Konstruksi sosial ekonomi masyarakat Indramayu terbangun lewat basis ekonomi agraris. Akan tetapi, hamparan luas sawah dan posisi Kabupaten Indramayu sebagai penghasil 30 persen produksi beras nasional tidak terlalu terasa bagi penduduk pinggiran. Akar persoalannya adalah kepemilikan tanah. 30 persen masyarakat adalah tuan tanah, sedangkan 70 persen lainnya adalah buruh tani. Tidak ada pilihan bagi rakyat setempat untuk memilih profesi selain menjadi buruh tani. Dengan pola setahun dua kali panen, masyarakat harus hidup dalam roda sejarah yang senantiasa berbalut kemiskinan. Lagi pula untuk sekadar menyewa lahan pun mahal. Untuk menyewa tanah seluas satu bata (kira-kira 1.400 m2), mereka harus rela menyerahkan lima-tujuh kuintal gabah kering hasil panenan, jumlah yang terlalu tinggi.
Dari konstruksi kemiskinan masyarakat Indramayu tersebut, sudah tentu yang paling merasakan dampaknya adalah kaum perempuan. Bagaimana tidak, di Indramayu peran perempuan masih termarjinalkan (terpinggirkan). Padahal banyak perempuan di sana menjadi penopang keluarga dan sumber kekuatan buat anak-anaknya, terutama dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Mestinya sudah sepatutnya proses membangun Indramayu kembali turut melibatkan perempuan dan posisinya setara dengan pihak laki-laki. Akibat dari modernisasi pertanian, perekonomian Indramayu mengalami kemunduran. Angka pengangguran melonjak dua kali lipat dan inflasi membuat biaya hidup meningkat drastis. Perempuan yang kemudian menjadi tulang punggung keluarga adalah kelompok yang paling merasakan dampaknya. Mereka semakin tidak berdaya ketika sulitnya mendapatkan sarana dan kesempatan yang setara untuk hidup layak. Kondisi demikian kemudian meminggirkan hak sosial dan ekonomi perempuan.
Sebagai penopang ekonomi keluarga, perempuan di Indramayu mengagumkan. Mereka bukan hanya bekerja keras mengurus rumah tangga di rumah. Banyak kaum perempuan bekerja sebagai pencari nafkah utama. Mereka pergi ke luar negeri sebagai buruh migran, demi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Perempuan di Indramayu memegang peranan penting dalam rumah tangga. Apalagi di antara mereka adalah janda-janda (perempuan kepala keluarga), sehingga harus bertahan hidup sendiri.
Semangat mempertahankan hidup juga telah menggurat garis sejarah perempuan Indramayu. Garis itu dibuat oleh kisah para perempuan pemberani yang rela bekerja ke luar negeri meninggalkan anak suami. Garis kisah itu mulai menggores sejak tahun 1997, ketika seluruh negeri terkoyak oleh badai ekonomi. Banyak perempuan Indramayu melawan badai ganas sebagai TKW mengadu nasib di negeri rantau. Menjadi TKW adalah satu-satunya pilihan menuruti harapan perubahan nasib. Gelombang ingar-bingar migrasi pekerja itu kemudian meletakkan Kabupaten Indramayu sebagai pemasok devisa negara terbesar dari TKI. Risikonya memang besar, tetapi prospeknya juga besar. Konstruksi politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang patriarkis ini membuat peran perempuan tak dikenal dan menjadi pelaku pembangunan yang tidak terlihat.
Islam Menghargai Eksistensi Perempuan
Islam sangat menghargai eksistensi perempuan sebagaimana eksistensi lelaki. Hal ini secara gamblang dipahami dari firman Allah Surah an-Nisa’: 1 yang menegaskan bahwa baik lelaki dan perempuan diciptakan dari satu jiwa yang sama. Hal ini pun dikuatkan lagi dengan hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Daud bahwa Rasulullah mengemukakan ”perempuan adalah ’saudara kandung’ bagi lelaki.”
Lebih dari itu, Islam pun memperbaiki kesalahpahaman persepsi yang telah terjadi secara turun temurun yang menyatakan bahwa turunnya Adam ke surga disebabkan oleh perempuan (Hawa) dengan mengungkapkan bahwa hal itu terjadi karena kesalahan keduanya; kesalahan karena mereka berdua tidak mampu mengendalikan diri dengan baik untuk tidak melanggar perintah-Nya. Hal ini bisa dipahami dari firman-Nya Surah al-Baqarah: 36; al-A’raf: 20, 23 dan Thaha: 121.
Untuk menegaskan kesejajaran pengakuan lelaki dan perempuan, Islam menyatakan bahwa pahala yang diberikan sama bagi siapapun yang berbuat baik, tanpa memandang jenis kelamin. Hal ini secara gamblang bisa dipahami dari firman-Nya surah an-Nahl: 97; Ali Imran: 195; dan al-Ahzab: 35.
Secara berani, Islam pun mengkritik tradisi yang pernah dilakukan bangsa Arab sebelum turunnya Islam yang tega membunuh bayi perempuan demi menjaga harga diri sebagaimana tampak dalam surah an-Nahl: 59 dan melarang umat manusia melakukan hal serupa dan bahkan menganggap bahwa yang melakukannya hanyalah orang bodoh sebagaimana dipahami dalam surah al-An’am: 140.
Bahkan Islam memberikan batasan tertentu yang menguntungkan bagi kaum perempuan. Apabila sebelumnya perempuan hanyalah dianggap barang yang bisa diwariskan, ajaran Islam sebaliknya menegaskan perempuan mendapatkan hak waris; apabila sebelumnya perempuan bisa dipermainkan oleh suaminya dengan di kawin-cerai tanpa batas, Islam membatasi hanya sampai tiga kali saja; lebih dari itu, Islam pun memberikan kebebasan bagi perempuan untuk bisa beraktivitas dalam dunia publik yang sebelumnya tidak bisa dilakukannya sama sekali.
Lebih dari itu, bisa dikatakan bahwa citra perempuan dalam al-Qur`an memiliki kemandirian politik (QS. 60: 2), kemandirian ekonomi (QS. 28: 23) dan kemandirian menentukan pilihan pribadi yang diyakini kebenarannya (QS. 66: 11). Secara garis besar, Islam memberikan perempuan tiga hal penting, yakni sisi kemanusiaan, sisi sosial, dan hak finansial. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan laksana anak sisir yang berjajar setara. Tidak selayaknya memarjinalisasikan perempuan yang berdampak pada pemiskinan, seperti terjadi di Indramayu bahkan di belahan daerah manapun yang terus terjadi. Wallahu’alam. []