Senin, 23 Desember 2024

Bumi, Problem Patriarkhi Hingga Kerusakan Lingkungan

Baca Juga

Pada ahir-ahir ini lingkungan sekitar acapkali terabaikan dalam sebuah dimensinya, dimensi konkrit yang telah diganti dengan dimensi virtual, dan pelestarian lingkungan pun ahirnya hanya sebatas eksistensi buta pada keluh-kesah atas kerusakan yang terjadi di sekitarnya, dan hal itu ‘anggap’ membantu dalam upaya pelestarian lingkungan hidup tersebut. Umpamanya dengan mengekspos bentuk fisik kerusakan yang saat ini menjadi suatu trendsetter pada kanal-kanal jejaring sosial, hingga menjadi mafhum apabila hal ini menjadi sesuatu yang absah – sekarang.

Terlalu seringnya bumi di eksploitasi dan hanya diambil manfaatnya semata tanpa memikirkan implikasi yang akan timbul darinya, maka bumi menjadi sesuatu yang rentan pada sisi pelestariannya, sehingga dalam beberapa terminologi telah disebutkan, yaitu dengan menarik garis interval, bahwa bumi tak ubahnya seorang perempuan, lebih tepatnya sosok ibu. Seperti yang di tuliskan oleh Nur Afifah Febriani (2014) Ekologi Berwawasan Gender-nya bahwa “Bumi memang lebih dinilai sebatas mahluk yang pasif dan reseptif yang tak lain merupakan representasi dari karakter feminim, karakter yang selama ini diidentikkan dengan perempuan.”

Bahwa perempuan dan bumi pada hari ini adalah menjadi objek atas ekspolitasi yang membabi-buta dari segenap kepentingan, dengan berbagai dalih sebagai alibi dari eksploitasi tersebut menjadikan bumi dan perempuan kini dalam masa masa yang kritis, dan apabila menilik dari beberapa fenomena yang terjadi saat ini, baik trafiking maupun KDRT menunjukkan bahwa apa yang terlihat sama, bahkan persis, dengan apa yang terjadi dengan lingkungan sekitar, polusi, abrasi, kebakaran hutan dan lain sebagainya yang disebabkan oleh manusia itu sendiri, dengan watak serakahnya.

Dengan mengkorelasikan kesakitan yang dirasakan oleh keduanya, maka dengan kasat mata pun dapat langsung merasakan apa yang dirasakan keduanya. Seringkali upaya pengerusakan tersebut di dasarkan atas pemahaman geconcentreerde; bahwa politik sebagai sumber ekonomi, yang mengatur segala siasat dalam merampok Sumber Daya Alam (SDA) tersebut sebagai asas ekonomi konvensional butanya. Hingga  di-qiyas dengan bumi, yang memiliki sifat kasih sayang (memberikan kehidupan tanpa meminta balasan), hingga tak ayal membolehkan manusia memeroleh manfaat darinya. Sehingga pada kasus yang baru-baru ini terjadi seperti di Kendeng, sosok ibu Patmi yang harus merelakan nyawanya demi mempertahankan ekosistem yang ada pada bumi kelahirannya tersebut. Pergolakan atas kasus yang begitu njlimet tersebut memaksa ibu Patmi menutup usianya sebagai representasi atas ketidakadilan atas manusia dalam menjarah tempat bernaungnya.

Menelusur Perintah Agama Ramah Luingkungan

Apabila ditelisik dalam kitab suci dari beberapa agama dan kepercayaan; seperti dalam Hindu yang terdapat satu hari untuk alam, yang pada hari itu umat Hindu tidak melakukan apapun, yaitu pada pelaksanaan Catur Barata dalam menayambut hari raya Nyepi (Tahun Baru Caka), sebab Nyepi adalah momen resiliensi ekologi (beradaptasi dengan alam-red.).

Dalam keyakinan agama Hindu terdapat empat ajaran dalam memperlakukan alam sebagaimana mestinya 1) Amati Karya (hari tanpa kerja). 2) Amati Geni (tidak menyalakan api dan juga tidak menyalakan listrik). 3) Amati Lelungan (tidak bepergian sepanjang hari). 4) Amati Lelanguan (memghentikan kegiatan hiburan). Keempatnya dilakukan oleh umat Hindu dalam memperlakukan alam sebagaimana pula alam memperlakukanya.

Dalam agama Islam, sSyaikh Tantatawi Jauhari seorang guru besar tafsir di Universitas Kairo – menyatakan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat lebih dari 750 ayat Kauniyah (hukum alam-red), sekitar 150 ayat fikih, namun tulisan mengenai alam raya dan isinya masih mendapat tempat yang sedikit apabila dibandingkan dengan penulisan kitab fikih tersebut.

Dalam agama Kristen, kitab kejadian menyebutkan “Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah” (Kej 2:7) yang juga “memebentuk tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara” (Kej 2:19). Pada gilirannya alam telah banyak memeberikan kemanfaatan bagi semua mahluk yang berada di dalamnya. Akantetapi dalam perjalanannya, alam yang dipersepsikan dengan karakter serta sifat feminim seperti seorang perempuan telah juga mendapat perlakuan yang sama.

Merusak Bumi Layaknya Menyakiti Ibu

Kerusakan lingkungan memiliki kaitan erat dengan sikap dominatif laki-laki terhadap perempuan, yang hingga sampai hari ini masih menjadi objek akan pengerusakan itu sendiri, dan dengan banyaknya kasus yang menimpa perempuan itu maka dapat menjadi sebuah qarinah akan rentannya lingkungan di sekitar. Dari dominasi laki-laki hingga budaya patriarkhi yang masih dipegang spenuhnya oleh masyarakat sekitar kita, maka bukan tidak mungkin apabila kerusakan yang dialami oleh keduanya disebabkan oleh pihak ketiga darinya; laki-laki. Karena dalam dunia kerja dan dominasi pekerjaan yang berat dipikul oleh laki-laki.

Hingga yang bersentuhan dengan lingkungan pun laki-laki, meski tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan pun berperan dalam lingkungan tersebut, akantetapi dominasi dan keberpihakannya lebih banyak pada laki-laki tersebut. Sebab manusia telah memasukkan alam dalam kehidupan budyanya, tatapi ia nyaris lupa bahwa ia sendiri sekaligus merupakan bagian dari alam di mana ia hidup. Dan dengan banyaknya perempuan yang terlibat dalam upaya pelestarian tersebut, maka telah memberikan sebuah titik terang akan kepedulian yang telah sedemikian besar, dan oleh sebabnya banyak pula kejadian-kejadian yang berkaitan dengaan alam dan perempuan yang tak bisa di hindarkan begitu saja.

Alam pun memproduksi dirinya sendiri dari segala kerusakan yang yang di alaminya, dan hal yang sama pun terjadi pada manusia khususnya perempuan. Meskipun pada kenyataannya berbanding terbalik antara laki-laki dan perempuan dalam melakukan pelestarian terhadap lingkungan tersebut, sawah dan pasar menjadi contoh nyata akan dominasi atas kaum hawa tersebut. Namun, entah mengapa banyak sekali darinya yang justeru mendapat perlakuan yang kuarang layak dari kaum laki-laki terebut. Padahal apabila melihat keterbutuhan industri, maka perempuan lebih menempati posisi yang dominan – bukan laki-laki.

Titik korelasinya dengan adalah sebuah simbiosa dan inergitas antara keduanya; alam mempengaruhi manusia dan manusia mempengaruhi alam. Meski pada ahirnya alam ditaklukan dengan serampangan dan kurang begitu mendapat perhatian dari manusia itu. Dan sama seperti perempuan atau lebih tepatnya sosok ibu. Dan eksistensi manusia sebagai subyek dari ekosistem tidak mengabsahkan dirinya sebagai penguasa alam, melainkan ia sebagai pengatur atau pengelola lingkungan dan pengabdi bagi alam dalam usaha konservasi alam tersebut. Karena Bumi adalah pusat kehidupan kita mari kita saling menjaga dan merawatnya layaknya seorang ibu.  Karena merusak bumi layknya menyakiti ibu.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya