Selama berabad-abad peradaban manusia telah membuat gambaran tentang perempuan dengan cara pandang ambigu dan paradoks. Perempuan dipuja sekaligus direndahkan. Ia dianggap sebagai tubuh yang indah bagai bunga ketika ia mekar, tetapi kemudian dicampakkan begitu saja begitu ia layu. Tubuh perempuan identik dengan daya pesona dan kesenangan seksual. Tetapi dalam waktu yang sama ia dieksploitasi demi hasrat diri dan keuntungan materi. Perempuan dipuji sebagai “tiang negara” dan ketika ia ibu, ia dipandang dengan penuh kekaguman : “surga di telapak kaki ibu”. Tetapi pada saat yang lain, ia menjadi makhluk Tuhan kelas dua. Dia terlarang tampil di panggung politik yang hingar-bingar. Ketika di meja makan, ibu setia menunggu bapak dan anak lelaki sampai mereka kenyang. Ketika ia seorang isteri, dia harus tunduk sepenuhnya kepada lelaki, suaminya. Ia tak boleh cemberut manakala suami bergairah terhadap tubuhnya, kapan saja, di mana saja dan dengan cara apa saja.
Selama berabad-abad peradaban manusia telah membuat gambaran tentang perempuan dengan cara pandang ambigu dan paradoks. Perempuan dipuja sekaligus direndahkan. Ia dianggap sebagai tubuh yang indah bagai bunga ketika ia mekar, tetapi kemudian dicampakkan begitu saja begitu ia layu. Tubuh perempuan identik dengan daya pesona dan kesenangan seksual. Tetapi dalam waktu yang sama ia dieksploitasi demi hasrat diri dan keuntungan materi. Perempuan dipuji sebagai “tiang negara” dan ketika ia ibu, ia dipandang dengan penuh kekaguman : “surga di telapak kaki ibu”. Tetapi pada saat yang lain, ia menjadi makhluk Tuhan kelas dua. Dia terlarang tampil di panggung politik yang hingar-bingar. Ketika di meja makan, ibu setia menunggu bapak dan anak lelaki sampai mereka kenyang. Ketika ia seorang isteri, dia harus tunduk sepenuhnya kepada lelaki, suaminya. Ia tak boleh cemberut manakala suami bergairah terhadap tubuhnya, kapan saja, di mana saja dan dengan cara apa saja.
Perempuan itu indah. Di banyak bagian dunia Arab, tubuh perempuan harus dilindungi dan dibungkus rapat-rapat, sering hanya menyisakan dua buah bola matanya atau bahkan acap wajahnya dilekatkan cadar hitam. Tubuhnya terlarang menantang laki-laki. Konon ini karena di dalamnya menyimpan sesuatu yang amat berharga. Bila melepaskan bungkus tubuhnya di ruang sosial, dia harus “ditertibkan” dan pelanggaran atasnya harus dihukum. Kemanapun dia harus selalu dikontrol. Hari ini, konon, di Saudi Arabia control atas tubuhnya dilakukan dengan teknologi “remote”.
Seorang feminis muslim Iran, Haideh Moghissi, mengemukakan keadaan di atas dengan tajam :”Ekspresi perempuan atas keinginan-keinginannya dan usahanya untuk memperoleh hak-haknya terlalu sering dianggap bertentangan dengan kepentingan-kepentingan laki-laki dan melawan hak-hak laki-laki atas perempuan yang telah diberikan oleh Tuhan”. Menurutnya, alasan utama untuk mendukung praktik-praktik control atas seksualitas dan moralitas perempuan adalah “adanya anggapan bahwa perempuan merupakan makhluk lemah dalam pertimbangan moral, memiliki kemampuan kognitif yang rendah, kuat secara seksual dan mudah terangsang. Dalam perspektif ini, perempuan cenderung melakukan pelanggaran”.[1] Lelaki begitu perkasa dan pemilik otoritas raja bahkan boleh jadi dewa.
Dalam konteks tradisi keagamaan, seluruh perbincangan tentang tubuh perempuan di atas merujuk pada dua kata sakti. Pertama: “Qiwamah al-Rajul” (kepemimpinan laki-laki). Kata ini disebut dalam teks suci paling otoritatif: al-Qur’an. Ayat ini dalam cara pandang laki-laki, memberi norma otoritas permanen bagi semua laki-laki yang dari situ seluruh relasi gender dibangun di segala ruang dan waktu. Pandangan yang kritis atas ayat ini menunjukkan sebaliknya. Ia bukanlah ayat normative dan tidak universal. Ia kontekstual dan nisbi. Kedua “al-Fitnah”. Kata ini dalam konteks gender, acapkali dimaknai dalam nada stigmatik terhadap perempuan. Perempuan adalah sumber godaan hasrat seksual, pemicu kerusakan/kekacauan social, dan yang menjerumuskan lelaki dalam petaka nestapa. Pemahaman ini diambil dari teks hadits Nabi yang popular : “Aku tidak meninggalkan, sesudah aku tiada, sebuah “fitnah” yang membahayakan laki-laki, kecuali perempuan”.
Pandangan bahwa perempuan sumber petaka dan kesialan laki-laki sesungguhnya tidak hanya berlaku dalam masyarakat Islam. Dalam dunia Eropa yang Kristen perempuan juga dianggap kurang layak bagi tingkah-laku moral. Hasrat-hasrat dalam tubuh perempuan mendorongnya untuk berjalan menuju setiap kejahatan. Laki-laki harus mengawasi setiap tingkah laku perempuan dan perempuan diciptakan untuk taat kepada laki-laki. St. Agustinus (354-430), bapak spiritualitas dunia barat, mengingatkan jemaatnya bahwa “melalui seorang perempuan dosa pertama datang, dosa yang membawa kematian bagi kita semua”.[2]
Pendeknya dalam banyak atau bahkan segala peradaban, perempuan tidak pernah menjadi manusia yang utuh, independen dan otonom. Mereka tidak dianggap sebagai manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang setara dalam memenuhi hak-hak social, ekonomi dan politik, bahkan hak-hak Tuhan. Perempuan seakan-akan tidak boleh memiliki dunia.
Ziya Gokalp (lahir 1876), penyair nasionalis besar dari Turki, bersenandung dalam desahan nafas panjang tentang realitas-realitas di atas:
Kekasihku-matahariku-bulanku-bintangku!
Dialah yang membikin aku mengerti puisi
Bagaimana mungkin undang-undang suci dari Tuhan
Memandang makhluk-makhluk
Menjadi tubuh yang hina-papa
Itu, pastilah ada tafsir yang keliru
Patriarkhisme
Pandangan-pandangan paradox, ambigu sekaligus penuh dengan nuansa-nuansa yang merendahkan, menguasai dan menindas perempuan di atas memperlihatkan bahwa perempuan hanya dilihat semata-mata dari aspek tubuh, seks dan biologis yang menjadi sumber kenikmatan hidup laki-laki. Pandangan penguasaan atas tubuh perempuan ini popular disebut sebagai pandangan patriarkhisme. Ia adalah sebuah ideologi yang memberikan kepada laki-laki legitimasi superioritas, menguasai dan mendefinisikan struktur sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik dengan perspektif laki-laki. Dunia dibangun dengan cara berpikir dan menurut dunia laki-laki. Ideologi ini terus dihidupkan dalam kurun waktu yang sangat panjang merasuki segala ruang hidup dan kehidupan manusia. Sementara perempuan pandang sebaliknya: Ia adalah eksistensi yang rendah, manusia kelas dua, the second class, yang diatur, dikendalikan, bahkan dalam banyak kasus seakan-akan sah pula untuk dieksploitasi dan dikriminalisasi hanya karena mereka hadir dengan tubuh perempuan.
Konon kisah kejatuhan Adam dari sorga gara-gara Hawa dianggap sebagai titik awal penindasan tersebut. Ia dihidupkan secara terus menerus dari generasi ke generasi dan kurun waktu yang sangat panjang melalui teks-teks keagamaan dan mitologi-mitologi. Tak pelak, jika kondisi kebudayaan seperti ini pada gilirannya melahirkan berbagai bentuk aturan, kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik diskriminasi, marjinalisasi dan kekerasan terhadap perempuan yang acap kali dianggap sebagai situasi dan praktik yang wajar, baik-baik saja bahkan paling ideal.
Pandangan dan pikiran seperti itu dalam banyak sejarah telah melukai dan menghancurkan berjuta tubuh perempuan dan celakanya, hanya karena soal tubuh itu, dalam waktu yang sama ia mencerabut ruh, jiwa, pikiran dan energy perempuan. Bangunan kehidupan yang diciptakan itu sesungguhnya telah kehilangan pengetahuan yang cukup mendalam tentang eksistensi perempuan. Mata mereka buta bahwa dalam tubuhnya tersimpan seluruh potensi besar kemanusiaan. Perempuan memiliki jiwa yang membuatnya bisa melukis dan menari-nari, akal-intelektual yang membuatnya bisa mencipta dan menggagas dunia ideal, hati nurani yang membuatnya bisa menyinta dan merindu dan energy fisik yang membuatnya selalu memberi dan mengabdi tanpa lelah untuk kehidupan dan bekerja bagi tanah air. Fakta-fakta sejarah manusia sepanjang zaman; dalam dunia pendidikan, ilmu pengetahuan, ekonomi, profesi, budaya, seni, dunia spiritual dan peradaban manusia lainnya telah memperlihatkan eksistensi potensial perempuan tadi.
Dunia Menggugat
Dewasa ini patriarkhisme tengah menghadapi gempuran-gempuran dahsyat dari kebudayaan dan peradaban modern, sebuah dunia baru yang mendasarkan diri pada demokrasi dan hak-hak dasar manusia. Demokrasi meniscayakan system yang mengidealkan tidak adanya struktur hirarkis yang mapan. Ia adalah system kehidupan bersama yang terbuka bagi setiap individu sambil meniscayakan tanggungjawab dan penghargaan terhadap martabat manusia. Dan hak-hak asasi manusia memberi basis fundamental bagi kemerdekaan dan kesetaraan tiap individu manusia, lelaki, perempuan dan makhluk Tuhan apapun.
Para pejuang demokrasi, hak-hak asasi manusia dan lebih spesifik lagi hak asasi perempuan menemukan momentum paling signifikan ketika kata gender lahir. Kata ini kemudian menjadi sebuah alat analisis paling jitu sekaligus sakti untuk melihat ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan tersebut berikut konsekuensi-konsekuensi dan implikasi-implikasi yang menyertainya. Melalui alat ini kemapanan dan pemapanan relasi timpang antara laki-laki dan perempuan dibedah dan didekonstruksi. Gender tidak bicara soal tubuh manusia. Karena tubuh manusia berikut seluruh anatominya telah tercipta seperti adanya baik berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan atau jenis lain, begitu ia terlempar ke dunia. Ia adalah kreasi Tuhan yang tak dapat ditiru. Gender bicara tentang apakah yang menggerakkan tubuh manusia. Apakah yang membuat manusia bisa mengaktualisasikan dan mengekspresikan tubuhnya. Apakah yang membuat manusia mengerti tentang kehidupan dan memilih, mempresentasikan kegembiraan atau duka nestapa?. Dan seterusnya. Dengan kata lain gender bicara soal ruh, akal dan energy factual yang tersimpan dalam setiap individu manusia yang dengannya manusia mengada, mengaktualisasikan dan mengekspresikan dirinya dalam dunia.
Pertanyaan utamanya adalah apakah ruh, jiwa, akal dan energy laki-laki dan perempuan diciptakan Tuhan secara berbeda pula, sedemikian rupa sehingga tak seorangpun mampu merubahnya, sebagaimana jenis kelamin biologis di atas?. Lalu apakah laki-laki memiliki ruh, akal dan energy yang lebih unggul daripada perempuan?. Al-Jahiz (w. 255 H), sastrawan besar abad III H/IX M, menyampaikan pandangannya yang tajam mengenai ini :
“Kita tidak mengatakan, dan setiap orang bijak tidak akan mengatakan, bahwa perempuan lebih unggul atau lebih rendah satu tingkat, dua atau lebih”.[3]
Ibnu Rusyd, filosof muslim terbesar menyampaikan pandangannya sebagaimana yang kemudian dikatakan feminis laki-laki, Qasim Amin : “Anna al-Ikhtilaf baina al-Nisa wa al-Rijal Innama Huwa fi al-Kamm La fi al-Thab’i” (perbedaan perempuan dan laki-laki hanyalah dalam hal kapasitas bukan dalam hal potensi alamiyahnya/cetak biru Tuhan).[4] Kapasitas adalah sesuatu yang kondisional dan kontekstual. Sesuatu yang nisbi. Tak seluruh laki-laki memiliki kapasitas intelektual lebih unggul dari kapasitas intelektual seluruh perempuan, atau sebaliknya, dan seterusnya. Al-Qur’an dengan sangat indah sekaligus mencengangkan menyebut kenisbian kapasitas keunggulan ini: “Ba’dhahum ‘ala Ba’dh” (sebagian atas sebagian). Kitab suci ini tidak mengatakan : “Seluruh laki-laki atas seluruh yang lain”. Maka sepanjang orang, siapa saja, laki-laki atau perempuan, berkehendah mengeksplorasi, mengembangkan, memekarkan dan menjulangkan potensi dirinya dan ruang di luar dirinya tak menyergapnya, keunggulan kapasitas itu akan tampak terang-benderang.
Dalam bukunya “Talkhish al-Siyasah Li Aflathan (Ringkasan buku “Politiea”/Republik, karya Plato, filosof ini mengatakan: “Sepanjang perempuan tumbuh dan besar dengan kecerdasan dan kapasitas intelektual yang cukup, maka tidaklah mustahil, kita akan menemukan di antara mereka para filosof/kaum bijak-bestari, para pemimpin public-politik dan semacamnya. Memang ada orang yang berpendapat bahwa perempuan seperti itu jarang ada, apalagi terdapat hukum-hukum agama yang tidak mengakui kepemimpinan politik perempuan, meski sebenarnya ada juga hukum agama yang membolehkannya. Akan tetapi sepanjang perempuan-perempuan di atas ada, maka itu (kepemimpinan perempuan) bukanlah hal yang tidak mungkin”.[5]
Ibnu Arabi, menjadi sufi terbesar sepanjang sejarah dalam dunia muslim, sesudah memperoleh pengetahuan esoterisnya dari paling tidak tiga perempuan cerdas dan suci: Fakhr al-Nisa, sufi perempuan terkemuka dan idola para ulama laki-laki dan perempuan yang darinya dia mengaji kitab hadits “Sunan al-Tirmidzîy”, Qurrah al-Ain, perempuan dengan pengetahuan ketuhanan yang sangat luar biasa dan Sayyidah Nizham (Lady Nizham), biasa dipanggil “Ain al-Syams” ( sumber cahaya matahari), dan “Syaikhah al-Haramain” (Guru Besar dua kota suci). [6] Seperti Ibnu Arabi, banyak kaum perennial acap menyebut “Layla” sebagai symbol Tuhan Yang Maha Indah.
Belakang pandangan sarajana dan cendikiawan di atas menginspirasi para feminis modern, semacam Qasim Amin, Nazhirah Zainuddin, Rifat Hasan, Asghar Ali Engineer, Laela Ahmad, Fatimah Mernisi, Aminah Wadud Mohsin, Nasr Hamid Abu Zaid, dan Khaled Abou Fadl, untuk menyebut beberapa saja. Pandangan para sarjana dan aktifis muslim ini sangatlah menarik, meski menyulut kontroversi dan ledakan kemarahan sejumlah pihak di banyak belahan dunia. Wacana keagamaan diskriminatif, bagi mereka adalah tak masuk akal, bukan saja karena ia jelas-jelas bertentangan dengan ruh dan cita-cita keadilan Islam sendiri tetapi juga dalam konteks perkembangan sosial yang membarui dirinya secara terus menerus tanpa henti. Pada tataran realitas relasi social kontemporer, pandangan-pandangan konservatif sendiri sejatinya tengah menghadapi proses alienasi sosial ditinggalkan dan diacuhkan, meskipun terlalu sering kali tidak mereka sadari. Meskipun tafsir-tafsir dan fiqh-fiqh konvensional di atas masih terus dibaca dan diajarkan di ruang-ruang pendidikan keagamaan dan budaya, tetapi secara factual ia semakin tidak lagi efektif, meski acap dipaksakan melalui berbagai otoritas keagamaan, bahkan otoritas politik, dalam kerangka “biar tampil mempesona”. Berbagai keputusan hukum lembaga-lembaga keagamaan acap hanya sebagai keputusan di atas kertas, tetapi tidak implementatif dan efektif. Ia muncul atau dimunculkan entah untuk apa. Realitas perkembangan sosial-ekonomi-politik dewasa ini jelas-jelas menuntut dan memaksa kaum perempuan terlibat dalam aktifitas-aktifitas yang luasdan masif, bukan hanya pada ruang domestik, menjaga rumah, menunggu suami dan membesarkan serta mendidik anak-anak mereka, tetapi juga bergulat pada ruang-ruang publik secara lebih luas. Pergumulan dan keterlibatan mereka dalam ruang-ruang di atas, bukanlah sekedar untuk memenuhi tuntutan-tuntutan yang bersifat material dan pragmatis belaka, melainkan juga untuk kehendak mengaktualisasikan dimensi-dimensi kemanusiaan mereka, melepaskan ketergantungan yang menyiksa, mengembangkan potensi-potensi diri yang dihambat dan dalam rangka ikut memberi makna kebahagiaan bersama di tengah warga dunia. Ini adalah keniscayaan perkembangan modernisme yang tidak dapat disangkal atau dilawan. Ia benar-benar factual, dan bukan kehendak-kehendak spekulatif apalagi angan-angan.
Kaum feminis muslim progresif berpendapat bahwa perkembangan dan dinamika kehidupan di atas haruslah direspon dengan penuh apresiasi oleh masyarakat muslim semata-mata dalam kerangka Islam, bukan didesakkan oleh tuntutan-tuntutan dari luar dirinya. Mereka percaya sepenuhnya bahwa Islam adalah agama keadilan, agama yang merahmati seluruh warga dunia. Bagi mereka tak ada jalan lain untuk menjawab dinamika social di atas, kecuali melakukan pemaknaan ulang (reinterpretasi) atas teks-teks keagamaan dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip dan cita-cita agama tadi. Setiap pandangan keagamaan yang melahirkan ketidakadilan, menurut mereka sudah waktunya diinterpretasi ulang. Sambil melancarkan kritik-kritik terhadap produk pikiran keagamaan diskriminatif, mereka menawarkan jawaban-jawaban alternative yang lebih berkeadilan dan merintis metodologi kontekstual.
Tauhid untuk Keadilan dan Kesalingan
Basis utama perhatian kaum feminis muslim di atas adalah prinsip Tauhid (Keesaan Tuhan) yang diekpresikan dalam kata-kata “La Ilaha Illa Allah”. Prinsip fundamental dan inti Islam ini ingin menegaskan bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah. Pernyataan ini mengandung makna bahwa tidak ada di jagat raya ini, Eksistensi Pemilik Otoritas Absolut selain Tuhan, Allah. Eksistensi Kemahatunggalan Tuhan tidak melulu diajukan dalam kerangka pemaknaan teosentrisnya, tetapi lebih dalam kerangka manusia dan kemanusiaan. Dengan kata lain, Keesaan Tuhan harus menjadi landasan utama untuk tatakelola manusia dalam siklus kehidupan mereka di muka bumi ini. Tauhid adalah jantung dan ruh Islam. Kepadanyalah seluruh gerak dan pemikiran manusia dilandaskan, diarahkan dan dipersembahkan. Sayyed Hossein Nasr, salah seorang cendikiawan muslim terkemuka kelahiran Iran menyatakan : “Jantung atau inti Islam adalah penyaksian Ke-Esa-an Tuhan, Universalitas, Kebenaran, kemutlakan untuk tunduk kepada kehendak Tuhan, pemenuhan segala tanggungjawab manusia dan penghargaan terhadap seluruh makhluk hidup”.[7]
Pemaknaan Tauhid seperti ini sejatinya mengandung gagasan pembebasan manusia dari segala bentuk perendahan (subordinasi), diskriminasi dan penindasan atas martabat manusia (dignity) atas dasar apapun. Pada sisi lain gagasan teologis ini hendak menempatkan manusia sebagai ciptaan Tuhan yang terhormat dengan konsekuensi keniscayaan bagi setiap individu atau kelompok manusia memandang sesamanya sebagai makhluk yang mandiri (bebas) dan dalam posisi yang setara serta memperlakukannya secara adil dan kesalingan proporsional. Keadilan tidak bicara tubuh laki-laki atau perempuan, tetapi soal nilai-nilai dan kualitas-kualitas dalam diri yang dengannya tubuh memperoleh tempat dan peran yang tepat. Inti teologi Tauhid mengharuskan kita menata kehidupan social, budaya, ekonomi dan politik dalam persepektif kemandirian (kebebasan), kesetaraan, keadilan dan kesalingan. Terma-terma tiga yang pertama ini disebutkan dalam teks otoritatif Islam : Al-Qur’an dan Hadits Nabi, dalam porsi yang amat banyak. Gagasan relasi kesalingan (resiprokal/resiprosity) diungkapkan dalam sejumlah teks-teks suci ini. Satu di antaranya adalah : “Di antara tanda-tanda kemahabijaksanaan dan kemahagungan Allah adalah Dia menciptakan untuk kamu pasangan dari jenis yang sama denganmu agar kamu damai bersamanya. Dan Allah menjadikan kamu dan pasanganmu (untuk) saling mencinta dan saling menyayangi. Sesungguhnya pada semua hal ini ada tanda-tanda kemahabijaksanaan Allah bagi orang-orang yang berpikir”.(Q.S. al-Rum, [30]:21).
Ibnu Abbas, seorang sahabat Nabi, mengatakan : “Aku, sungguh, ingin tampil menarik di hadapan isteriku, sebagaimana aku ingin isteriku tampil menarik di hadapanku”.[8]
Saya kira kata paling genuine untuk mewadahi seluruh nilai kebaikan adalah kata “Taqwa” yang berulangkali disebut dalam teks-teks suci al-Qur’an dan hadits Nabi. Ia tidak sekedar ditunjukkan oleh ketekunan seseorang dalam ritual-ritual personal-individual, sebagaimana sering dipersepsikan banyak orang. Ia adalah puncak dari seluruh bangunan kehidupan manusia dalam Islam baik dalam relasi personal maupun antar personal. Dan kata Nabi: “Al-Taqwa Ha Huna, al-Taqwa Ha Huna al-Taqwa Ha Huna” (Taqwa itu di sini, Taqwa itu di sini, Taqwa itu di sini), sambil menekankan tangan ke dada tempat jantung berada.
Makna lain dari kata Taqwa adalah “Ihsan” (membagi Kebaikan). Sayyed Hossein Nasr, menyebutnya sebagai “Keindahan”. Katanya : “Ia adalah mencintai Tuhan dan mencintai makhluk-Nya karena Tuhan. Ihsan adalah kedamaian dalam jiwa seseorang, yaitu dalam kondisi keseimbangan dan harmonis dengan dunia, di dalam dan di luar”. Ia adalah visi kehidupan manusia dalam skala universal.
Cirebon, 30-03-13
Husein Muhammad
Pengasuh Pesantren dan Komisioner Komnas Perempuan
Dimuat dalam Jurnal Perempuan, edisi 77 : “Agama dan Seksualitas”, Vol.18 No. 2, Mei 2013
[1] Haideh Moghissi, Feminisme dan Fundamentalisme Islam, LKiS, Yogyakarta-ICIP, Jakarta, Cet.I, 2005, hlm. 29).
[2] Anthony Synnott, Tubuh Sosial, Simbolisme, Diri dan Masyarakat, Jalasutra, Yogyakarta, cet.II,2007,hlm. 72).
[3] Al-Jahizh, Rasail al-Jahizh, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Vol. 3, Cet.I, 2000, hlm. 115.
[4] Farah Anthon, Ibnu Rusyd wa Falsafatuhu, Dar al-Farabi, Beirut, Lebanon, Cet. I, 1988, hlm. 124.
[5] Ibnu Rusyd, Talkhish al-Siyasah li Aflathon, Terjemahan Hasan Majid al-Ubaidi dan Fathimah Kazhim al-Dzahabi, Dar al-Thali’ah, Beirut, Cet. I, 1998, hlm. 125).
[6] Ibnu Arabi, Dzkhair al-A’laq Syarh Tarjuman al-Asywaq, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet. II, 2006, hlm. 7-8.
[7] Sayyed Hossein Nasr, The Heart of Islam, Pesan-pesan Kemanusiaan Islam, Mizan, Bandung, Cet. I, 2003, hlm. 384.