Sabtu, 27 Juli 2024

Beragam Cara untuk Membumikan Pancasila

Baca Juga

Oleh: Abdullah Fikri Ashri (Jurnalis HU. Kompas)

Berbagai upaya dilakukan pemuda di Cirebon, Jawa Barat, demi membumikan Pancasila, mulai dari doa lintas iman hingga pencegahan radikalisme di desa.

”Tuhan, seandainya seluruh warga mengamalkan Pancasila, hamba yakin intoleransi tidak ada di Indonesia. Damai itu indah, maka damaikanlah negeri ini….”

Petikan harap tersebut disampaikan Eka Wulan Yunita (21) dalam doa lintas iman via daring oleh Inspiration House (IH) di Cirebon, Jawa Barat, Selasa (1/6/2021). Sebanyak 13 anak muda, yang beragama Islam dan Kristen, turut bermunajat.

Mereka berdoa untuk Hari Kelahiran Pancasila, kesejahteraan dan persatuan bangsa, hingga harapan pandemi Covid-19 segera menurun. Sebagian berdoa secara spontan dan beberapa lainnya membaca teks. Semuanya khidmat, menundukkan kepala.

Baca juga : Pancasila Sudah Final

Doa lintas iman rutin digelar setiap Senin hingga Sabtu sejak awal pandemi Covid-19, April tahun lalu. Ketika pertemuan fisik dibatasi, mereka berjumpa secara virtual. Acara itu jadi salah satu program IH, komunitas yang bergerak di bidang pendidikan dan toleransi sejak 2014.

Bagi Eka, doa lintas iman merupakan wujud pengamalan Pancasila karena menghargai warga berbeda agama. ”Ini penting untuk persatuan agar tidak ada intoleransi yang membeda-bedakan latar belakang orang lain,” ungkap koordinator doa lintas iman itu.

Mahasiswa di kampus swasta di Cirebon ini mengaku sempat terperangkap dalam pemikiran intoleransi. Ketika duduk di bangku SMP, ia mencap temannya yang berbeda agama bukan orang baik hanya karena beradu mulut. Ia bahkan sempat menjauhi teman yang bukan Muslim.

Ketika bergabung dengan IH pada 2019, ia mulai berinteraksi intens dengan teman berbeda agama. ”Ternyata, baik buruknya seseorang itu tidak tergantung dari agama, ras, dan sukunya, tetapi dari tindakan pribadinya,” katanya.

Kini, berkat persentuhannya dengan orang yang berbeda agama, termasuk saat doa lintas iman, kawannya malah bertambah banyak. ”Mau dilihat atau tidak dilihat, kami akan terus berdoa,” kata Eka yang berdoa tanpa membaca teks.

Cici Situmorang (33), pendiri IH, mengatakan, doa lintas iman juga ditujukan untuk anggota IH atau keluarganya yang sakit, berpulang, hingga yang belum menyelesaikan skripsi. Semua berupaya saling menguatkan meski berbeda keyakinan.

”Yang kami enggak nyangka, sejak doa bersama awal pandemi, ada saja berkah, seperti sembako dan uang donasi,” katanya. Bantuan itu turut menunjang kegiatan belajar-mengajar gratis bagi puluhan anak kurang mampu di belakang Terminal Harjamukti dan Kelurahan Larangan, Cirebon.

Tim IH aktif mengajarkan bahasa Inggris dan Matematika. Metodenya, mulai dari bercerita hingga memanggil dokter, polisi, dan profesi lainnya untuk berbagi kisah demi memacu mimpi anak-anak itu. Mereka juga mengenalkan toleransi dengan berkunjung ke berbagai tempat ibadah di Cirebon.

Ketika diajak ke rumah ibadah, seperti gereja dan wihara, anak didiknya yang beragama Islam mengaku kagum. ”Saya selalu berpesan, kalau pulang, anak-anak jangan lupa ngaji,” kata Cici yang pernah dituding sesat oleh kenalannya di gereja karena kerap sempat masuk masjid.

Menurut Cici, anak-anak terpinggirkan, seperti anak jalanan, perlu pemahaman keberagaman agar tidak jadi korban diskriminasi. Apalagi, mereka telah mengalami ”diskriminasi” lainnya, seperti kesulitan akses pendidikan dan kesehatan.

Melawan radikalisme

Upaya merawat toleransi juga dilakukan Fahmina Institute, organisasi nirlaba yang bergerak pada isu keindonesiaan, kemanusiaan, dan keadilan di wilayah Cirebon. Salah satunya, program pendampingan pemuda desa untuk mencegah radikalisme.

Direktur Fahmina Institute Rosidin mengatakan, pendampingan dilakukan di 14 desa yang disinyalir rawan radikalisme sejak 2018. Misalnya, wilayah tertangkapnya terduga teroris. Daerah itu seperti di Kecamatan Jamblang, Dukuhpuntang, Pabuaran, dan Gunung Jati.

Pihaknya mencatat, dalam tujuh tahun terakhir, sebanyak 46 warga di Cirebon dan sekitarnya ditangkap Detasemen Khusus 88 Antiteror. ”Namun, pemerintah seolah-olah tidak punya strategi serius mengatasi radikalisme, termasuk bagaimana mengintegrasikan pelaku teroris yang sudah bebas dari penjara ke masyarakat,” ujarnya.

Itu sebabnya, pihaknya melatih pemuda mengidentifikasi gerakan radikalisme hingga membuat kegiatan yang mengedepankan keberagaman. Potensi radikalisme, misalnya, katanya, bisa dilihat jika ada yang menolak acara 17 Agustusan.

Baca Juga: KH. Makhtum Hannan:Pancasila dan Nilai Ajaran Islam

Devi Farida (21), warga Pabuaran, merasakan perubahan paradigma setelah mengikuti program Fahmina Institute. Ia menghakimi orang Islam yang masuk gereja untuk silaturahmi sebagai murtad. ”Saya juga termakan hoaks kalau orang non-Muslim, China, mau menguasai Indonesia,” katanya.

Pemahamannya berbalik ketika menjalani Sekolah Cinta Perdamaian (Setaman) 2016, program Fahmina. Ia pun lebih mengenal orang berbeda agama. Pemikirannya juga lebih terbuka karena tergabung dalam Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Pabuaran.

Oleh Fahmina, ia ditunjuk sebagai pendamping program antiradikalisme di Pabuaran. Seorang terduga teroris pernah ditangkap di daerah sana. Devi sempat menemukan potensi radikalisme.

”Misalnya, ada perempuan yang dilatih memanah di depan masjid. Katanya, itu persiapan karena Indonesia mau perang,” katanya.

Bersama Gerakan Pemuda Ansor dan Barisan Ansor Serbaguna NU, ia mendekati kelompok itu secara persuasif. Akhirnya, latihan itu tidak berlanjut. Devi juga membuat Setaman di Pabuaran yang diikuti 30 pemuda. Mereka berdialog dengan tokoh berbagai agama.

Mahasiswa Universitas NU Cirebon ini juga menyelenggarakan buka puasa lintas iman pada 2020 di Ciledug. Selain IPPNU, turut hadir pemuda Kristen hingga penghayat Sunda Wiwitan dari Cigugur, Kuningan.

” Masak iman saya goyah hanya karena dialog dengan beda agama?”

Devi mengaku perjuangannya tidak mudah. ”Saya dikeluarkan dari grup (Whatsapp) kelompok tertentu karena masuk gereja. Masak iman saya goyah hanya karena dialog dengan beda agama?” kata Ketua IPPNU Kabupaten Cirebon tersebut.

Apa yang dilakukan Eka, Cici, Rosidin, dan Devi merupakan beragam cara membumikan Pancasila. Mereka berupaya ”menanam” Indonesia yang lebih damai untuk masa depan meski tidak mudah.

Sumber tulisan: Kompas.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Pernyataan Sikap Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Atas Kejahatan Kemanusiaan Israel di Palestina

Bismillahirrahmaanirrahiim Menyikapi tindakan-tindakan genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Zionis Isreal terhadap warga Palestina, yang terus bertubi-tubi dan tiada henti,...

Populer

Artikel Lainnya