Oleh: Abdullah Fikri Ashri
Bermacam stigma pernah merundung Alifatul Arifiati (38), perempuan aktivis di Cirebon, Jawa Barat. Mulai dari tudingan tidak menghormati laki-laki hingga fobia berkeluarga. Alih-alih diam, ia justru terus menyuarakan keadilan jender dan moderasi hingga ke luar negeri.
Alif, sapaannya, punya banyak atribusi. Ia dikenal sebagai anggota Fahmina Institute, organisasi untuk kemanusiaan dan keadilan. Ia juga aktif di Jaringan Cirebon untuk Kemanusiaan dan Mubadalah.id, portal Islam yang mempromosikan keadilan laki-laki dan perempuan.
Kesehariannya tak lepas dari isu keadilan jender dan moderasi. Seperti saat ditemui di kantor Mubadalah.id di Desa Klayan, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Senin (20/9/2021). Sore itu, Alif tengah berbincang dengan Faqihuddin Abdul Kodir, akademisi yang juga aktivis jender.
Sambil menggendong Rausyan Fikr, anaknya yang berusia 2 bulan, Alif membahas rencana pengkajian buku ”Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah!” karya Faqihuddin. Buku yang sudah ludes 1.500-an eksemplar ini ramai dibicarakan di berbagai webinar.
Seperti buku itu, Alif juga mencoba mendobrak pandangan yang keliru terhadap perempuan. Misalnya, perempuan hanya mengurusi urusan domestik rumah tangga. Persepsi itu tumbuh di lingkungan masa kecilnya di Desa Slatri, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
Pernah suatu ketika pada hari Minggu, tetangga menegur Alif dan saudara perempuannya karena bersantai di teras rumah saat ayahnya sibuk menjemur pakaian. Padahal, mereka telah membersihkan rumah dan ayahnya memang rutin mencuci pada akhir pekan.
”Saat itu saya berpikir, memangnya pembagian peran di rumah begitu? Perempuan yang mencuci?” kenang anak keempat dari enam bersaudara ini. Padahal, ayahnya, seorang guru, memang sering membantu ibunya mengurus rumah.
Ia juga mengkritisi pemilihan ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) di sekolahnya yang mensyaratkan ketua OSIS harus laki-laki, sedangkan perempuan cukup jadi sekretaris. Ia pun mempertanyakan, mengapa diskusi di organisasi kemahasiswaan lebih sering dilakukan pada malam hari.
Padahal, Alif yang tinggal di pondok pesantren di Cirebon kerap dilarang keluar malam. ”Malam-malam saya sampai loncat jendela untuk ikut diskusi PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Cirebon. Kenapa akses perempuan untuk pengkajian itu susah?” ujarnya.
Ia mulai menemukan berbagai jawaban itu saat menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Agama Islam Cirebon (IAIN Syekh Nurjati) awal tahun 2000 dan menjalani Pesantren Mahasiswa Fahmina Istitute. Di sanalah ia bertemu dengan para pemikir keadilan jender, seperti KH Husein Muhammad, KH Marzuki Wahid, dan Faqihuddin AK.
Selain aktif diskusi, Alif juga kerap diminta menulis notulen saat kegiatan Fahmina Institute. Dari proses-proses itulah ia kian memahami, perempuan dan laki-laki harus memiliki pembagian peran yang adil.
Di bangku kuliah juga, ia menguatkan pandangan moderasi beragama. Kala itu untuk pertama kali ia masuk gereja untuk berdialog lintas iman. ”Waktu itu tidak ada pandangan takut dikafirkan atau Islam saya luntur. Enggak kayak sekarang,” ucapnya.
Alif merasa, ruang perjumpaan beragam pemeluk agama sangat penting agar saling memahami dan mencegah konflik. Itu sebabnya, Alif turut menyebarkan paham toleransi, antara lain, melalui Sekolah Cinta Perdamaian atau Setaman sejak 2013.
Setaman, program Fahmina Institute, menyasar remaja untuk bertukar pengalaman dengan beragam latar belakang. ”Kami ingin menguatkan kesadaran akan keberagaman,” kata mantan Kepala Setaman ini.
Pada 2021, Alif juga menjadi fasilitator untuk Sekolah Moderasi Beragama yang digelar Fahmina Institute dan sejumlah organisasi. Kegiatan digelar di Kuningan dan Cirebon dengan setiap peserta sekitar 30 orang.
Stigma
Alif ikut menggerakkan Jaringan Cirebon untuk Kemanusiaan dengan menggelar peringatan Hari Perempuan Internasional setiap 8 Maret dan Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan setiap 25 November. ”Kami ke sekolah, desa, dan pesantren menyampaikan isu kesehatan reproduksi, perkawinan anak, dan kekerasan seksual,” katanya.
Perjuangannya tidak mulus. Ia acap kali mendapat stigma oleh rekan dan seniornya. Ketika ia belum menikah di usia kepala tiga, misalnya, sindiran menghunjamnya. ”Alif mah aktivis perempuan. Jadi, enggak mau nikah,” ucap Alif menirukan ungkapan temannya.
Paling menyedihkan, ada seniornya yang berpapasan di jalan dan bertanya dengan suara keras,”Eh, kapan undangannya?” Alif hanya diam, tak mampu berkata apa-apa. ”Saya sampai pernah nangis. Stigma itu menyakitkan,” katanya.
Tidak berhenti di situ. Setelah menikah, ia masih dituding fobia berkeluarga. ”Mereka bilang, Alif tuh aktivis perempuan. Jadi, enggak mau punya anak. Padahal, menikah atau punya anak itu, kan, pilihan,” ucapnya.
Ia menegaskan, perspektif keadilan jender dalam berkeluarga justru memudahkan suami dan istri karena bisa berbagi peran. Pandangan bahwa perempuan aktivis itu akan membuat ribet atau tidak menghormati suami adalah stigma yang keliru.
Beruntung, keluarga mendukung gerakannya. Alih-alih membungkamnya, stigma tersebut justru membulatkan tekadnya terus menyuarakan keadilan jender dan toleransi. Alif kerap bersuara tentang toleransi dan keadilan jender di desa, kampus, hingga luar negeri.
Pada 2017, ia terbang ke Belanda untuk berbagi cerita keberagaman dengan para misionaris yang pernah tinggal di Indonesia. Pertemuan itu difasilitasi Mensen Met Een Missie, organisasi di Belanda yang fokus pada perdamaian dan rekonsiliasi.
Organisasi tersebut juga mengajaknya ke Kenya pada 2019 untuk sebuah program konsorsium. Setahun berikutnya, ia kembali ke Kenya dalam program Youth Exchange for Freedom on Religion and Belief bersama tujuh anak muda dari Indonesia.
Di sana, mereka bertukar pengalaman dengan pemuda Kenya dan Belanda. Ia paling miris mendengar kisah kehamilan seorang anak perempuan di Kenya.
Anak itu hamil saat bapaknya pergi mencari kerja, tapi tak pulang-pulang. Akhirnya, ibunya juga pergi tanpa meninggalkan makanan dan uang. Saat kelaparan, anak perempuan itu coba mengambil mangga, tetapi tangannya enggak sampai.
”Akhirnya, ada laki-laki yang mau membantunya, tapi syaratnya harus tidur dengannya,” kata Alif yang juga kerap berbicara tentang isu perdagangan orang. Kondisi itu tidak jauh beda dengan realitas pernikahan dini di daerah kantong pekerja migran di Tanah Air.
Itu sebabnya, Alif meneguhkan hati tetap menyebarkan keadilan jender dan moderasi. ”Sederhananya, jangan memperlakukan sesuatu yang kamu enggak pengin diperlakukan seperti itu,” ujarnya.
Alifatul Arifiati
Lahir : Brebes, 16 Maret 1983
Suami : Abdulloh (35)
Anak: Roya Kafabillah (4)
Rausyan Fikr (2 bulan)
Pendidikan: MI Assalfiyah Slatri Utara, Brebes
MTs Negeri Ketanggungan, Brebes
SMA Negeri 1 Larangan, Brebes
Sarjana Hukum Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon
Profesi: Staf Fahmina Institute
Sumber tulisan: Kompas.id