Jumat, 22 November 2024

Bersama Forum Tabayyun, Memahami Lebih Dekat Hidup Dibalik Hidup

Baca Juga

Forum Tabayyun“…kita harus menghargai pendapat, pandangan, serta kebebasan berorganisasi. Termasuk membangun  majelis taklim dengan nama apapun. Ini dijamin Undang-undang, hukum dan ajaran Islam, ini tidak perlu dibubarkan…”

Demikianlah sebagian dari benang merah yang diungkapkan oleh Marzuki Wahid, Moderator, dalam diskusi “Memahami Lebih Dekat Hidup Dibalik Hidup (HDH)” yang digelar pada Sabtu (6/3/10). Di tengah hujatan serta perlakuan diskriminatif masyarakat terhadap HDH, Fahmina-institute menggelar diskusi dengan menghadirkan jamaah Majelis Ta’lim HDH. Fahmina juga menghadirkan Mudjoni selaku penggagas sekaligus pemimpin HDH. Forum tabayyun, demikian moderator menyebut forum tersebut. Karena digelarnya forum ini bukan untuk merumuskan fatwa, baik fatwa mendukung ataupun menolak. 

“Ini hanya forum tabayyun dari Pak Mudjoni dan teman-teman HDH. Selama ini kita hanya mendengar dan membaca apa yang dipasok oleh media massa. Kalau yang diwawancarai tidak suka dengan HDH, maka hasilnya miring. Sekarang kita tahu apa HDH, apa visi dan misi serta bagaimana amaliahnya. HDH adalah yayasan majelis taklim yang tentu saja Islam,” lanjut Marzuki Wahid.

Apa yang diungkapkan moderator adalah berdasarkan proses diskusi antara Mudjoni, Jamaah HDH, aktifis fahmina, akademisi, serta sejumlah tokoh dari sejumlah lembaga di Wilayah Tiga Cirebon. Dalam forum itu, Mudjoni mengawalinya dengan menceritakan sejarah munculnya majelis HDH.  Sosok yang menolak disebut Kiai maupun Guru, itu juga mencoba meluruskan bahwa HDH bukanlah sebuah aliran seperti yang ramai disebutkan di media selama ini. HDH adalah sebuah majelis ta’lim biasa. Literatul yang diambil HDH juga masih diambil dari ayat-ayat al-Qur’an serta hadits Nabi. Begitupun ritual ibadah jamaah HDH,sama sekali tidak berbeda dengan ibadah umat Islam pada umumnya. Para jamaah HDH pun tetap berbaur dengan masyarakat sekitar. Tidak ada perbedaan sama sekali. HDH juga tidak membuka pendaftaran ataupun kaderisasi secara khusus. HDH sangat terbuka pada siapapun yang berminat. HDH juga tidak mengikat dan mensyaratkan apapun, HDH mengalir saja.

“Selama ini saya dianggap memiliki ajaran sesat, karena dikira saya mengajarkan booklet (berisi  tulisan pengalaman spiritualitas Ali Kusnandar). Padahal tidak benar, kami tidak mempelajari apa isi booklet itu. Kami mempelajari al-Qur’an dan al-Hadits yang dihubungkan dengan ilmu pengetahuan. Seandainya tujuh lautan dibikin tinta untuk menuliskan ayat Allah, itu tidak akan cukup. Al-Qur’an itu wahyu, itu yang meyakinkan. Disamping itu, kami ini orangnya ingin menjadi orang yang beriman kepada Allah SWT dengan beriman dan mengenal Allah SWT,” papar Mudjoni di tengah Forum Tabayyun.

Seharusnya Booklet Sudah Dimusnahkan

Sementara menurut Rosahan, salah satu jamaah HDH, booklet yang berisi cerita pengalaman spiritual Ali Kusnandar sebenarnya sudah lama hilang. Tepatnya bulan Juli 2003, ketika dia pertama kali menerima booklet tersebut dari Mudjoni. Namun belum sempat dibaca dan dipelajari isinya, ada seorang temannya bernama Sukari yang silaturahim ke rumahnya untuk mengajak berdiskusi. Sebelum pulang, Sukari meminjam booklet tersebut. Sayangnya, sejak saat itu sampai sekarang, booklet itu tidak dikembalikan lagi. Padahal, sebelumnya Sukari berjanji akan mengembalikan setelah tiga hari. Tapi tetap tidak kembali. Hingga tanpa disangka-sangka, booklet itu tersebar di banyak tempat. Sejak itulah, HDH dituduh sesat.

“Seharusnya booklet itu sudah dimusnahkan, jika isinya dianggap sesat dan tidak memberi manfaat. Tetapi malah diperbanyak dan tidak jelas oleh siapa, yang pasti bukan oleh jamaah HDH, karena jamaah HDH belum ada yang mengetahui isinya selain pak Mudjoni. Saya sendiri, sampai sekarang tidak pernah mengetahui isinya, apalagi mempelajari dan mengamalkannya kepada jamaah HDH,” ujar Rosahan.

Sebelum menutup acara, Marzuki Wahid menambahkan, booklet itu sama dengan komik. Tulisan yang bisa fiksi (karangan/tidak benar), bisa juga nonfiksi (kenyataan/benar). “Saya punya buku tentang atheism, tapi apakah buku atheism saya sesat? Ini soal cara pandang saja. Kemudian tentang munculnya fatwa dari pihak tertentu, perlu diketahui bahwa posisi fatwa sama sekali tidak mengikat. Itu hanya sebuah pendapat hukum. Orang mau bikin fatwa lain juga tidak masalah, mau dicuekin tidak apa-apa, bahkan mau dikutip juga tidak apa-apa,” tandas Marzuki Wahid menyikapi munculnya fatwa sesat yang ditujukan kepada majelis HDH.

Dalam diskusi tersebut, selain berusaha menjawab sejumlah pertanyaan dari peserta forum, Mudjoni dan jamaah HDH juga mendapatkan banyak masukan demi kebaikan HDH ke depan. Masukan juga berlaku untuk seluruh umat Islam, seperti yang diungkapkan moderator, “Kita harus belajar lebih banyak lagi dari Mufassirun, agar visi dan misi HDH lebih tajam, lebih jauh. Saya faham bahwa HDH ini belum titik, still going process.” (a5)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sosialisasi Pilkada Serentak 2024: Serukan Pemilih Cerdas dan Tolak Politik Uang

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute- Dalam rangka memperkuat demokrasi dan keberagaman, KPU Kabupaten Cirebon gandeng Fahmina Institute mengadakan acara...

Populer

Artikel Lainnya