Kamis, 14 November 2024

KERAGAMAN ETIKA DAN KEBANGSAAN

Baca Juga

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan wilayah kepulauan, terdiri dari berbagai macam tradisi dan kebudayaan yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Nilai-nilai tersebut semestinya membuat seluruh rakyat Indonesia semakin menyatu dan mempererat rasa kemanusiaan, kebersamaan dalam bingkai kebangsaan Indonesia. Tentu saja kebangsaan Indonesia yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika. dan masyarakat Indonesia memiliki ciri khas dari keragaman setiap tradisi dan kebudayaan yang dimiliki, bukan hanya terkait keyakinan/ kepercayaan saja. Agama-agama di Indonesia yang diakui negara hanya enam agama, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu (Confusius). Selain dari ke-enam agama tersebut tidak mendapatkan perhatian dan pengakuan, seperti Sunda Wiwitan Cigugur-Kuningan dan Dayak Losarang-Indramayu. Inilah kelalaian dan kesalahan negara yang telah gagal memaknai dan memperlakukan kenyataan keragaman di Indonesia.

Buktinya, meskipun agama dan kepercayaan yang jumlahnya ribuan di seluruh wilayah Indonesia, yang tidak diakui oleh negara tetap hidup, eksis, dan bertahan sampai sekarang. Ini menunjukkan bahwa negara yang salah mengambil kebijakan sebetulnya telah diabaikan oleh rakyatnya sendiri. Karena itu yang diperlukan oleh negara atas keragaman adalah memberikan pengayoman kepada seluruh agama dan kepercayaan yang ada di masyarakat. Negara tidak boleh bersikap ethnosentrisme yaitu mengukur keyakinan rakyat dengan ukuran kepentingan penguasa. Jika sikap ini yang diambil, maka yang terjadi adalah pemimpin yang mempolitisasi agama untuk kepentingan dan kelanggengan kekuasaan. Dalam konteks kepentingan seperti itu, kenapa Indonesia hanya mengakui enam agama saja. Keragaman atas agama dan kepercayaan yang lain dianggap sepi-tak ada.

Negara dalam hal ini para pemimpinnya yang punya otoritas kebijakan, mestinya tahu, Bahwa Kevaliditasan nilai-nilai agama hanya bisa terukur oleh kaca mata tiap individu (person), bagaimana memahami hakikat kehidupan dengan memandang rasa kemanusiaan tanpa mengesampingkan hakikat spritualnya.

Ciri khas spritual manusia dapat dirasakan oleh pemeluknya melalui kesadaran dari dalam (intern) jiwa dalam memahami kesadaran di luar tubuh kita (ekstern) dengan menggunakan panca indera pada saat berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat yang berbeda agama maupun kepercayaan-nya. Artinya dari kolaborasi antara kesadaran intern dengan ekstern, maka dapat memunculkan sebuah kesadaran dari masing-masing individu yang berdasarkan ajaran kemanusiaan yang universal. Inilah keberagaman yang ada pada diri masyarakat yang seharusnya kita jaga keberadaannya, dimana masyarakat dapat menjalin persaudaraan dengan nilai-nilai dari setiap individu yang dimiliki, hayati dan alami yang dituangkan dalam tindakan nyata sehari-hari. Hidup berdampingan dalam persaudaraan dengan sikap toleransi berasaskan Bhineka Tunggal Ika, meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia adalah satu kesatuan.

Perbedaan-keragaman tanpa memandang arti kesatuan, maka yang terjadi ialah konflik atau perpecahan tak menentu arah. Terjadinya peningkatan berbagai macam bentuk kekerasan berbasis isu agama dan keyakinan sejak reformasi pada tahun 1998, nilai kesatuan, persaudaraan dan kebangsaan dengan ideologi pancasila tercabik-cabik. sekelompok orang yang menginginkan keseragaman pada masyarakat Indonesia. Padahal itu tidak mungkin bisa nyata sampai kapanpun, karena bangsa ini terdiri dari berbagai macam nilai dan norma-norma dari setiap tradisi, budaya dan bahasa.

Etika Kebangsaan

Istilah etika digunakan pertama kali oleh Filusuf Yunani, yaitu Aristoteles dalam menunjukan filsafat moral. Secara etimologis, menurut K. Bartens, etika ialah suatu ilmu yang biasa dilakukan dalam adat kebiasaan. Kebangsaan diartikan sebagai ciri-ciri yang menandai suatu golongan bangsa. Jadi istilah Etika Kebangsaan ialah suatu tingkah laku dan tutur kata dari suatu golongan bangsa berdasarkan kesamaan norma-norma, nilai-nilai dan prinsip dasar yang telah diwariskan.

Dari asas inilah bahwa etika kebangsaan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, berinteraksi dengan keluarga, lingkungan dan masyarakat sekitarnya tanpa melihat status sosial dan agamanya serta dengan mempraktikkan berbagi kasih antar sesama umat beragama dari keberagaman agama di Indonesia. Nilai-nilai yang menjunjung tinggi perbedaan dapat dielaborasikan berdasarkan asas Bhineka Tunggal Ika.

Kita patut mempraktikan dari tauladan guru bangsa dan bapak pluralisme Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menggunakan etika kebangsaan dalam praktik kehidupannya. Gus Dur selalu mengayomi masyarakat agama dan kepercayaannya terpinggirkan, terutama pada kaum minoritas. Gus Dur selalu antusias dalam mengangkat kaum minoritas apabila kaum tersebut di hina-dina dan dilecehkan. Sebelum Gus Dur meninggal, di acara Kick Andy pada Desember 2009 bahwa hanya satu tujuan beliau ketika menjabat menjadi Presiden ke-4 pada tahun 1999, ingin mempersatukan kembali wilayah Indonesia yang mengalami perpecahan pada rakyat Indonesia baik yang menyangkut ras, suku dan agama berdasarkan substansi dari UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika, itulah Indonesi. Gus Dur berjihad, melakukan itu semua demi terciptanya stabilitas keamanan tanpa perpecahan. Gus Dur memiliki kepribadian yang humanis, selalu terdepan dalam menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan.

Keragaman menurut Gus Dur adalah rahmatallil’allamin (kasih sayang bagi semesta alam) yang diberikan oleh Tuhan. Terinspirasi oleh Mahatma Gandhi, Gus Dur melakukan perjuangan dan tindakannya dalam melawan ketidakadilan bukan dengan kekerasan tetapi dengan pola tuturan kata dalam perdebatan. Prinsipnya memanusiakan manusia dengan cara kemanusiaan. Pola itu menjadi dasar dalam etika kebangsaanya Gus Dur yang di aplikasikan di ruang publik.

Dalam hal ini etika kebangsaan dapat dijabarkan ke dalam empat poin, yaitu; Pertama, mengurangi terjadinya konflik/kekerasan pada kaum minoritas. Kedua, meningkatnya nilai-nilai kebangsaan dan tali persaudaraan. Ketiga, menghargai pendapat dari pemeluk umat beragama dan keempat, terciptannya perdamaian dan kenyamanan yang dapat dirasakan di seluruh lapisan masyarakat.

Etika Kebangsaan diterapkan bukan hanya demi menjaga stabilitas keamanan di masyarakat, tetapi untuk peningkat kesadaran intern yang lebih berhaluan pada nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan, berdasarkan asas Bhineka Tunggal Ika, Pancasila dan UUD 1945. Inilah tugas dan tanggung jawab yang diserahkan para founding father dan mouther bangsa Indonesia kepada kita penerusnya. Kesimpulannya, bangsa Indonesia sudah waktunya kembali kepada khitah kemerdekaannya.
____________________
Ariel Winarno adalah mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) dan aktifis Diskusi Petengan ISIF Cirebon.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sekolah Agama dan Kepercayaan Bahas Jejak Sejarah dan Ajaran Hindu di Indonesia

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute — Sekolah Agama dan Kepercayaan (SAK) Bagi Orang Muda bahas jejak sejarah dan ajaran...

Populer

Artikel Lainnya