“…Agama itu untuk Tuhan, sedangkan politik dan negara itu milik semua bangsa…”
Kalimat itu terlontar dari Murad Fathi Ismail Alhalayqah, salah satu peserta Program Calon Diplomat yang digelar Kementrian Luar Negeri RI, saat berbagi seputar isu konflik Palestina-Israel dalam diskusi dan sharing pengalaman “Kerukunan Umat Beragama” di Kampus Institute Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon. Pada Sabtu (10/04) lalu, Fahmina-institute menerima dan memfasilitasi kunjungan calon Diplomat Palestina tersebut. Dialog lintas agama pun kian menarik, ketika para peserta diskusi yang terdiri dari para pemuka agama, baik dari Kristen (Protestan maupun Katolik), Budha, komunitas pesantren, Ahmadiyyah, maupun akademisi saling berbagi pengalaman dan mengungkapkan gagasannya.
Di tengah dialog lintas agama itu, Murad seakan ingin menegaskan bahwa konflik Palestina dan Israel yang telah berlangsung puluhan tahun, bukanlah konflik atas nama agama (keyakinan). Di Palestina sendiri, ada Tiga macam agama. Yaitu; Islam, Kristen (Nasrani), dan Yahudi dari Palestina. Kendati berbeda keyakinan, mereka semua mampu hidup bersama-sama, rukun, dan saling menghargai antara agama satu dengan lainnya. “Ada kelompok Yahudi aseli dari Palestina, jumlahnya 3000 orang. Tetapi sampai sekarang mereka menolak untuk menjadi warga Negara Israel,” paparnya perlahan.
Mempererat Persaudaraan
Setelah kesepakatan damai Oslo pada Tahun 1993, lanjutnya, di Tahun 1994 muncul menteri dari kelompok Yahudi tersebut. Namun yang sangat terlihat berbeda, meskipun ada beragam keyakinan, namun masyarakat Palestina memiliki kesepakatan untuk menghargai setiap agama. Contohnya, setiap tiba hari raya Idhul Fitri maupun hari raya agama lainnya, semua masyarakat Palestina sepakat untuk ikut merayakannya secara bersama-sama.
“Mereka (warga Palestina) semuanya melawan Israel. Tetapi masalah yang kami hadapi adalah masalah semua bangsa. Semua rakyat yang dibawahi kependudukan untuk memperjuangkan kemerdekaannya dan untuk membangun negaranya yang independen. Jadi kita (masyarakat Palestina) tidak bicara masalah agama. Karena agama itu untuk Tuhan, sedangkan politik dan negara itu untuk semua bangsa,” jelasnya.
Murad menambahkan, apa yang diperjuangkan masyarakat Palestina sama halnya dengan apa yang dialami di Indonesia sebelum kemerdekaan. “Dimana Indonesia terus menerus melawan penjajah. Begitupun kami, kami di Palestina tidak punya masalah dengan orang Yahudi di New York dan maupun di Negara lainnya. Tapi masalahnya tentang Negara. Kami ingin rasa persaudaraan masyarakat kami semakin erat. Mungkin caranya seperti apa yang ada di Indonesia,” tegasnya.
Kendati demikian, Murad bersama ketiga temannya sesama calon Diplomat Palestina, yaitu Abdallah A.A Barghouti, Fadi Barghouti, serta Taher Ahmad dari Kedutaan Palestina, mengakui adanya fakta yang cukup sulit untuk dibantah. Fakta bahwa konflik Israel-Palestina berhasil membangun stigma di tengah masyarakat Islam sebagai konflik bernuansa agama. Pandangan yang dibangun berdasarkan asumsi bahwa Palestina diyakini sebagai salah satu simbol spiritualitas Islam, dan korban yang berjatuhan di tanah Palestina secara umum adalah masyarakat Islam.
Belajar Interaksi Budaya di Cirebon
Kunjungan warga Palestina calon Diplomat tersebut, menurut Kepala Bidang Diklat Struktural dan Kerjasama Lembaga Diklat (DSKLD) Kementrian Luar Negeri RI, Arko Hananto Budiadi, kunjungan untuk perkenalan dan memberi pemahaman kebersamaan dan kerukunan antarmanusia dengan aplikasi kehidupan yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah di Cirebon.
“Kenapa Cirebon menarik, karena Cirebon ada di perbatasan Jawa Barat (Jabar) dan Jawa Tengah (Jateng). Interaksi antarbudaya itu, setahu saya tidak ada gesekan-gesekan yang berarati. Mudah-mudahan dapat dipertahankan,” ujarnya.
Arko juga mengungkapkan, Indonesia selalu mendukung Palestina terutama untuk mencapai perdamaian. Salah satu bentuk dukungan kepada Palestina, selain terlibat dalam upaya perdamaian dengan Israel, juga mengadakan program “capacity building” bagi 1000 Pemuda Palestina untuk mempelajari tentang kebudayaan Indonesia. Termasuk salah satunya adalah melakukan dialog kerukunan antarumat beragama bersama Fahmina-institute Cirebon dan komunitas-komunitas jaringan Fahmina.
Sementara menurut Faqihuddin Abdul Kodir, Ketua Pengurus Yayasan Fahmina Cirebon, Fahmina terus melakukan langkah bersama komunitas jaringan dalam mengupayakan terwujudnya keberagamaan beragama. Dalam hal ini, tidak sedikit Fahmina melakukan advokasi kepada kelompok-kelompok agama yang termarjinalkan. Seperti yang pernah dialami Ahmadiyyah di Kuningan ketika mau diserang oleh golongan yang lain. Begitupun kepada kelompok Kristen, Fahmina pernah mengadvokasi mereka agar tidak dipersulit dalam mengurus pendirian tanpa tempat ibadah.
Selain mencoba mempertemukan para tokoh lintas agama melalui sebuah forum pertemuan, fahmina juga mengadvokasi kelompok agama yang termarjinalkan, serta melakukan penelitian tentang kerukunan antar umat beragama dan menerbitkan hasil penelitian melalui penerbitan media dan buku.
“Bahkan kita juga ikut mengadvokasi tempat pemakaman Kristen yang sempat ditolak oleh warga di seluruh makam. Itu di tingkat lokal, sementara di tingkat nasional, Fahmina memfasilitasi kelompok-kelompok minoritas agar isunya didengar oleh Komnas HAM, DPR RI dan Departemen Agama, kita juga sampai ikut menandatangani ajaran uji UU PNPS,” jelas Faqihuddin.
Kendati demikian, Faqihuddin tetap mengakui adanya kendala yang sampai saat ini masih dirasakan Fahmina. Salah satunya ketika mempertemukan beragam tokoh agama. (a5)