Salah satu kenyataan yang secara sadar dinilai buruk dan merusak, tetapi berulang kali dilakukan oleh banyak orang di negeri ini adalah “korupsi”. Bukan tidak mau menghindar dan bertobat, melainkan jika tidak melakukannya rasanya tidak wajar dan tidak memperoleh tambahan yang berarti dari yang dilakukannya. Ini yang seringkali dijadikan alibi oleh “para koruptor” bahwa korupsi itu bukan karena tindakan yang kotor melainkan sistem birokrasi dan sistem pemerintahan kita yang mengkondisikan para birokrat, politisi, dan semua yang bersentuhan dengan sistem itu (termasuk masyarakat) terlibat dalam tindak korupsi.
Warkah al-Basyar Vol. VIII Edisi 18 (05 Juni 2009 M./11 Jumadil Akhir 1430 H).
Kenyataan ini menunjukkan bahwa “korupsi” di negeri ini bukan lagi problem moral dan hukum semata, melainkan telah menjadi persoalan budaya yang secara sistemik-struktural menggurita dalam kehidupan bangsa. Bahkan, meski sudah diketahui bahwa ”korupsi” adalah pelanggaran terhadap hukum, tetapi tidak sedikit pejabat pemerintah, politisi, pengusaha, dan masyarakat malah menjadikan “korupsi” sebagai jalan pintas oleh untuk mencapai tujuannya. Aneh memang!
Sesuai dengan arti asalnya, dari bahasa Latin corruptio atau corruptus, “korupsi” berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, dan penyimpangan dari kesucian. Inti dari korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Jika kita pegangi pengertian ini, maka tradisi korupsi telah merambah ke seluruh dimensi kehidupan manusia secara sistematis, sehingga masalah korupsi merupakan masalah yang bersifat lintas-sistemik dan melekat pada semua sistem sosial, baik sistem feodalisme, kapitalisme, komunisme, maupun sosialisme (George Junus Aditjondro: 1998).
Banyak modus operandi korupsi dilakukan, mulai dari jebakan, sembunyi-sembunyi, hingga terang-terangan karena telah menjadi kebiasaan. Banyak alasan orang melakukan korupsi, mulai dari lumayanan, eman-eman jika tidak diambil, hingga karena ketamakan dan kerakusan. Tidak saja dilakukan oleh kalangan papan atas (di pusat), korupsi juga rajin dilakukan oleh kalangan papan bawah (di daerah, kecamatan, hingga desa). Korupsi telah menjadi kejahatan dan kemadlaratan yang mewabah dan menjadi “candu” bagi pelakunya.
Kita tahu bahwa akibat korupsi, negara menjadi “bangkrut”, ketidakadilan semakin terasa pedih, jurang kemiskinan semakin menganga, tanggungjawab pemerintah semakin rapuh, dan masyarakat semakin permisif.
Pandangan dan Sikap Islam
Pandangan dan sikap Islam terhadap korupsi sangat tegas: haram dan melarang. Banyak argumen mengapa korupsi dilarang keras dalam Islam. Selain karena secara prinsip bertentangan dengan misi sosial Islam yang ingin menegakkan keadilan sosial dan kemaslahatan umum (iqâmat al-‘adâlah al-ijtimâ’iyyah wa al-mashlahat al-‘âmmah), korupsi juga dinilai sebagai tindakan pengkhianatan dari amanat yang diterima dan pengrusakan yang serius terhadap bangunan sistem yang akuntabel. Oleh karena itu, baik al-Qur’ân, al-Hâdits maupun ijmâ’ al-‘ulamâ menunjukkan pelarangannya secara tegas (sharîh).
Dalam al-Qur’an, misalnya, dinyatakan: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan cara batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (cara berbuat) dosa padahal kamu mengetahui”. (QS. Al-Baqarah; 2: 188). Dalam ayat yang lain disebutkan: “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara batil, kecuali dengan cara perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu… (QS. An-Nisâ’; 4: 29).”
Sedangkan dalam al-Hadîts lebih konkret lagi, dinyatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Allah melaknati penyuap dan penerima suap dalam proses hukum (HR: Tirmidzi, Ahmad dan Ibn Hibban). ”Dalam redaksi lain, dinyatakan: “Rasulullah Saw melaknati penyuap, penerima suap, dan perantara dari keduanya (HR: Ahmad dan ath-Thabrani).” Kemudian dalam kesempatan yang berbeda, Rasulullah Saw bersabda: “penyuap dan penerima suap itu masuk ke neraka.”
Semua ulama bersepakat atas keharaman penyuapan, baik bagi penyuap, penerima suap maupun perantaranya. Meski secara konseptual terdapat sedikit perbedaan, tetapi tindakan suap-menyuap, mencuri uang negara, menyalahgunakan kekuasaan, dan mengkhianati amanah publik merupakan bagian dari tindak pidana korupsi. Tindakan ini dikutuk baik oleh agama, kemanusiaan, maupun hukum yang berlaku sebagai tindakan kedhaliman (dhâlim), kejahatan (jinâyah), maupun kerusakan (mafsadah).
Inspirasi Sejarah Islam
Dalam sejarah Islam sering dikutip kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, salah seorang Khalifah Bani Umayyah, sebagai pemimpin Muslim yang anti-korupsi. Umar bin Abdul Aziz sangat unik. Di tengah-tengah para pemimpin yang korup dalam komunitas istana, ia sebagai Khalifah malah senantiasa mempertimbangkan dan memilah-milah antara fasilitas negara dengan fasilitas pribadi dan keluarga secara ketat. Keduanya tidak pernah dipertukarkan.
“Pada suatu malam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz berada di kamar istana melakukan pekerjaan berkaitan dengan urusan negara. Tiba-tiba salah seorang anaknya mengetuk pintu ingin menemui bapaknya. Sebelum masuk, ditanya oleh Khalifah, “Ada apa Anda malam-malam ke sini?” “Ada yang ingin dibicarakan dengan Bapak”, jawab anaknya. “Urusan keluarga atau urusan negara?” tanya balik Khalifah. “Urusan keluarga”, tegas anaknya. Seketika itu, Khalifah mematikan lampu kamarnya dan mempersilakan anaknya masuk. “Lho, kok lampunya dimatikan?,” tanya anaknya sambil keheranan. “Ini lampu negara, sementara kita mau membicarakan urusan keluarga, karena itu tidak boleh menggunakan fasilitas negara,” demikian jawab Khalifah. Sang anak pun mengiyakannya.
Itulah sekelumit cerita tentang Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam upayanya untuk menegakkan good and clean governance, melalui sikap-sikap yang akuntabel dan menghindari pemanfaatan fasilitas negara untuk kepentingan diri, kelompok, dan keluarganya. Adakah pemimpin sekarang seperti Khalifah Umar bin Abdul Aziz?[]