RI, supaya aksara pegon dan Jawi dapat menjadi salah satu mata pelajaran dan mata kuliah wajib sebagai identitas keislaman di Indonesia saat ini. Dalam tradisi tulis, sumbangan terbesar umat Islam di Indonesia, khususnya di pondok pesantren adalah pelestarian aksara pegon hingga saat ini.
“Aksara pegon ini pula yang menjadi identitas Islam Nusantara, yang berbeda dengan aksara Arab pada umumnya. Pegon ini setara dengan huruf Parsi, Urdu, dan semacamnya,”katanya.
Adapun peserta yang hadir pada konferensi regional tersebut diantaranya; berasal dari jajaran pegawai Kantor Wilayah Kementerian Agama RI se-Indonesia via Kasi-nya, pengurus Rabitah Ma’had al-Islamiyyah (RMI) PBNU, peneliti dan akademisi.
Dengan pelaksanaan konferensi regional di atas, semakin jelas kontribusi Kementerian Agama RI melalui subditnya terhadap peringatan Hari Santri tahun 2016. Melalui kegiatan ini pula menegaskan bahwa Islam Nusantara bukanlah sesuatu yang a-historis, tetapi nyata dapat dijadikan pedoman dalam pendidikan dan pembelajaran sejak SD hingga S-3. [Ayus eL-Mawa]